****
Malam kian larut, Ririn masih termenung dikamar kosnya. Bingung.
Tadi akhirnya dia menceritakan tentang Nadya pada Hari. Menceritakan semua tentang Nadya. Ririn meminta hari untuk bisa menerima Nadya dan memberinya tempat spesial di hatinya itu untuk Nadya, sahabat mereka. Nadya lebih membutuhkan Hari, itu yang berkali-kali Ririn ucapkan untuk meyakinkan Hari. Dia butuh seseorang yang bisa menerimanya, menemaninya dan bisa menguatkannya. Hari tak banyak bicara, dia lebih banyak diam.
Ririn memohon dengan sangat pada Hari, bagaimanapun dia takkan sanggup bahagia diatas duka sahabatnya. Sahabatnya yang sejak kecil bahkan tak pernah punya sosok lelaki pelindung dalam hidupnya. Walaupun dia tahu, tak adil rasanya untuk Hari, bahkan untuk dirinya juga.
Ririn mendesah, bukan aku tak mencintaimu.
****
"Rin, Hari mengajakku nonton malam minggu kemarin. Dia nembak aku." Bisik Nadya, waktu bertemu Ririn di pekan berikutnya. Ririn terkejut, tak menyangka secepat itu. Dia mencoba bereaksi biasa saja, walaupun bingung harus berkata apa.
"Aku duluan ya, Rin. Tuh, Hari sudah menunggu." Kata Nadya lagi, sambil menunjuk ke arah Hari yang sedang berdiri di bawah pohon didepan perpustakaan. Ririn mendesah, pedih rasanya.
Dan malamnya Hari datang ke kosnya. Terdiam mereka berdua duduk di teras rumah.
"Aku sudah mencoba, apakah kamu bahagia ?"Tanya Hari sambil menatap ke arah lain, terlihat enggan menatap Ririn.
"Aku minta maaf, Har. Tapi setidaknya Kau tak harus bertindak secepat itu."