Sistem semi-presidensial Prancis menghadirkan dinamika unik dalam pembagian kekuasaan eksekutif antara Presiden dan Perdana Menteri. Model ini, yang lahir dari Konstitusi Republik Kelima tahun 1958, dirancang untuk menggabungkan stabilitas pemerintahan presidensial dengan fleksibilitas sistem parlementer. Presiden, yang dipilih langsung oleh rakyat, memegang peran dominan dalam menentukan arah kebijakan negara, terutama dalam ranah kebijakan luar negeri dan pertahanan. Ia menunjuk Perdana Menteri, yang bertanggung jawab kepada parlemen, dan memimpin kabinet. Meskipun Presiden memiliki kewenangan yang luas, ia tidak dapat bertindak sendiri. Perdana Menteri dan kabinetnya memegang kendali atas pemerintahan sehari-hari dan bertanggung jawab atas implementasi kebijakan (Elgie, 2016).
Pembagian kekuasaan ini dapat berjalan lancar ketika Presiden dan Perdana Menteri berasal dari partai politik yang sama, menciptakan kondisi yang disebut "cohabitation". Dalam situasi ini, terjadi sinergi dan koordinasi yang efektif antara kedua pemimpin eksekutif. Namun, sistem semi-presidensial Prancis juga rentan terhadap ketegangan dan konflik, terutama ketika Presiden dan Perdana Menteri berasal dari kubu politik yang berbeda. Kondisi ini, yang dikenal sebagai "cohabitation", dapat memicu perebutan kekuasaan dan menghambat efektivitas pemerintahan (Kim, 2015).
Salah satu contoh "cohabitation" yang terkenal terjadi pada tahun 1986-1988, ketika Presiden Sosialis Franois Mitterrand harus bekerja sama dengan Perdana Menteri dari partai Gaullist Jacques Chirac. Kondisi ini menciptakan dinamika politik yang kompleks, di mana kedua pemimpin harus berkompromi dan bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan dalam pengambilan keputusan (Friend, 2019). Meskipun "cohabitation" dapat menimbulkan tantangan, ia juga menunjukkan fleksibilitas sistem semi-presidensial Prancis dalam mengakomodasi perbedaan politik dan menjaga stabilitas pemerintahan.
Sistem semi-presidensial Prancis telah menjadi model bagi beberapa negara lain di dunia. Keunikannya terletak pada upaya untuk menyeimbangkan kekuatan Presiden dan Perdana Menteri, menciptakan sistem yang dinamis dan adaptif terhadap perubahan politik. Meskipun tidak lepas dari kritik dan tantangan, model ini telah terbukti mampu menjaga stabilitas dan kontinuitas pemerintahan di Prancis selama beberapa dekade.
Sistem semi-presidensial Prancis, sebagai produk dari Konstitusi Republik Kelima tahun 1958, memberikan keistimewaan dalam tata kelola pemerintahan dengan pembagian kekuasaan yang unik antara Presiden dan Perdana Menteri. Keberadaan dua figur eksekutif ini memungkinkan terciptanya keseimbangan antara kekuasaan yang terpusat dan pemerintahan yang lebih fleksibel. Presiden memegang kendali dalam kebijakan strategis negara, khususnya terkait politik luar negeri dan pertahanan, sementara Perdana Menteri bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan domestik. Kedua peran tersebut dirancang untuk saling melengkapi, meskipun potensi konflik tetap ada, terutama dalam kondisi cohabitation.
Cohabitation dalam sistem semi-presidensial Prancis mencerminkan situasi politik yang menantang. Ketika Presiden dan Perdana Menteri berasal dari partai politik yang berbeda, dinamika kekuasaan menjadi lebih kompleks. Dalam situasi ini, Presiden terpaksa berbagi pengaruh dengan Perdana Menteri, terutama dalam pengambilan keputusan yang melibatkan kebijakan domestik. Contoh nyata cohabitation terjadi pada masa pemerintahan Franois Mitterrand, yang sebagai Presiden dari Partai Sosialis harus bekerja sama dengan Jacques Chirac sebagai Perdana Menteri dari Partai Gaullist. Kondisi tersebut menuntut adanya kompromi dan negosiasi intensif untuk menjaga stabilitas pemerintahan (Friend, 2019).
Peran parlemen menjadi semakin penting dalam hak cohabitation. Perdana Menteri, yang bertanggung jawab langsung kepada parlemen, harus mampu menggalang dukungan untuk memastikan kelancaran proses legislasi. Di sisi lain, Presiden tetap memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih langsung oleh rakyat, yang memberinya kekuasaan simbolis dan praktis dalam hal-hal tertentu (Anggraeni, 2024). Namun, dualitas ini sering kali menimbulkan kebingungan dalam hierarki kekuasaan, terutama jika terjadi perbedaan pandangan yang tajam antara kedua pemimpin. Situasi tersebut memengaruhi efektivitas pemerintahan dan dapat menghambat implementasi kebijakan yang mendesak. Namun, tidak semua aspek cohabitation bersifat negatif.
Cohabitation juga dapat berfungsi sebagai mekanisme checks and balances yang efektif, di mana setiap kebijakan yang diusulkan memerlukan persetujuan dari kedua belah pihak. Mekanisme ini mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu pihak dan mendorong terciptanya keputusan yang lebih matang serta inklusif. Dalam jangka panjang, sistem ini berkontribusi pada stabilitas politik dan memperkuat budaya demokrasi di Prancis. Selain itu, sistem semi-presidensial juga memiliki keunggulan dalam menghadapi krisis. Presiden, dengan kewenangan yang luas, dapat mengambil keputusan cepat dalam situasi darurat, sementara Perdana Menteri dan kabinetnya memastikan pelaksanaan kebijakan tetap berjalan sesuai prosedur (Arifin, 2024).
Fleksibilitas ini membuat Prancis mampu menavigasi berbagai tantangan politik dan ekonomi dengan relatif stabil dibandingkan negara lain yang menganut sistem pemerintahan berbeda. Meskipun demikian, kritik terhadap sistem semi-presidensial tetap ada. Beberapa pihak menilai bahwa pembagian kekuasaan yang ambigu dapat menyebabkan kebuntuan politik, terutama dalam situasi cohabitation yang berkepanjangan. Selain itu, ketergantungan pada karakter individu Presiden dan Perdana Menteri juga menjadi faktor penentu keberhasilan sistem ini. Jika kedua pemimpin tidak memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan berkompromi, konflik yang muncul dapat memperburuk kondisi politik negara.
Menurut penulis, sistem semi-presidensial Prancis menawarkan keseimbangan yang menarik antara stabilitas dan fleksibilitas. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada kapasitas pemimpin untuk bekerja sama dalam situasi politik yang beragam. Cohabitation, meskipun menantang, justru menjadi ujian penting bagi ketahanan sistem ini. Dengan mempelajari dinamika ini, negara lain dapat mengambil pelajaran berharga dalam merancang sistem pemerintahan yang adaptif dan demokratis.
Jadi kesimpulannya sistem semi-presidensial Prancis, dengan pembagian kekuasaan antara Presiden dan Perdana Menteri, merupakan sebuah model yang unik dan dinamis. Sistem ini berupaya menggabungkan stabilitas pemerintahan presidensial dengan fleksibilitas sistem parlementer. Meskipun dapat berjalan efektif ketika Presiden dan Perdana Menteri berasal dari partai politik yang sama, sistem ini juga rentan terhadap ketegangan dan konflik dalam kondisi cohabitation, di mana kedua pemimpin berasal dari kubu politik yang berbeda. Cohabitation menuntut kompromi dan negosiasi antara Presiden dan Perdana Menteri untuk mencapai kesepakatan dalam pengambilan keputusan. Meskipun dapat menimbulkan tantangan, cohabitation juga menunjukkan fleksibilitas sistem semi-presidensial Prancis dalam mengakomodasi perbedaan politik dan menjaga stabilitas pemerintahan. Keberhasilan sistem semi-presidensial Prancis sangat bergantung pada kemauan politik dari Presiden dan Perdana Menteri untuk bekerja sama dan mencari solusi kompromi demi kepentingan nasional. Sistem ini menawarkan keseimbangan yang menarik antara stabilitas dan fleksibilitas, dan dapat menjadi model bagi negara-negara lain yang ingin mengadopsi sistem pemerintahan yang adaptif dan demokratis.