Mohon tunggu...
Inovasi Pilihan

Tentang Plastik Berbayar: Sampaikah Pesan dan Tujuan Utama dari Penerapan Kebijakan Tersebut?

27 Februari 2016   22:25 Diperbarui: 28 Februari 2016   00:18 1379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal 21 Februari 2016 lalu, ada sekitar 20an kota di Indonesia yang mulai menerapkan kebijakan plastik berbayar di unit usahat peritel seperti supermarket dan mini market. Ada banyak pertanyaan-pertanyaan dibenak saya dan kegelisahan mengenai isu initerus berkecamuk, maklum memng lagi jadi trending topic di kalangan ibu-ibu (ya, karena bagian belanja belanji memang sebagian besar menjadi urusan para ibu), tapi juga termasuk seluruh kalangan masyarakat Indonesia, sih. Kan kita masyarakat doyan belanja alias konsumtif, iya ga? :p . Sudah hampir sepekan kebijakan plastik berbayar diterapkan di beberapa kota Indonesia. Tapi apakabar progressnya, ya?

Selama 3-4 kali saya berbelanja di supermarket yang berbeda, semuanya punya kondisi yang hampir sama. Saya memang belum bisa menyimpulkan apakah kondisi ini merepresentasikan "progress plastik berbayar", di seluruh Indonesia, tetapi mari kita diskusikan bersama.

Pertama,di hari saat pra penerapan plastik berbayar, saya ngecek beberapa mini market yang kebetulan saya lewati untuk memastikan apakah para pegawai mini market sudah tahu tentang kebijakan plastik berbayar ini. H-3, belum. Okelah saya memaklumi. Tapi ketika H-1 yaitu tanggal 20 Februari 2016, ternyata para pegawai mini market belum tahu tentang kebijakan itu. Yang lebih mengejutkan, H+1 disaat heboh-hebohnya tentang plastik berbayar, ada teman saya yang melaporkan, ketika belanja di suatu mini market ternyata plastik belum bayar.

Kedua, kali keberapa saya belanja (sekalian memastikan) ternyata ada kertas pengumuman tentang plastik berbayar ditempel di dekat mesin kasir, baiklah saya agak lega. Tapi oh tapi, pegawai tidak menjelaskan ada harga yang dibayar untuk sebuah plastik. Seperti biasa, si pegawai langsung memasukkan barang belanjaan si customer ke dalam kantung plastik. Lah? saya cuma mencelus, "ga usah pake plastik mbak, ini kan disuru bawa sendiri tasnya" sambil nunjuk2 tulisan "bawalah kantung belanja sendiri" yang ditiup juga paling melayang. Kecil banget!

Ketiga, di mini market dekat rumah yang seharusnya udah hafal dong kalo saya belanja ga pernah minta diplastikin, tapi nyatanya...hmmm. Tadinya was-was karena ragu mini market ini sudah memberlakukan plastik berbayar atau belum. Pernah suatu saat, itu pegawai berjejer kebingungan waktu saya nolak pake plastik, "loh kok gak pake plastik sih mbak? ini pake, aja". Saya jawab sabar (menurut saya, haha) " ga perlu mas, kebanyakan plastik, nambah-nambah sampah".

Dan ketika keluar mini market mereka masih pasang tampang bengong, karena mungkin belanjaan saya yang lumayan banyak tapi saya jejelin ke dalam satu kantung belanja yang saya bawa sendiri. Balik ke kasus, jadi di depan mesin kasir ternyata sudah ada tulisan " sekarang plastik tidak gratis, bawalah kantung belanja sendiri". Lega? hmm, tunggu dulu. Saya belum mau cepat cepat berlega hati, saya perhatikan customer di depan. Dan apa yang terjadi sesuai praduga saya, malah makin syok karena bukan pertanyaan " mau pakai plastik atau tidak, bu?" malah pertanyaan " mau pakai plastik besar atau plastik kecil, bu?". Hancurlah hati saya berasa di php in karena ekspektasi begitu tinggi.... hiks hiks ‪#‎wanita‬ tongue emotikon

Lalu saya nanya, "kenapa plastik sekarang bayar, mas?" (ngetes). Dan jawabannya adalah......... "iya dari pemerintah begitu"..........

Beberapa waktu lalu saya baca tulisan orang tentang tanggapan plastik berbayar ini yang kurang lebih sama isinya, jawaban ketika para pegawai mini market/supermarket/peritel ditanya bukan alasan yang logis, yang bisa menyadarkan customer untuk bawa kantung belanja sendiri ( tujuan utama dari kebijakan ini), tapi tidak lain dan tidak bukan hanya menjalankan perintah atasan. Ya, gak heran banyak timbul kontra dari para customer smile emotikon

Gak heran kalau banyak yang kontra dengan penerapan kebijakan ini karena banyak hal, dan yang paling ngeselin sih yang suudzon kalau pihak peritel ngambil keuntungan dengan berbayarnya plastik belanjaan itu. Tapi saya memahami kenapa mereka jadi suudzon seperti itu smile emotikon

Awalnya ketika saya belum tau tentang bahaya jangka panjang maupun pendek tentang plastik dan penggunaannya saya pun tidak pernah merasa berdosa menggunakan plastik dengan berlebihan. Saya dulu gak pernah mikir sampe ke bahayanya yang susah terurai di lingkungan, bahayanya ketika dibakar bersama sampah lain, bahayanya yang sudah mulai memasuki rantai makanan kita saat ini dan lain sebagainya yang literally banyak kerugian dan bahayanya daripada manfaatnya (kecuali dengan pengolahan yang benar seperti recycle).

Dari beberapa kondisi yang saya alami sendiri, bahkan jauh sebelum penerapan plastik berbayar ini, saya mencerna suatu hal. Masyarakat ini, butuh pencerdasan. Bukan pemaksaan untuk melakukan hal yang tidak mereka mengerti tujuan dan latar belakangnya mengapa harus begini dan mengapa harus begitu.

Bahkan, sempat berdiskusi dengan orang-orang yang pesimis dan skeptis dengan kebijakan ini, mereka menganggap kalau memang ini alasan "lingkungan" toh masih ada biodegradable plastic yang bisa terurai lebih cepat. Ujung-ujungnya, pro dan kontra disertai rasa pesimistis dengan pemerintah yang mungkin ada "sesuatu di balik batu" atas keluarnya kebijakan plastik berbayar ini tidak ada habisnya.

Beberapa saat lalu, saat menjadi peserta booth NGO dan komunitas di acara Youth Dev Summit 2016 (mewakili ARBC), salah satu pengunjung (yang kebenaran adalah junior di kampus) memberikan masukan yang mungkin bisa diterapkan bersama. Di luar negeri, di awal-awal menerapkan kebijakan plastik berbayarpun sulit, sehingga pegawai peritel memajang foto-foto menyedihkan dan mengenaskan tentang bahaya plastik, sehingga customer memilih untuk membeli dan menggunakan tas pakai ulang dan menolak menggunakan plastik. (terimakasih Shera dan Mimit, hehe :))

Ada baiknya mencoba cara tersebut karena manusia adalah makhluk visual, jika hanya ada tulisan " plastik tidak gratis, bawalah kantung belanja sendiri" , dipajang tidak menariknya menggunakan secarik kertas fotokopian, bahkan kadang-kadang sangat kecil sehingga terabaikan, buat apa dong smile emotikon

Jadi, ada dua hal besar yang menggelitik menurut saya dengan kondisi yang seperti itu. Pencerdasan "sadar lingkungan' ke ranah menengah dan menengah keatas ( akademisi, aktivis, dan sejenisnya) disudahi lah dulu kawan, karena tingkat kesadaran mereka sudah ada hanya perlu disentil hebat sekali dua kali, tapi bagi mereka yang belum tahu sama sekali, bisa jadi semangat untuk menyadarinya melebihi tingkat menengah dan menengah keatas itu.

Mungkin akan sangat efisien, ketika progress itu juga melingkupi "pencerdasan" ke ranah peritel dan unit usaha. Tapi sambil terus melakukan pencerdasan ke masyarakat dan gaya hidupnya. Kedua, tentang cara visualisasi dampak yang akan terjadi. Cara itu jelas menggunakan keadaan psikologi seseorang ketika melihat keadaan menyedihkan dan mengenaskan tersebut, secara naluri pasti ada rasa bersalah ketika mengerti bahwa apa yang dilakukannya ( tidak menggunakan plastik secara bijak) akan berdampak buruk bagi banyak hal.

Nah, terlepas dari semua itu, saya cukup salut dengan banyak orang-orang peduli dibalik penerapan kebijakan ini. Sebab saya sendiri bersama teman-teman di komunitas lingkungan menyaksikan jatuh bangunnya, susahnya melakukan audiensi dengan banyak pihak termasuk pemerintah, pihak peritel, diskusi kesana dan kemari, membuat petisi dan lain sebagainya sampai akhirnya diberlakukan kebijakan ini walaupun masih saja ada yang nyinyir, berkomentar negatif dan lain sebagainya. Tapi saya tetap optimis dan saya yakin, ini baru langkah awal dan belum menjadi "kemenangan" tapi, suatu saat mungkin akan menjadi kemenangan untuk kita semua. Tidak perlulah, sampai harus musibah sendiri yang menyentil kita untuk sadar. Karena kesadaran itu hanya dimiliki orang-orang yang bisa berpikir. Orang-orang yang buang sampah sembarangan, orang-orang yang bianya ngerusak dan gak liat ada masa depan yang dirusak dari situ, biasanya sebagian besar berasal dari kalangan orang-orang yang kurang mendapat akses pendidikan dan pencerdasan. Wajar gak kalau Indonesia ini menyandang status negara berkembang terus menerus?

karena memang akses pendidikan dan pencerdasannya masih kurang. Ditambah beberapa kalangan yang egois, ilmunya ditelen sendiri. Akibatnya, kesadaran lingkungan akan terbengkalai, dampaknya kompleks banget dan bisa meluas, ya kesehatan, keuangan, dan segala sisi kehidupan.

Pertanyaannya, mau sampai kapan?

Kalau ternyata kamu yang sudah mengenyam pendidikan masih buang sampah sembarangan, masih gak peduli untuk gak ngerusak lingkungan yang akan jadi bagian masa depanmu juga, itu artinya kamu belum berpikir. Apa gak bisa mikir?

Yuk, mulai sekarang bijak untuk pakai plastik! jangan lupa juga untuk bijak pilih pilah sampah (next post, mungkin kita berbagi lagi~)

Salam lestari, keep being green!

 

*gambar ilustrasi, bukan mbak2 mini market yang saya kunjungi, kok hehe*

[caption caption="Secarik kertas berisi pengumuman "plastik tidak gratis""][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun