Setelah semua nyawa berkumpul dan bersyukur dalam hati atas udara pagi yang masih segar kuhirup, rutinitas wajibku setiap pagi adalah menyeruput segelas teh dingin, melihat kesibukan Mama di dapur, menyalakan TV, dan membaca koran pagi. Namun namanya peristiwa, ada yang menarik dan ada yang sama sekali jauh dari menarik. Tentu tak setiap hari koran menarik untuk dibaca, apalagi untuk aku yang hobi membaca headline dan judul berita. Kalau menarik ya dilanjut, kalau gak menarik ya berlanjut ke lembar yang baru hehehehe….. Koran pagi itu agak berbeda. Berita utamanya tentang kebakaran toko elektronik di kota Palembang. Mengapa menarik buatku? Sembilan tahun hidup di Palembang, membuatku memiliki kedekatan dengan kota ini, jadi wajar bila aku melahap berita tersebut. Beritanya sih menyebutkan penyebab kebakaran ditengarai berkaitan dengan Pemilihan Walikota, wihh sampai bakar-bakaran gitu, seram ya? Masih di halaman depan, seperti scroll mouse, kedua bola mataku turun ke bawah dan menemukan berita tentang Konferensi Surat Kabar (WAN-IFRA) di Bangkok, Thailand. Foto yang dipasang adalah foto Yingluck Sinawatra, Perdana Menteri Thailand. Dalam foto, Ia tampak elegan, cantik mempesona. Gaya khas ala Ibu Negara. Ia mengaku gugup berhadapan dengan ratusan jurnalis dari berbagai belahan dunia. Meski sempat merasa dikeroyok saat mengobrol santai yang membahas Lese Majeste (semacam undang-undang subversif yang pernah berlaku di masa orde baru. Aku pun kurang paham maksud detailnya hehehehe), namun Ia tampak santai, dan menanggapinya pun dengan santai. Karir perempuan berpolitik bukan milik Yingluck semata. Surabaya misalnya, memiliki Walikota perempuan yang tutup telinga pada cibiran, dan memiliki sifat ‘ndablek’ khas arek Suroboyo. Soal prestasi? ciamiiiikkk dehh, silakan tanya sendiri pada warga Surabaya atau coba tanya Prof.Google yang mengenal betul sosoknya hehehehe…. Di Asia, perempuan berpolitik memiliki banyak cerita. Sebut saja Benazir Bhuto dan Gloria Macapagal Arroyo yang perjalanan karirnya berakhir menyedihkan, atau justru yang memulai perjalanan politiknya dari hal yang menyedihkan seperti Aung San Suu Kyi. Di Indonesia sendiri, perempuan berpolitik memang sudah biasa. Tapi sayangnya, sering diikuti dengan pendapat yang kurang menyenangkan, seperti keberadaan mereka yang hanya untuk memenuhi kuota keterwakilan perempuan lah, penempatannya di nomor urut dua lah, dan banyak lagi. Terlalu membosankan ya berbicara politik?. Tenang, setelah aku membuka lembar berikutnya, aku menemukan artis Filiphina yang sangat berbakat meski usianya baru 15 tahun, Charice Pempengco. Beritanya sih kurang menyenangkan. Ia mengaku sebagai perempuan penyuka sesama jenis. Kasihan? Dulu aku kasihan sama kaum minoritas ini, tapi lama-lama kenapa juga kasihan ya? Itu kan sudah keputusan mereka, dan mereka juga gak minta dikasihani. Berita ini cukup menarik buatku. Pertama, karena suara emasnya yang pernah kudengar di acara Oprah Winfrey Show. Coba bayangkan, gadis semuda itu sudah menjadi bintang tamu di 2 talk show bergengsi, Oprah Winfrey Show dan Ellen Degeneres Show, serta tampil dalam acara musikal yang menurutku cukup oke ‘Glee’. Keren kan?. Selain karena prestasinya, yang menarik perhatianku adalah keberaniannya untuk mengaku, jujur kepada publik tentang orientasi seksualnya. Portia de Rossi harus menunggu belasan tahun menguatkan keinginannya untuk ‘jujur’ pada publik. Begitu juga dengan partner hidupnya Ellen Degeneres. Menurut penelitian yang pernah kubaca di salah satu media online, orientasi seks seorang perempuan bisa berubah di usia 40 tahun-an. Nah loh!!. Ada banyak faktor, diantaranya karena sahabat perempuan mereka dinilai lebih bisa memahami mereka ketimbang suami mereka sendiri. Salah satu contohnya Cynthia Nixon, pemeran ‘Miranda’ dalam acara Sex and The City. Ia menikah dengan perempuan setelah sebelumnya menjalani pernikahan normal dengan pria, berarti awalnya dia hetero seksual kan?. Kemudian, gosip tentang hubungan terlarang Ibu Negara Eleanor Roosevelt dengan wartawati Lorena Hickok (aku juga gak tau bener gak nya, belum pernah baca buku kumpulan surat cintanya sihh). Kembali ke Charice, sekarang coba pikir, kalau di Amerika yang notabene lebih bebas (bahkan beberapa negara bagiannya sudah melegalkan pernikahan sesama jenis) saja mereka harus pikir-pikir sampai bertahun-tahun, bagaimana dengan nasib dan karir Charice yang masih sangat muda dan berasal dari Asia pula?. Tapi ya sudahlah, toh katanya dia sudah siap dengan semua resiko, mungkin dia sudah mulai dewasa. Di Indonesia, mungkin juga negara lain cerita perempuan selalu dikaitkan dengan budaya dan gerakan feminisme. Feminisme sering dianggap negatif, utamanya di Indonesia. Para feminis dianggap gak butuh pria, eh siapa bilang?. Mariana Amiruddin dari Jurnal Perempuan, buktinya punya suami lohh.. Menurut Mariana, kesetaraan gender adalah keseimbangan. Jadi jelas ya, para aktifis perempuan itu menuntut keseimbangan, bukan menuntut posisi yang ‘lebih’ dari pria. Feminis juga identik dengan sekumpulan perempuan penyuka sesama jenis. Mereka sering mengambil contoh Irshad Manji atau penulis kenamaan Virginia Woolf. Ya entahlah, tapi menurutku salah kalau menganggap mereka berdua sebagai feminis, lebih tepat kalau anggap mereka sebagai aktifis LGBT, bukan feminis. Aku setuju kalau perempuan dibilang makhluk serba bisa atau istilah kerennya ‘multitasking’. Mungkin benar kata Mba Petty S Fatimah dalam program siarannya di UFM Radio, kalau label multitasking itu sebenarnya kurang membawa keuntungan bagi perempuan itu sendiri. Mereka jadi kurang fokus, mungkin bisa dianggap sebagai salah satu kelemahan perempuan dibanding pria. Tapi aku pribadi kurang setuju dengan Mba Petty, maaf lohh mba.. beda pendapat boleh kan? :D Kurang fokus oke lah ya.. tapi selama kita masih bisa mengerjakan, menikmati prosesnya, dan hasilnya pun lumayan, kenapa enggak?. Aku dibesarkan oleh perempuan yang serba bisa. Pagi hari Mama membersihkan rumah (maklum keluargaku gak pernah punya pembantu), memasak, lalu larut dalam kegiatannya sebagai pekerja sosial di dunia pendidikan, malamnya masih bisa mendengarkan ceritaku seharian di sekolah sambil mengerjakan ‘PR’ nya (berbagai dokumen), masih bisa mengurus suami, sekolah anak-anaknya, dan banyak lagi. Jadi kenapa enggak untuk jadi perempuan serba bisa? :) Bicara peran perempuan dalam rumah tangga, aku jadi ingat dengan pernikahan teman baik-ku, 2 bulan lalu. Ada cerita mengharukan dalam pidato pernikahannya. Dengan gaun yang cantik, dia bercerita penuh semangat tentang kisah cintanya dengan suami, yang menarik buatku adalah bagian lamar-melamar. Kurang lebih seperti ini ceritanya: Ketika pria disamping saya ini bertanya pada saya “maukah kamu jadi istriku?” yang pertama muncul di benak saya adalah “bagaimana nasib saya nanti?”. Setelah terdiam beberapa saat memandangi wajah tegangnya, saya bertanya padanya: “kalau aku jadi istrimu, bolehkah aku membawa hidupku yang sekarang?. bolehkah aku tetap bekerja?, melintasi benua mengejar mimpiku, terkadang aku harus menitipkan bayi kita sama kamu dengan stok asi, pempers, dan beberapa lembar catatan yang sudah aku siapkan? maukah kamu nanti membantuku memberi penjelasan ke anak-anak kita kalau mereka bertanya “kenapa mama harus ke luar negeri, ke luar kota, harus bekerja dan pulang malam?” belum selesai saya bertanya, dia menggenggam tangan saya. Dia memberi jawaban yang sama sekali tidak terduga. Saya tidak akan lupa moment itu. Dia bilang: “aku tidak akan mengambil kehidupan yang sudah Tuhan beri untukmu jauh sebelum kita bertemu. Selama kamu meninggalkan stok asi yang cukup, itu tidak masalah buatku, karena aku gak bisa kasih asi ke bayi kita. Kalau mereka bertanya padaku kenapa ibunya harus ke luar negeri dan bekerja, maka aku akan menjawab bahwa ibunya memperjuangkan mimpi yang mimpi itu juga akan mereka miliki ketika dewasa. Mereka juga akan bekerja seperti ibunya ketika mereka dewasa, dan aku akan minta mereka belajar dari ibunya sejak mereka masih kecil. Dan aku yakin, sama seperti aku, anak-anak pasti akan bangga padamu. Jadi maukah kamu menjadi istriku?”. Mendengar jawaban penuh kejutan itu saya langsung memeluk, dan menelfon Mama saya minta segera dinikahkan. Semua undangan tertawa, dan teman yang duduk di sebelah saya terlihat menyapu air matanya dengan tisue. Pidatonya berakhir dengan standing applause. Begitulah perempuan. Ia bisa menjadi apapun, di dunia apapun, dan dia memiliki cerita, mimpi dan keberanian yang luar biasa seperti keberanian Charice. Buatku perempuan bisa digambarkan seperti Mama. Menjadi dokter bagi keluarga, Menteri Keuangan, Guru yang pertama kali mengajarkanku berbicara, berjalan, berfikir bebas, mandiri, dan mengambil keputusan di usia yang masih sangat dini. Mama juga koki yang hebat meski tak pandai memasak masakan favoritku, masakan padang. Dan satu hal, jangan pernah meremehkan insting seorang perempuan. Kadang insting kami lebih kuat dari logika sekalipun.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI