"Wah, ngga tau ya Yah ?"
Kami saling berpandangan, percakapan yang tadinya diselingi tawa menjadi hening. Membicarakan kematian yang kami takkan pernah tahu kapan datangnya, siapa yang akan lebih dulu diantara kami, terkadang menjadi hal sangat menakutkan ditengah kebersamaan yang indah ini.
Itu percakapan sekitar lima bulan yang lalu, tak ada yang pernah tahu akan terjadi peristiwa hari itu. Keluhan pusing yang dirasakannya akan berakhir seperti ini. Rasanya aku belum siap bila saat itu memang harus hadir sekarang untuk kami. Tapi apakah manusia bisa menolak takdir ?
****
"Tuan Drajat ?"
Suara seorang perawat memecah kesunyian ruang tunggu didepan ruang ICCU rumah sakit. Aku kaget, lamunanku buyar. Panggilan di luar jam besuk adalah mimpi buruk bagi kami para penunggu pasien di ruang ini. Semoga tidak, Swasti sayang. Jangan sekarang, Aku mohon.
"Saya sus, ada apa ?"
"Silahkan masuk, Pak. Dokter Adi menunggu."
Dan akhirnya, saat itu tiba. Aku memang harus belajar untuk ikhlas menerimanya. Tak ada airmata yang dapat mengalir di wajahku, tapi hatiku hancur. Bagaimana aku sanggup melanjutkan hidup tanpamu ? Bagaimana jiwa rapuh ini dapat menguatkan hati Rara dan Dimas ? Bagaimana sanggup kaki-kaki lemah ini melangkah sendirian tanpamu ?
Beri aku kekuatan ya, Tuhan. Bila memang ini garis yang Kau buat untuk kulalui, beri aku kekuatan untuk melewatinya. Bimbing aku untuk menjadi hambaMu yang ikhlas pada takdir yang Kau gariskan, beri kekuatan untuk menjadi penopang jiwa bagi anak-anakku. Beri tempat terindahMu untuk Swastiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H