Mohon tunggu...
Astri Rahayu
Astri Rahayu Mohon Tunggu... Freelancer - Philanthropist

Easy Like Sunday Morning

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Afi, Dugaan Plagiarisme dan Semangat Literasi

4 Juni 2017   08:08 Diperbarui: 8 Juni 2017   02:01 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan Ramadhan ini diwarnai dengan ramainya pemberitaan tentang Afi, seorang remaja belia dengan opininya yang diposting di salah satu media sosial yang membuat jagat maya bergejolak. Afi Nihaya Faradisa yang tulisannya terlihat sangat rapi dan runtun tentang kesangsiannya akan kebebasan seseorang untuk meyakini agama dan pendapatnya menuai komentar dari banyak orang. Sebagian orang berkomentar miring tentang dangkalnya pemahamam gadis SMA ini tentang agama yang dianutnya. Beberapa penggalan opininya berisi tentang keberadaan agama ditengah masyarakat yang diyakininya sebagai warisan memang menuai kontroversi. Banyak yang mengkhawatirkan tentang miskonsepsi akidah yang dianutnya, yang jika dibiarkan malah akan membentuknya menjadi seorang liberal.

Sebahagian lagi malah memuji gadis sederhana ini karena telah berani beragumen dengan gaya tulisan yang cukup kontroversi ditengah maraknya anak-anak muda seusianya yang hanya mampu menghapal lagu-lagu korea dan mengupload status galau mereka. Gadis remaja ini telah mengubah pandangan banyak orang tentang anak-anak muda jaman sekarang yang cenderung hedonis.

Suasana menjadi semakin runyam ketika kemudian disinyalir telah terjadi praktek plagiarisme yang dilakukan oleh Afi. Padahal sejak postingannya menjadi viral, Afi telah diundang oleh salah satu stasiun TV yang mewawancarainya berkaitan dengan postingannya yang booming itu. UGM pun rupanya tidak mau kalah dengan mengundangnya sebagai nara sumber dalam sebuah diskusi ilmiah kampus. Tidak cukup sampai disitu, Afi pun diundang ke istana negara oleh Presiden Joko Widodo untuk menghadiri upacara Hari Kesaktian Pancasila 1 Juni kemarin, mengalahkan seorang anak SMP yang menjadi penemu sumber energi listrik dari pohon kedondong yang sepertinya kalah populer dibanding Afi.

Komentar yang muncul pun beragam bentuknya. Ada yang memberikan pujian dengan bahasa yang indah, ada yang bersifat netral, ada yang hanya memberikan pesan konyol dan bahkan ada yang memberikan komentar dengan kata-kata kasar dan cenderung provokatif terhadap komentar yang bersebrangan dengan komentarnya. Riuh sekali.

Masyarakat terlanjur kecewa. Afi dianggap telah melakukan dua kesalahan besar baik dari segi konten tulisan maupun dari segi validitas sumber penulisannya itu sendiri. Padahal, di era literasi sekarang ini, Afi dianggap sebagai sosok remaja yang telah memiliki kemampuan literasi yang hebat untuk remaja seusianya. Faktanya, yang memiliki kemampuan hebat ini justru adalah seorang Mita Handayani, pemilik akun FB yang postingannya dicopas oleh Afi.

Yang membuat saya tertarik untuk membuat tulisan tentang Afi ini justru bukan masalah konten atau hawa plagiarisme yang ada pada postingan Afi. Sampai hari ini, komentar atau tanggapan tentang postingan Afi tentang Agama Warisan masih mengalir di berbagai media sosial. Dari mulai komentar orang awam sampai analisis para pakar dengan mudah kita temui. Dan sampai detik ini, tidak ada kata penutup yang ditawarkan yang bisa mengakhiri semua komentar yang telah muncul di publik.

Tanpa disadari, penulis melihat adanya semangat literasi justru muncul dari para komentator ini. Para pendukung dan penentang argumen Afi ini sama-sama ingin memberikan argumen yang kuat, terukur dan logis untuk memperkuat atau menyanggah argumen lawan dengan akurat. Argumen mereka disusun dan ditulis dengan sangat baik, valid dan akurat dengan memberikan data dukungan yang terperinci untuk memperkecil peluang lawan mencari kesalahan. Hebatnya lagi, ada juga komentar yang sampai membongkar dan menanalisa keabsahan setiap postingan secara detail. Satu hal, karena masalah yang mereka perdebatkan diantaranya adalah masalah plagiarisme, maka semua kometar yang mereka ungkapkan dalam hal ini bersifat original, pendapat mereka sendiri dan bukan mengutip pendapat orang lain.

Budaya literasi adalah budaya mengungkapkan gagasan secara tertulis dengan cara yang baik, santun dan mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku. Seseorang bisa dikatakan cerdas jika dia memiliki kemampuan literasi yang baik, yakni kemampuan menuangkan gagasan secara tertulis, runtun dan berstruktur. Secara teknis, dia akan menggunakan bahasa yang baik, pilihan-pilihan kata yang santun, tidak provokatif dan diakhiri dengan semangat positif dalam setiap tulisannya. Yang tidak boleh dilupakan oleh setiap penggiat literasi adalah originalitas dari setiap tulisannya. Ada kode etik yang harus diperhatikan seandainya seseorang ingin mengutip atau menyadur tulisan orang lain dan akan dimasukkan ke dalam tulisannya.

Perlu waktu memang untuk mengubah budaya cacian menjadi budaya empati yang terwujud dalam sebuah tulisan yang memiliki ruh, bernas. Kiranya suatu hari nanti akan tercipta sebuah generasi di negara ini yang mengedepankan semangat literasi, bukan semangat mencaci. Semangat berinovasi, bukan semangat mencuri.

 

Kuala Lumpur, 4 Juni 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun