Hampir dua jam berlalu. Jam menunjukkan angka 15.45. Aku memutuskan untuk menyudahi pelatihan. Aku pikir semua anak akan merasa senang karena kelas berakhir 15 menit lebih cepat. Ternyata aku salah. Gendis protes keras.
“Loh kan katanya Mba Yuli sampai jam 4?”
“Ya sudah, kalau ada yang mau tanya silakan, sambil menunggu jam 4 sore”
Seperti sudah bisa ditebak. Tak ada yang tanya. Mereka justru mengajak-ku berfoto bersama menggunakan kamera yang ada di Kantor Hotline.
Sebelum berfoto, aku sempat bermain bersama Jawa. Pria kecil yang usianya mungkin baru 5 atau 6 tahun. Rambutnya tebal, kulitnya bersih, matanya cenderung sipit, dan memiliki senyum yang menawan. Ia juga tak menolak aku pangku saat kami berfoto bersama.
Anak-anak itu memiliki magnet. Magnet itu pula yang mungkin menahan Bu Esthi untuk tetap memperjuangkan mereka. Magnet yang berhasil membuatku selalu mengingat mereka, bahkan sesaat menjelang tidurku.
Aku masih ingat ketika aku dan Bu Esthi ngobrol berdua. Kami berbincang tentang mereka. Mata Bu Esthi tak lepas memandangi anak-anak didiknya yang sedang asyik menyantap makanan yang telah disediakan.
“Kalau aku menyerah, lalu siapa yang akan mengurus mereka?” itulah jawabannya ketika aku bertanya mengapa ia memilih jalan hidup ini. Jalan hidup yang ditentang keluarganya sendiri. Ketika semua orang pusing memikirkan persoalannya masing-masing, maka Bu Esthi justru pusing memikirkan persoalan para gadis muda itu.
Sungguh aku tak habis pikir, adakah di dunia ini manusia yang memiliki panggilan jiwa, menjadi aktifis kemanusiaan seperti yang dimiliki oleh Bu Esthi? Ia bahkan mengorbankan impian semua perempuan: menikah.
Pertanyaan yang sempat terlontar dari mulutnya “Setelah aku, siapa ya kira-kira yang akan mengurus mereka?”
Mendengar pertanyaan itu, aku hanya terdiam, membisu. Namun hatiku sudah memberikan jawaban yang mungkin tak dapat di dengar oleh Bu Esthi. Namun aku yakin, jawabanku ini sudah dipahami sepenuhnya oleh Beliau: Tuhan tentu akan mengutus seseorang, memanggil jiwanya, sama seperti ketika Tuhan mengutus dan memanggil jiwa seorang Esthi Susanti Hudiono.