Tak heran bila Bening kemudian menolak untuk dinikahi kekasihnya. “Dia menolak menikah karena masih ingin sekolah” cerita Bu Esthi dengan tatapan mata yang menerawang, seolah membawanya kembali pada masa-masa itu. Bening bersama Putra, hingga kini masih tinggal di Shelter Hotline bersama dengan para perempuan lainnya.
Sepanjang kelas berlangusng, sesekali terdengar Putra merengek, berusaha mencuri perhatian Ibunya yang sedang asik mengikuti pelatihan menulis. Berbagai cara dilakukan untuk menenangkan si kecil. Bahkan para Tantenya pun ikut sibuk menenangkan. Selama dua jam pelatihan, aku melihat Putra di berbagai sudut. Dekat pintu masuk, di pangkuan Ibunya, di atas meja, hingga berlari kecil mengelilingi meja.
Tak jarang, si tampan kecil ini menjadi bulan-bulanan para Tantenya. Mulai dari pipi tembemnya yang dicubit, dicium, hidungnya yang dipencet-pencet dan banyak lagi. Putra memang mengesankan. Wajah polosnya sungguh seperti magnet. Pertemuan pertama-ku dengan Putra juga mengesankan.
“Heii itu anak-mu ya?” tanyaku penuh semangat pada Bening.
“Iya ini anakku, Mba. Namanya Putra” mata Bening berbinar, kedua tangannya menggerakkan kepala mungil Putra, memamerkan ketampanan Putra padaku. Pria kecil itu menatapku dengan cengiran yang menggoda, seolah tau maksud hati sang Ibu yang tengah me-mamerkannya padaku.
Awalnya kupikir, pelatihan ini tak akan membawa kemajuan pada kemampuan menulis mereka. Maklumlah, mereka kerap kali lebih tertarik pada gadget-nya ketimbang materi pelatihan. Ternyata aku salah. Bening bahkan masih ingat dengan materi dan ajaran yang aku berikan 2 minggu lalu. Gendis (bukan nama sebenarnya), gadis kecil berjilbab yang duduk di sebelah kiri-ku bahkan sudah jago bercerita lewat tulisan.
Ceritanya sungguh menarik. Detail, alurnya sangat halus, dan penuh dengan perumpamaan yang mengesankan. Aku tebak, Ia masih SD atau maksimal SMP, namun kemajuannya sungguh pesat.
Gendis tak sungkan-sungkan mengingatkanku untuk diam, ketika ia sedang mengerjakan tugas yang aku berikan. Sepertinya dia butuh konsentrasi. Sambil menunggu Gendis, Bening, dan delapan anak lainnya menyelesaikan tulisannya, aku menghabiskan lembar demi lembar buku yang kubawa.
Suasana begitu hening. Anak-anak berkonsentrasi penuh dengan tulisannya, sedangkan aku tenggelam dalam setiap barisan kalimat dari buku yang kubaca. Hening ini begitu damai. Mungkin Malaikat juga ikut tersenyum melihatnya.
Hingga tiba-tiba suara Hanum (bukan nama sebenarnya) memecah keheningan. “Mba Astrid! itu novel ya?” tanya-nya menebak.
“Hmm.. bukan. Kenapa?”