Mohon tunggu...
Astuti Yuli
Astuti Yuli Mohon Tunggu... -

mengajar dan mencintai dunia pendidikan, bermimpi karena dengan bermimpi kita punya kenyataan....tuk wujudkan impian... berkebun...meski dengan lahan mungil karena dengan berkebun kita selamatkan bumi kita sejak dini.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerita Cinta di Ujung Senja (part 4 )

23 Mei 2012   14:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:55 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bel masukpun terdengar kini saatnya pelajaran biologi yah....sekarang gurunya yang baik dan ganteng kebapakan yang membuat anak-anak senang belajar.

“Anak-anak sekarang kita belajar mengamati tumbuhan, kalian silahkan membentuk kelompok” Pak Budi pun memberikan Lembar kerja untuk tiap kelompok.

“ Sheil, kamu jadi ketua kelompok 1 yah”, kata mawar.

“ Aku ikut yah...di kelompokmu, pinta si mata elang merayu. Yah boleh aja asal gak membuat yang satuini marah ya !

“Ehtapi kalo marah dia jadi tambah manis, canda si mata elang itu membuat pipi Sheila semakin merah menahan malu. Kerja kelompok mereka memilih tempat di dekat ruang UKS, selain tempatnya luas, juga angin semilir selalu bertiup disertai bunga-bunga wora-wari yang sedang mekar, seindah jalinan kasih mereka. Akhirnya kerja kelompokpun hampir usai tinggal membuat kesimpulan terakhir.

“ Cal, apa kesimpulannya, sekarang giliranmu untuk berpikir !”

“kesimpulannya tanggal 03/ 03ada yang sudah jalan bereng.......”

“ gitu ya....emmm bagus ya kesimpulanmu, bisa buat merah lagi pipinya “ Balas Mawar dengan nada kesal. Sheila tetap terdiam menahan malu tanpa banyak kata-kata ia tinggalkan sahabatnya yang sedang sibuk mengurus kesimpulan kerja kelompoknya dnegan gurauan yang mungkin membuatnya agak sensitif, karena malu.

“Sheil...mau kemana? “Jangan pergi dong......” pinta si mata elang dengan penuh harapan. Namun sheila tetap melangkahkan kakinya menuju kelas.

“ Tu kan kamu jadi buat dia sedih, sekarangkalian buat kesimpulannya aku mau ke kelas lihat Sheila” sergah Mawar seraya beranjak menuju kelas. Setiba di kelas Mawar melihat Sheila tertunduk di mejanya, lesu memandang ke depan.

“ Sheil...kamu jangan gitu dong” bujuknya dengan lembut pada sahabat terbaiknya.

“ Mawar aku malu, malu banget di depan temen –temen di bilang gitu sama Ical” dengan mata berkaca-kaca Sheila menatap Mawar.

“Sudahlah maafkan Ical, mungkin tidak sengaja” sesaat mereka terdiam karena melihat Ical , si mata elang dan beberapa temannya masuk kelas, pertanda kerja kelompoknya sudah selesai.

“ Sheil maaf ya” bisik Ical padanya.

“Ada pesen darinya kalo kamu marah tambah manis, karena pipimu makin merah kaya jambu “.MendengarIcal, Sheila masih terus tertunduk, semakin menutupi malunya. Beberapa saat kemudian Pak Guru Biologipun memasuki kelas kembali, untuk membahas hasil kerja kelompok masing – masing. Satu persatu kelompok mempresentasikan hasil diskusinya, dan sekarang giliran kelompok Sheila yang maju untuk presentasi.

“Ayo Sheil kamu pasti bisa, gak usah dipikirkan kata-kata Ical tad”, pinta Mawwar pada Sheila.Sheila maju untuk mempresentasikan hasil kelompoknya, meski dnegan sedikit gugup bukan karena takut dengan Pak guru yang berkumis tebal, namun grogi dnegan tatapan si mata elang dibangku paling belakang. Kenapa di sebut mata elang ...karenatatapannya penuh makna jika ia sedang memandang Sheila.

Kriiingggg..................bel berbunyi pertanda usai pelajaran, kini mereka berkemas untuk pulang kerumah masing – masing. Namun ada yang janggal hari itu, sedang apes atau sedang tidak rizki ...tiba- tiba ban sepeda jengkinya kempes, dan...emmm Sheila hanya bisa menarik nafas panjang melihat ke arah ban sepedanya.

“ Sheila belum pulang?” tanya pa Abu sang guru matematika.

“Belum pak, ini ban sepeda saya kempes”.

“O kalo gitu kamu pinjam aja pompa di Mba Yam aja, nanti biar bapak yang pompakan” saran Pak Abu.

Sheila pun menuruti permintaan pak Abu untuk meminjam pompa ke tempat mba Yam. Namun saat Sheila tiba di parkir sepeda, ia bingung kok pak Abunya gak ada, trus itu siapa yang duduk di samping sepedaku, dari jauh ia tampak mengenal sosok itu karena agak tertutup jeruji sepeda, sehingga ia terhaalang untuk melihat wajahnya, namun Sheila hafal dari sepatunya,yah sapa lagi yang pakai sepatu putih merk Nike kalo bukan si mata elang temannya yang sangat aneh dan lucu.

“ Kamu lihat pak Abu ?” tanyanya .

“O..........pak Abu .....tadi ketemu aku, trus Beliau bilang “Hen jaga Sheila ya, itu ban sepedanya kempes tolong kamu bantu pompa, kebetulan bapak baru saja di telpon dari rumah, kalau anak bapak sakit, jadi bapak harus segera pulang”, gitu Sheil, katanya dengan sangat meyakinkan pada Sheila membuat Sheila tidak begitu gugup menatapnya.

“ Ya sudah kalu begitu kamu minggir dulu aku mau pompa sepeda, pinta Sheila padanya. “ “Sheil aku bantu kamu yah, sini pompanya”.

Akhirnya Sheila luruh dengan nada sopannya, ia berikan pompa sepeda itu pada si mata elang yang sudah menemaninya sore itu. Selesai pompa itupun mereka kembalikan berdua, ke rumah mba Yam si ibu kantin.

“Minum dulu ya Sheil aku haus ni....“ Pintanya penuh harap.

“ Ya sudah ..” Sheila tak dapat menolak ajakan Hendrik si mata elang untuk minum di kantin mba Yam, seusai mereka mengembalikan pompa sepeda, karena ia sudah sangat baik membantunya kali ini.

Diperjalanan pulang merekapun beriringan naik sepeda, namun Sheila masih heran kenapa si mata elang itu mengikutinya, dengan cepat ia mengerem sepedanya dihadapan sepeda Sheila dan mereka hampir bertabrakan.

“Sheil aku anter kamu pulang ya.. udah sore masak kamu sendirian pulangnya ntar ada yang culik lo...” candanya.

“Gak usah repot – repot, rumahmu kan ke arah sana, lawan arah sama aku, lagian masih terang ini aku berani kok naik sepeda sendiri, makasih sudah membantuku tadi “ kata Sheila dengan harapan Hendrik tidak mengikutinya.

“ Boleh ya..Sheil, gak apa aku lewat tempatmu aja pulangnya, muter dikit tidak membuatku lelah, kan ada kamu disampingku”

Sheila hanya terdiam dan mengayuh sepedanya kembali, dengan membiarkan ia mengantarnya sampai depan rumahnya.

Kedua anak itupun bersepeda beriringan mereka sungguh serasi, meski masih dini mereka mengerti bahwa perjalanannya masih panjang. Masih perlu berbenah dan masih perlu menuntut ilmu yang lebih tinggii guna mengejar cita- citanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun