Para siswa setiap pagi lebih terbiasa membuka telepon genggam daripada membuka buku bacaan. Daya tarik telepon genggam lebih besar dari hanya sebuah buku. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam telepon genggam kita akan mendapatkan beragam informasi yang kita inginkan, bandingkan dengan sebuah buku yang hanya memberi satu informasi saja.Â
Buku mungkin memang lebih bernilai, tapi telepon genggam mampu menyajikan informasi yang beragam, menarik dan instan. Hal inilah yang menjadikan alasan kenapa sebagian besar orang beralih dari membaca buku ke membuka telepon genggam.
Kurangnya sumber bacaan autentik menjadi masalah serius yang dihadapi Sekolah Indonesia Kuala Lumpur dalam menyukseskan Gerakan Literasi Sekolah ini. Sulitnya mencari buku yang menggunakan teks bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar yang digunakan dalam buku bacaan menjadikan pelaksanaan program ini di lapangan menjadi terhambat.Â
Sekolah Indonesia Kuala Lumpur memang memiliki perpustakaan sekolah, akan tetapi jumlah buku bacaan yang tersedia kurang memadai dan tidak sebanding dengan jumlah siswa yang ada. Mengandalkan para siswa untuk membawa sendiri buku bacaan dari rumah pun bukan merupakan solusi yang tepat karena tidak semua siswa maupun keluarga memiliki koleksi buku bacaan yang layak untuk dibaca sesuai dengan usianya. Kalaupun kemudian harus membeli buku bacaan baru, kendala lain yang muncul adalah kurangnya buku bacaan yang menggunakan teks bahasa Indonesia yang dijual di toko buku maupun di pusat-pusat perbelanjaan yang ada di sekitar Kuala Lumpur.
Beruntung Sekolah Indonesia Kuala Lumpur memiliki hubungan baik dengan warga negara Indonesia yang tinggal di sekitar Kuala Lumpur yang tidak sedikit mewakafkan buku bacaannya untuk perpustakaan Sekolah Indonesia Kuala Lumpur sehingga masalah yang dihadapi sekolah sedikit teratasi.Â
Jumlah buku bacaan yang diwakafkan memang sedikit jika dibandingkan dengan kebutuhan para siswa, tapi di sini dapat dilihat tingkat kepedulian masyarakat sebagai bagian dari suksesnya program ini. Disadari atau tidak, masyarakat pun memiliki andil dalam meningkatkan budaya membaca dan menulis dikalangan siswa.
Dapat dibayangkan, bagaimana program Gerakan Literasi Sekolah ini dapat dilaksanakan dengan baik atau tidak di sekolah-sekolah Indonesia di luar negeri lainnya mengingat sebagian besar kendala yang dihadapi oleh sekolah Indonesia yang berada di luar negeri hampir sama.Â
Para pegiat budaya literasi di sekolah Indonesia di luar negeri harus berjuang keras karena disatu sisi para siswa berhadapan dengan kemajuan teknologi dan segala konsekuensinya, sementara disisi lain mereka pun harus tetap mampu menunjukan jati diri sebagai warga negara Indonesia. Budaya literasi menjadi salah satu cara untuk mengatasi masalah kompetisi dan kompetensi dengan warga dunia lain.
Sekolah Indonesia Kuala Lumpur berkomitmen untuk terus mendukung terselenggaranya Gerakan Literasi di SIKL secara masif, konsisten dan berkesinambungan. Saat ini sekolah merupakan oase bagi pembentukan karakter dan jati diri siswa Indonesia yang menjunjung tinggi semangat nasionalisme dan patriotisme.
Gerakan Literasi Sekolah kembali menyadarkan kita akan pentingnya karakter dan jati diri yang merupakan gambaran suatu bangsa yang maju dan beradab. Isu-isu plagiarisme dan hak kekayaan intelektual yang selama ini diabaikan oleh masyarakat kita seolah menjadi alasan bangsa ini harus mulai membuka mata bahwa untuk menjadi bangsa yang maju maka diperlukan sumber daya manusia yang unggul dan berkarakter.Â
Membaca dan menulis harus dijadikan budaya dan menjadi karakteristik masyarakat Indonesia ke depan yang dapat dijadikan bekal untuk berinovasi dan menyejajarkan dirinya dengan bangsa maju lainnya.