Mohon tunggu...
Astrid Herrera
Astrid Herrera Mohon Tunggu... -

wanderer

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Warna & Cinta … Jangan Percaya Hati!

17 November 2013   21:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:02 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan pernah serahkan cinta Anda pada chemistry dan suara hati. Itu romantisme kuno yang menyesatkan! Sesungguhnya cinta sangat bergantung pada pemahaman Anda terhadap warna dan cahaya. Tergantung kinerja prisma retina mata dengan frame of reference dan saraf motorik otak kita.

Ladang-ladang tanaman hias di sekitar apartemen tempat saya nebeng sementara di pinggiran selatan Amsterdam, sedang berbunga. Sejauh mata memandang, laksana berada di lautan warna. Begitu indah. Sungguh membuat betah, layaknya menatap spectrum warna yang memancarkan sensasi luar biasa di retina mata.

Jika memandanginya, sering akal pikiran saya bertanya-tanya, adakah ini nyata? Adakah warna-warni itu memang ada? Jangan-jangan ini sekadar fatamorgana, sekadar efek dari patahan rays of light oleh fenomena bertubrukannya gelombang elektomagnetic, monochromatic dan solar system dalam prisma retina mata saya.

Sudah bertahun-tahun saya penasaran terhadap keberadaan warna, dalam perspektif pemikiran yang hitam putih. Orang bilang ada enam warna dasar yang menguasai sebagian besar spectrum jagat raya: merah, oranye, kuning, hijau, biru dan violet.

Tetapi rasa penasaran saya jelas terlambat, Sir Isac Newton telah mendahuluinya. Lewat riset ilmiahnya, mahafisikawan asal Inggris ini menambahi satu unsur warna temuannya, menjadi warna ketujuh: Indigo. Bisa jadi yang dimaksud penemu hukum Gravitasi dan Calculus ini adalah suatu situasi dimana unsur violet dan biru bertemu.

Saya pikir, penemuan Luckiesh (1915) bahwa ada 55 unsur warna berbeda yang bisa dilihat dalam satu single spectrum, bagi saya tak mampu mewakili realita panorama warna di sekeliling saya. Mungkin benar apa kata para fisikawan, bahwa cuma ada tiga warna dasar dalam spektrum cahaya: merah, kuning, biru (Mayer, 1775) atau merah, hijau dan violet (Thomas Young, 1801) atau merah, hijau, biru (RGB) yang ditemukan Clerk Maxwell pada 1860.

Terus kemana perginya warna hitam dan putih? Saya kurang mahfum soal ini. Tetapi mungkin begini, hitam dan putih adalah warna abadi. Warna dasar retina dan bola mata kita. Dua warna inilah yang menstimulasi fungsi prisma retina mata kita dalam menyaring, meramu, memisah, memantulkan segala cahaya yang kemudian dikelompokkan oleh para ilmuwan ke dalam apa yang dinamakan RGB (red, green, blue) atau CMYK yang mamasukkan unsur cyan dan magenta.

Masalahnya kemudian, dalam risetnya Aubert (1865) menemukan ada lebih dari 1000 spektrum gas yang mencair atas panggangan sinar matahari yang berbayang dalam spektrum warna dasar itu. Bahkan Rood (1881) menemukan ada sekitar dua juta titik bayang-bayang dalam setiap unsur warna. Kemudian menjadi embrio dari kemunculan revolusi teknologi High Difinition Television (HDTV) yang diperkenalkan oleh The Federal Communications Commission Amerika pada September 1988, dimana sejak 1990 orang Amerika bisa menikmati gambar di tv dua keli lebih tajam dan jernih dari generasi tv sebelumnya.

Jadi, jika Anda mempertanyakan kebenaran indahnya warna-warni taman bunga disekeliling apartemen kakak saya, sangat mungkin saya salah atau terlalu hiperbolik menggambarkannya. Ini persoalan klasik, serba relative. Orang lain mungkin akan beda melihat dan menterjemahkannya, walau secara mundial telah ada kesepakatan tentang 123 gradasi warna dalam komposisi RGB maupun CMYK.

Susah memang. Ini persoalan aura dan solar gas yang membungkusnya, tata cahaya, sepektrum warna yang melingkupinya, semua tergantung kapasitas daya serap mata kita. Tergantung bagaimana cara kerja prisma retina mata kita, dan seberapa besar hitam dan putih menstimulus-nya. Kesimpulannya?

Warna telah membelenggu peradaban manusia. Gara-gara warna pula ada perbudakan, rasialisme, negro, bule dan sebagainya. Kadang warna juga mengkotak-kotakkan kehidupan kita, bahkan mencerai-beraikan keluarga. Merah acapkali dianggap komunis, ekstrim kiri, berani, dan tragis. Putih dianggap suci dan netral, hitam diasumsikan sebagai kegelapan, kekelaman, dan kekejaman. Pink dianggap penuh kasih sayang dan homoseksual. Hijau dianggap religius, sejuk, subur, dan penuh takwa. Biru dianggap teduh dan menghanyutkan. Kuning diyakini penuh energy dan selalu Golkar.

Bahwa hitam itu gelap, benar. Tapi apa selalu kelam? Jangan-jangan hitam adalah kedamaian abadi?
Bahwa putih itu netral, oke. Tapi apa selalu suci? Jangan-jangan putih justru kemunafikan sejati?
Apakah ungu itu selalu janda? Enggak juga kayaknya. Selama hidup saya belum pernah lihat janda berkulit ungu. Ada memang yang item manis, coklat terang, dan putih bening. Seperti itu jugalah cinta.

Karena warna dan cahayalah, secara evolutif kecantikan mengalami reinkarnasinya sendiri, menggapai puncak kesempurnaanya melalui reproduksi alami maupun kimiawi. Dan bukankah 80% kecantikan/kegantengan selalu berhubungan dengan gairah men-cinta?

Nah, sesungguhnya cinta pun sangat tergantung pada cahaya dan warna. Tergantung bagaimana kemampuan prisma retina mata bekerjasama dengan frame of reference dan saraf motorik otak kita. Jangan pernah serahkan cinta Anda pada kemistri dan suara hati.

Kenapa? Karena dalam seluruh system kerja tubuh kita, hati (bukan jantung/heart) itu fungsi dan tugasnya adalah mentralisir racun! Itu saja, tidak lebih dan tidak kurang. Hati tidak termasuk dalam kelompok organ tubuh yang bertugas mengelola dan mengambil kesimpulan berbagai data dan informasi yang terserap panca indera kita. Bukan bagian dalam system berpfikir kita. Dalam hal ini, saya sarankan, Anda boleh percaya cinta pada pandangan pertama.

Hati seringkali bohong, otak seringkali menyelewengkan/salah mendeteksi data dan informasi yang di olahnya, tapi dalam sejarah manusia, mata tak pernah bohong. Makanya dalam berbagai kejadian, selalulu dibutuhkan “Saksi Mata”, bukan “Saksi Hati”.

Ha-ha-ha-ha-ha sudah ah .... thanks All !!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun