Mohon tunggu...
Astrid Vanya
Astrid Vanya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menelaah sisi lain "Nek Lido dan Radio Transistor"

21 Oktober 2015   18:45 Diperbarui: 26 Oktober 2015   20:23 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan sore tadi masih menyisakan genangan di jalan becek yang memotong kampung di pinggiran sungai pada kaki bukit. Selain perahu penyeberangan yang ditarik tambang antara kedua sisi sungai, tak ada penduduk yang berani menyeberang dengan perahu kecil lainnya terutama pada musim seperti saat ini.

Hari ini bulan ketujuh sejak Hamid hilang tertelan arus sungai yang membelah kampung itu. Sejak sebuah perusahaan milik orang kota menebang pohon di gunung tepat ke arah matahari terbenam itu, arus sungai menjadi sangat deras. Paling berbahaya sebab batangan pohon sering ikut menerjang apa saja yang menghalanginya. Iman desa Basari pernah ditemukan pingsan dihantam batangan pohon yang hanyut itu saat berak di pinggir sungai. Beruntung ia tidak terbawa arus dan menjadi mangsa buaya putih yang dipercaya penduduk kampung sebagai penjaga sungai itu entah sejak kapan.

Beberapa kali terdengar suara gedebuk dari kebun belakang. Buah kelapa yang matang tak kuat lagi bergelantungan di pohonnya sehingga harus rela jatuh ke bumi menimbulkan bumi gedebuk tadi. Tak ada yang peduli. Selain pohon cokelat yang tumbuh serampangan, pohon kelapa menjadi penghasil kopra dan menjadi pendapatan lain selain padi dan jagung bagi penduduk kampung itu. Beberapa keluarga menanam ubi jalar dan ketela di antara pohon cokelat. Beberapa ratus meter ke arah bukit, terdapat pekuburan yang berbatasan langsung dengan hutan lebat. Tak banyak penduduk yang suka datang ke pekuburan itu, selain untuk memakamkan warga kampung yang meninggal. Terlalu angker, kata mereka.

Kampung sebenarnya telah mati bersamaan saat matahari jatuh ke ufuk barat. Surau yang lebih banyak kosong berdiri rapuh di ujung jalan menghadap ke timur. Beberapa rumah terlihat masih menyisakan aktivitas. Terdengar suara bercakap dari penghuninya diselingi gerakan lampu minyak kemiri yang sering-sering hampir padam terkena angin dari sela-sela dinding rumah. Dinding rumah penduduk yang bisa dihitung dengan jari tangan dan kaki memang jarang-jarang. Itulah mengapa angin malam yang dingin menggigit bisa dengan leluasa memainkan api lampu kemiri yang menjadi penerang utama rumah-rumah penduduk. Aktivitas pemilik rumah juga dengan mudah terlihat dari luar. Hampir-hampir tak ada privacy. Bahkan, aktivitas di atas tempat tidur pun bisa terlihat dari sela-sela dinding rumah yang tak pernah tersentuh alat serut kayu.

Nenek Lido masih merapikan jagung-jagung kering sisa kebun yang dipetiknya tiga hari lalu. Rencananya, jagung yang telah mengeras itu akan ditumbuk di lesung kayu miliknya tepat di bawah pohon samping kandang dua ekor kambing miliknya di belakang rumah. Kakek Lido, suaminya, sangat gemar menyantap nasi campur jagung meskipun hanya berlauk ikan asin dan sayur daun berbumbu segenggam garam kasar.

Dua anak gadisnya, Jona dan Warni, berusaha menggotong pisang yang masih basah sisa hujan ke loteng darurat, tepat di atas ranjang keduanya. Jona yang lebih tua memanjat loteng terlebih dahulu untuk menarik ke atas sementara Warni adiknya mengusung pisang dari bawah. Dua orang gadis tangguh. Tak hanya secara fisik, tapi juga ketegaran menghadapi kemiskinan. Sesekali Nenek Lido memandang kedua anak gadisnya dari arah belakang. Ia masih sering memendam keinginan menggendong mereka dalam buaian kasihnya seperti ketika ia melahirkan mereka berdua. Nenek Lido melahirkan Jona ketika usianya telah mendekati masa menopause. Puluhan tahun ia menunggu kehadiran anak- anaknya. Tak terhitung dukun yang didatanginya. Ia telah hampir putus asa ketika Jona mulai ia hamilkan. Nenek sangat mencintai kedua putrinya itu meskipun orang-orang kampung sering kali menggunjingkan usianya yang tidak lagi muda.

Tak lama, upaya Jona dan Warni berhasil dan pisang bisa digantung di sebilah bambu yang dipasang melintang di loteng. Jona sempat berbalik ke belakang sebelum turun ke lantai bawah. Ujung telinganya seakan mendengar tarikan nafas di balik timbunan daun jagung yang menjadi dinding penahan angin di loteng bagian belakang. Tak ada apa-apa. Gelap.

Kakek Lido tak pernah beranjak dari tempatnya, kursi kayu sekaligus ranjang tempat tidurnya. Sudah tiga belas tahun dia menikmati hari-harinya di situ. Saat istrinya membopong pisang, jagung atau hasil bumi kebun mereka ke pasar untuk di jual dengan berjalan kaki sejauh empat kilometer setiap Rabu, Kakek Lido tak pernah jauh beranjak dari tempatnya. Ia hanya gelisah jika suara radio transistor yang menjadi temannya sejak lama sekali mulai suak. Kakek Lido tak akan bisa tidur tanpa radio itu di samping kepalanya. Tak peduli apakah siaran di radio transistornya ia mengerti maksudnya. Tapi dunia seakan menjadi miliknya jika suara Elia Khadam melantun meskipun sesekali suara radio melengking akibat gelombang radio lagi jelek.

Nenek Lido bertubuh subur. Meskipun giginya hanya tersisa tiga buah di bagian kanan atas dan kiri bawah, senyum tak pernah hilang dari wajahnya. Konon, nenek Lido dulu cantik. Banyak jawara kampung dulu mencoba mendapatkan cintanya. Tapi ia dengan tulus menerima pinangan kakek Lido sesuai keinginan ayahnya. Kata ayahnya, terlalu bodoh untuk menolak pinangan Lido muda. Rajin shalat dan punya empat ekor sapi gemuk. Lagipula, mana ada anak gadis di kampungnya yang berani melawan keinginan orangtuanya. Cerita tentang kecantikan itu mungkin saja benar sebab dua anak gadisnya manis, segar, dan kuat seperti ibunya.

Malam semakin dingin dan Nenek Lido berusaha menegakkan badannya untuk menuju ke ranjangnya. Dari kamar bagian tengah yang hanya dibatasi selembar kain bekas seprei yang tak lagi terpakai, dua anak gadisnya tak lagi terdengar suaranya kecuali derit ranjang kriaak… kriuuuk setiap ada pergerakan di atasnya. Kakek Lido tenggelam dalam buaian lagu entah siapa dari radio transistornya. Tapi kakek belum tertidur. Batuknya masih bersahut-sahutan pada beberapa jeda waktu.

”Kamu pinjam alu Puang Daha’ besok pagi. Alu kita patah,” Nenek Lido mematikan nyala lampu minyak kemiri yang terselip di tiang rumah. Tak jelas ia berbicara dengan siapa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun