Mohon tunggu...
Astrid Ayu Septaviani
Astrid Ayu Septaviani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang Muslim, Seorang Perempuan, Seorang Anak, Seorang Adik, Seorang Karyawan, Seorang Mahasiswa, Seorang Teman, dan Seorang Tante dari 3 pengacau kecil. Seorang Pengagum Maria Eva Duarte ( Evita Peron ) semenjak SMP. Evita buat saya simbol kekuatan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tak Hanya Negara, Pribadi Pun Berbhineka

18 Agustus 2014   20:00 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:13 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sabtu lalu, saya bertemu seorang teman lama, tepatnya sih janjian untuk bertemu. Meski sama-sama tinggal di Surabaya, kami bisa dibilang sangat jarang bertemu. Sesekali menyapa di WA, itupun kalau masing-masing ada perlunya saja (bukankah ini sering terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari?). Sabtu lalu, mungkin untuk pertama kalinya, kami bertemu tanpa ada maksud tersembunyi.  Hanya ingin ngobrol ringan. Tidak lebih.

Saat bertemu, dia terlihat lebih gemuk dan rambutnya lebih panjang. Selama 4 tahun saling mengenal, tak sekalipun saya melihat dia memanjangkan rambutnya hingga sebahu. Selain dari itu, senyumnya, jahilnya, kerenyahan suaranya, dan keramahannya masih sama seperti yang dulu. Kami berdua sama-sama lupa kapan terakhir kali bertemu. Mungkin ini yang membuat kami bisa connect. Dua perempuan yang sama-sama pelupa, sama-sama cuek dan sama-sama jahil.

Singkat cerita, dari pertanyaan basa-basi seputar kabar, karier, pacar, obrolan melebar hingga urusan Pilpres, Isis, film, sepatu, uang NKRI yang rumornya diluncurkan hari ini, hingga peluang bisnis. Banyak? Seru? bangeett!! Hampir 3 jam ngobrol ngalur ngidul, sungguh menyenangkan. Saat membahas Pilpres, baru terungkap kalau kami punya jagoan yang berbeda.  Adu argumen sempat terjadi, tapi karena saya bukan tipe orang yang suka memperdebatkan sesuatu yang saya tidak kenal betul, tidak tahu pasti, dan tidak paham 100%, maka saya akhiri dengan tantangan untuk bertaruh. Saya mengajak dia taruhan ice cream Zangradi selama 2 Sabtu berturur-turut, dan dia setuju.

Untunglah, adu argumen ini berakhir dengan seru. Tak terbayangkan bila pertemanan kami harus renggang hanya karena dua pasang Capres yang sama sekali nggak kenal kami berdua. Konyol kan? Entah seperti apa ceritanya, tiba-tiba saja, kami ngobrol tentang ISIS, lalu merembet soal Agama.  Teman saya ini keturunan tionghoa, beragama Katolik, dan peranakan Menado-Palembang. Dia baru tinggal di Surabaya selama 6 tahun. Sebelumnya, sama seperti saya, dia harus hidup nomaden dari satu kota ke kota lainnya.

Ditengah obrolan yang seru, tiba-tiba dia bertanya “Kamu pernah nggak, ibadah di Masjid dengan perasaan khawatir?” Saya mengerutkan kening saya. Sebetulnya saya sudah tahu, kemana arah pertanyaannya, tapi saya memutuskan untuk pura-pura tidak tahu. “Aku pernah beberapa kali. Ketika ibadah seharusnya hikmat, malah jadi takut” sambungnya. Saya masih terdiam. “Tapi itu dulu, beberapa tahun lalu. Semoga saja, tidak terulang lagi.” Saya pun tidak bertanya maksud kalimatnya yang “semoga tidak terulang lagi”.

“Aku belum pernah, tapi kakakku pernah. Bukan cuma ibadah, bahkan saat beraktifitas.” Kali ini dia yang mengerutkan keningnya. Saya kemudian menceritakan pengalaman kakak perempuan saya yang tinggal di Ambon, Maluku Tengah. Ia memutuskan untuk mengenakan jilbab sekitar 2 tahun yang lalu. Keputusannya itu dibuat saat pulang ke Surabaya, merayakan lebaran bersama kami. Ibu saya dan saya yang tidak berjilbab, merasa terharu dengan keputusannya. “Alhamdulillah” sahut mama dan saya kompak. “Supaya nggak dikira Kristen ma” sambung kakak saya dengan segera. Ibarat film kartun, mama dan saya seperti terjungkal ke belakang. Gedubrak.

Saya yang besar di Sumatra, bersekolah di sekolah Katolik, bertemankan teman-teman tionghoa, India, Kalimantan, Sumatra, Jawa beragama Islam, Katolik, Budha, Konghucu, Kristen, dan Hindu tidak pernah merasa sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tidak menyamankan, sesuatu yang harus membuat saya merasa gelisah. Teman akrab saya justru kebanyakan bergama Katolik dan Budha. Melihat altar dengan berbagai buah dan hio di rumah teman-teman adalah hal yang biasa buat saya. Mendengar cerita mereka tentang berbagai ritual, berkunjung ke rumah mereka dan rumah teman Mama yang merayakan Imlek, mendapat angpao merah juga menjadi hal yang biasa. Bukan sesuatu yang luar biasa buat saya. Di sekolah saya, ada kebiasaan tiap tahun yang pasti terjadi. Saling memberi kartu ucapan Natal dan Idul Fitri kepada teman-teman yang merayakan. Sampai SMP, saya juga menyimpan kartu bergambar Avalokitesvara (Dewi Kwan Im) pemberian teman. Katanya kartu itu bisa melindungi saya. Saya juga pernah mendapat booklet bergambar Nabi Isa (Yesus Kristus) lengkap dengan doa’nya, juga pemberian teman.

Setiap hari saya bertemu mereka, duduk sebangku bersama mereka, bermain bersama, menikmati menu Imlek yang halal, menikmati kue lebaran di rumah saya, dan menikmati kue Natal serta telur Paskah bersama. Tidak ada yang menyeramkan. “Mungkin karena waktu itu kamu masih SD. Anak kecil kan nggak kenal perbedaan semacam itu?” celetuk teman saya.

Ketika saya dan Mama berkunjung ke Ambon dan Masohi, tempat tinggal kakak perempuan saya, kami diajak berkeliling. Seperti guide, kakak saya menjelaskan berbagai tempat yang kami lewati. Beberapa kali saya mendengar penjelasan yang serupa. “Ini perkampungan Kristen Ma. Ini sekolah khusus Islam dek, kalau yang di atas khusus Kristen.”

“Islam nggak boleh ya sekolah di sekolah yang di atas?”

“Boleh, tapi ya gitu dehh.. ada nggak enaknya. Tapi di sini aman kok” sambungnya menenangkan.

Kakak saya bukanlah produk kerusuhan. Dia lahir di Surabaya, besar di Cirebon, Karawang, Palembang, dan Malang. Kota-kota yang menghargai ke-bhineka-an. Mengkotak-kotakan manusia berdasarkan Agama, suku, dan kelas sosial tidak pernah diajarkan padanya. Itu mengapa, dia tidak pernah bersedia menjelaskan secara rinci maksud dari pernyataannya “Biar nggak dikira Kristen, Kampung Kristen, Kampung Islam, dan lain-lain.” Dia hanya berkata “tapi di sini aman kok.” Dia tidak ingin menceritakan apa yang sesungguhnya dia rasakan selama tinggal di Maluku Tengah.

“Kakakku bisa merasakan apa yang kamu rasakan.”  kata saya pada teman saya.

“Itu karena kakakmu bukan anak kecil. Sebenarnya mungkin semua daerah sama. Kamu nggak merasakan perbedaan itu karena kamu masih kecil.” jawabnya.

“Mungkin iya. Buatmu. Nggak buatku. Buktinya, kita ngobrol di sini. Dulu, kita sering menghabiskan waktu berdua seharian. Pernah kamu nggak nyaman sama aku?” dia hanya menggelengkan kepalanya.

“Itu karena aku ataupun kamu tidak pernah berpikir apa agamaku dan agamamu? apa suku-ku dan suku-mu? apa kerjaanku dan kerjaanmu?” sambung saya.

“Kamu tidak pernah mempermasalahkannya, tapi orang lain?” sahutnya cepat.

Pertanyaan itu tidak bisa saya bantah lagi. Saya tidak pernah merasakan apa yang dia dan kakak saya rasakan. Saya paling suka lihat Upacara Bendera di Istana Merdeka lewat layar kaca. Saya suka melihat barisan pelajar yang memakai beragam pakaian daerah, membaur menjadi satu. Saya suka melihat berbagai wajah petugas Paskibra dari 33 propinsi yang pasti suku dan agamanya berbeda.

Perbedaan itu selalu ada. Bukan hanya perbedaan Agama, suku, kelas sosial dan lainnya. Bahkan perbedaan itu ada dari cara kita tersenyum, tertawa, menatap seseorang, memilih pendidikan dan karier, memilih hobi dan tempat berlibur, memilih gadget, sudut pandang, cara memandang masalah, cara menyelesaikan masalah, cara makan, cara tidur, cara menata rumah, memilih tempat nongkrong, memilih bahan bacaan dan lainnya.

Perbedaan itu ada di setiap individu. Antara satu pribadi dengan pribadi lainnya. Antara suami dan istri. Antara kakak dan adik. Antara orang tua dan anak. Antara kita dan teman kita. Tapi coba lihat, betatapun menyebalkannya keluarga, teman, ataupun kekasih, ketika kamu pernah sekali saja merasa nyaman dengan seseorang, tak peduli seberapa besarpun perbedaan antara kamu dan dia, nalurimu akan tetap selalu menerimanya, meski pertengkaran harus jadi pemanis di setiap pertemuannya.

Ada teori yang mengatakan “Manusia hanya ingin mendengar apa yang ingin didengar. Dia memilih fakta sesuai dengan yang disukainya.” Kalau begitu, coba belajar mendengar naluri, hati kecil. Kalau anak kecil saja bisa, masa’ kita yang orang dewasa tidak bisa? bukankah kita harus memberikan contoh pada makhluk-makhluk kecil itu? Perbedaan bukan untuk mengkotak-kotakan manusia sesuai dengan keinginnanmu, tapi untuk menambah warna dalam hidupmu, persis seperti yang dikatakan hati kecilku, dan hati kecilmu. Coba dengarkan.

Perbedaan sesungguhnya tidak menjadi masalah. Dia berubah menjadi masalah sampai kamu yang menjadikannya masalah. Masalah kecil yang kemudian dibesar-besarkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun