Dulu sekali aku hanyalah gadis biasa yang suka membaca dan tidak suka dengan segala hal yang biasa dilakukan wanita. Aku tidak suka masak karena masak membuatku pusing kalau sudah lihat dapur berantakan. Yang ada akhirnya masakan rasanya jadi tidak jelas. Belum lagi acara cuci perabotan masak yang membuatku malas. Kalau sudah capek dengan beres-beres dapur serta peralatan masak, toh akhirnya menikmati makanan menjadi tidak berselera lagi. Bahkan ketika aku kuliah dan harus hidup mandiri di luar kota pun aku lebih memilih untuk beli makanan jadi daripada harus masak. Padahal ibu itu pinter sekali masak. Masakannya sangat enak. Bahkan dulu untuk membiayai sekolahku, ibuku juga menerima pesanan catering kecil-kecilan dari kantor -kantor yang ada di dekat rumah.Â
Tapi catering itu bukan sumber penghasilan utama ibuku. Beliau sebenarnya seorang penjahit. Sejak aku kecil ibuku sudah membuka jahitan. Sewaktu sekolah dulu aku sering membantu ibuku membawa baju yang sudah dijahit ke pasar untuk di obras. Kadang aku juga membantu menggunting benang-benang hingga baju menjadi rapi. Setiap pagi ibuku selalu memotong kain dari pola baju yang sudah ia buat sejak malam.Â
Ibuku termasuk penjahit yang bisa dengan cepat mengerjakan baju. Mulai dari membuat pola, memotong kain sampai menjahit. Dalam sehari bahkan ibuku bisa menyelesaikan dua stel baju. Dulu aku menganggap ini hanyalah hal biasa saja. Tapi sekarang ketika aku tahu bagaimana proses seorang penjahit menyelesaikan baju, juga melihat berapa lama waktu yang diperlukan oleh penjahit lain menyelesaikan sepotong baju, maka akupun bisa mengacungkan empat jempol untuk ibuku. Karena dia bisa menjahit sangat cepat, di mana untuk menyelesaikan satu stel baju, penjahit lain hanya bisa menyelesaikannya dalam waktu satu hari bahkan dua hari. Sementara ibuku cukup hanya dengan setengah hari saja.Â
Kekuatan dari Terpaksa
Aku masih belum tertarik dengan kegiatan memasak ataupun menjahit hingga lulus kuliah. Apalagi setelah lulus kuliah aku langsung kerja kantoran. Semakin malas rasanya dengan segala hal yang berhubungan dengan ketrampilan wanita. Sementara ibuku selalu saja tanpa henti menyarankan aku untuk bisa memiliki salah satu ketrampilan wanita.Â
Ibuku  bilang, "jadi perempuan itu harus trampil. Karena suatu saat nanti bisa jadi ketrampilan ini yang akan sangat bermanfaat dalam kehidupan."
Tapi aku masih tidak peduli dan terlena dengan pekerjaan yang bisa menghasilkan gaji besar. Bahkan sampai punya anak pun aku tidak tertarik dengan segala ketrampilan wanita. Padahal ketika aku melahirkan, ibuku yang menjahit sendiri popok, gurita bahkan sampai kain bedhong untuk bayi. Hatiku masih belum tergerak untuk bisa menjahit.Â
Hingga akhirnya ketika anak pertamaku berusia tiga tahun, ia sudah mulai jauh dariku dan lebih dekat dengan ibuku. Sakit hati tentunya sebagai seorang ibu. Untuk apa aku bekerja kalau akhirnya hati ini menjauh dengan anakku? Ditambah lagi dengan aku mengandung anak kedua. Di saat itulah aku berpikir untuk berhenti bekerja dan ingin mengurus anak-anakku agar bisa lebih dekat dengan mereka.Â
Ketika aku sudah berhenti bekerja, keadaan memaksaku untuk menjadi single parent. Waktu itu aku dalam keadaan hamil 3 bulan. Lengkap sudah penderitaanku. Ini adalah saat-saat terburuk dalam kehidupanku. Mau tidak mau aku harus mulai dari titik nol untuk memulai kehidupan yang baru. Menanti kelahiran bayi keduaku dan berusaha untuk tetap tegar bukanlah hal yang mudah. Untunglah ada ibu yang selalu menemaniku.Â
Ibu memberiku kekuatan juga dukungan  lahir batin dalam menjalani sekolah kehidupan dan bijak dalam mengambil pelajaran hidup.Â
Dalam masa menanti kelahiran anak keduaku, Ibu seringkali memintaku untuk membantunya mengesom baju yang selesai ia jahit. Kadang ia juga memintaku membuat hantaran pengantin, ini adalah salah satu kebisaan lain ibuku.Â
Pokoknya ibuku itu adalah perempuan yang serba bisa untuk ketrampilan wanita.Â
Lama kelamaan aku mulai suka dengan dua ketrampilan ini. Aku selalu bisa menikmati waktu dan perasaanku menjadi tenang ketika mengesom baju ataupun membuat hantaran pengantin pesanan orang. Bahkan banyak yang bilang hantaran pengantin buatanku jauh lebih bagus daripada yang dibuat ibuku.Â
Di saat itulah aku bertemu dengan seorang guru yang sangat baik dan hingga kini aku anggap sebagai  ibu keduaku. Namanya Bu Tati. Dari beliaulah aku akhirnya melanjutkan memperdalam hantaran pengantin hingga akhirnya bisa mengajar. Melihat aku mau kursus hantaran pengantin saja ibuku sangat senang. Beliau bahkan membantuku menyiapkan bahan-bahan yang akan digunakan untuk kursus.Â
Karena aku suka menulis, maka hasil belajar selama kursus hantaran pengantin aku tulis dan diterbitkan menjadi dua buah buku. Ibuku sangat senang dengan pencapaianku. Dengan bangganya ia selalu bilang pada setiap orang yang ditemuinya kalau aku menulis buku hantaran pengantin. IBuku juga membawa buku itu dan bahkan membantu menjualnya pada setiap temannya.Â
Ibuku ternyata punya bakat marketing yang baik.. Terbukti ia mampu memasarkan buku karyaku dengan hasil yang memuaskan. Ini semua adalah hadiah untukku yang tidak akan pernah terlupakan.
Setelah anak keduaku lahir, aku melanjutkan kursus menjahit. Ibuku sangat gembira tentu saja. Dengan senang hati ia menjaga anakku yang masih bayi jika aku sedang kursus. Sama seperti ketika aku  kursus hantaran, maka ketika  kursus menjahit ini aku juga menulis buku dari hasil belajar.  Dan ibuku lagi-lagi membantu banyak menjualkan bukuku tanpa sengaja. Sebenarnya ia hanya sangat senang dan akhirnya bercerita tentang prestasiku pada teman-temannya. Tapi nyatanya cerita dari hati ini kemudian membuahkan pesanan buku yang jumlahnya tidak sedikit.Â
Bekal Hidup Yang Abadi dan Bermanfaat Bagi Banyak Orang
IBuku pernah bilang , "mengajar itu pekerjaan yang sangat baik. Bisa mendapatkan materi dunia dan juga pahala untuk bekal ke akhirat nanti."Â
Tanpa terasa aku akhirnya menikmati pekerjaan baru sebagai pengajar ketrampilan. Bahkan uang hasil mengajar bisa aku gunakan untuk menambah biaya melanjutkan pendidikan formal yang bisa mendukungku menjadi Konsultan Pendidikan saat ini. Sekarang pun aku masih sering mengajar ketrampilan untuk berbagi ilmu yang aku punya. Ada banyak pelajaran hidup yang diberikan oleh ibu.Â
Yang paling penting dan selalu aku ingat adalah kesabaran yang dicontohkan ibuku dalam menjalani hidup. Menurut ibuku, tujuan hidup adalah untuk sabar karena surga hanya akan diberikan bagi orang sabar.Â
Di saat itulah aku selalu menemaninya di rumah. Aku rela bekerja full time di rumah dan hanya pergi kalau ada urusan yang sangat penting dan tidak bisa diwakilkan. Atau sekedar untuk refreshing menghilangkan kejenuhan. Selain itu waktuku hampir sepenuhnya untuk ibuku dan anak-anakku. Aku menemani beliau ngobrol dan memasak untuknya. Dari yang tadinya aku gak suka masak, akhirnya aku memasak dan itu untuk ibuku.Â
Sekarang, walaupun ibuku sudah tiada tapi hadiah terbaik yang ia berikan untukku tidak akan pernah hilang sampai kapanpun juga. Tuntunan hidup yang ia berikan juga bekal hidup berupa ketrampilan yang akan selalu aku bagi untuk banyak orang. Hadiah terbaik ibu untukku akan abadi sepanjang waktu sampai akhir hayatku.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H