Pedih memang melihat tim kesayangan sekaligus tim favorit juara dibantai di kandang lawan. Pedih, terutama bagi sedikit orang yang menonton langsung di antara pendukung Malaysia yang 4 kali lebih banyak dan tentunya lebih nyaring suaranya. Seribuan orang datang dari Jakarta, termasuk yang menggunakan maskapai negara, tentunya ingin merayakan kemenangan yang di atas kertas sudah di tangan. Betapa tidak? Malaysia sudah dibantai 5-1 di Senayan 2 minggu lalu?
Pelajaran apa yang bisa diambil dari Bukit Jalil?
Baik, selain soal sinar laser yang mengganggu dan petasan, penyelenggaraan pertandingan relatif rapi. Penjualan tiket berlangsung tertib, hampir tidak terdengar keluhan ada yang tidak mendapat tiket atau antrian panjang yang membuat rusuh.Tiket masih relatif mudah didapatkan bahkan beberapa saat menjelang pertandingan. Tak ada calo yang menaikkan harga. Yang kelebihan tiket bahkan menjual dengan harga loket. Harga yang terjangkau sehingga ribuan buruh Indonesia dapat turut menyaksikannya dan berharap merayakan kemenangan negerinya di tanah rantau.
Menjelang pertandingan, tak ada insiden di antara dua kelompok pendukung. Bahkan seringkali kedua kelompok pendukung saling memberi semangat. Pendukung Malaysia juga kerap mengajak pendukung Indonesia untuk berfoto bersama. Panitia memang memisahkan kedua kelompok dengan jelas. Mulai dari tempat parkir mobil, pintu masuk, dan tempat duduk. Tapi pendukung kedua tim berbaur ketika menuju pintunya masing-masing.
Selama pertandingan, tak ada insiden berarti. Di satu tribun, pendukung kedua tim bahkan duduk bersebelahan tanpa dibatasi. Malaysia menunjukkan permainan cantik dengan operan-operan pendek yang akurat, yang semakin berkembang di babak kedua. Para pemain tim Indonesia seperti tegang dan permainan tidak berkembang.
Pendukung Indonesia yang menguasai 1/4 Stadium Bukit Jalil juga kurang bersemangat. Tak terdengar yel yel "Garuda di Dadaku" atau "Yooo ayooo Indonesia" seperti yang kerap terdengar di Gelora Bung Karno. Hanya bising terompet dan teriakan yang tak kompak. Mereka seperti hanyut dalam ketegangan pemain kesebelasannya.
Dan Indonesia dibantai 0-3. Selain soal sinar laser yang menggangu, permainan tim Indonesia memang tidak prima, bahkan cenderung buruk dengan hanya satu peluang berbahaya di babak pertama. Di babak kedua ini, blok pendukung Indonesia memang hanya dapat melihat jelas gawang Markus yang dijaga seperangkat pertahanan yang buruk dibombardir Safee dkk.Ada yang bisa membantah?
Begitu gol pertama terjadi, semua pendukung di belakang gawang Markus Horison terduduk diam. Dalam waktu kurang dari 15 menit, 2 gol lagi bersarang. Penonton pun mulai beranjak meninggalkan kursinya. Tak ada lagi bising yang tak kompak itu, apalagi yel-yel, tak ada lagu-lagu. Ketika peluit panjang dibunyikan, sebagian bangku di sektor Indonesia sudah kosong. Dari lapangan, para pemain Indonesia membungkuk hormat, meminta maaf kepada sedikit yang tertinggal.
Di luar stadion, ribuan pendukung Malaysia bersorak-sorak, sementara sedikit pendukung Garuda tertunduk lesu atau tersenyum getir. Tapi tak ada insiden berarti. Beberapa di antara mereka masih menghibur atau memberi semangat. Kita kalah memang. Bila menang, mungkin lain ceritanya.
Malaysia memang belum juara. Indonesia pun belum kalah. Hal yang paling mengemuka dari kekalahan ini adalah soal kecurangan pendukung Malaysia dengan sinar laser. Pelatih Alfred Riedl tidak mengiyakan, selain berkata bahwa ia perlu bertanya pemain apakah itu cukup mengganggu. Barangkali, sinar laser saja tak cukup untuk membantu tim Malaysia bila Indonesia berlaga seperti hari-hari sebelumnya. Tapi sinar laser dan kecurangan Malaysia langsung menjadi topik utama di jejaring twitter. Artinya kebanyakan orang Indonesia percaya bahwa kekalahan Indonesia adalah semata-mata karena sinar laser. Begitukah?
Apapun, sinar laser tak banyak digunakan lagi setelah pertandingan sempat dihentikan. Anjuran agar tak menggunakan laser diumumkan dan ditulis di layar besar. Justru setelah itu Indonesia kebobolan 3 gol. Mau bilang apa lagi? Sebagian menggerutu: "Kita balas di Senayan".
Mungkin saja. Tapi, tiga gol bukan perkara mudah untuk dibalas. Bahkan pelatih Riedl mengatakan, Indonesia tidak lagi favorit juara. Setelah kekalahan ini, mental pemain Indonesia tentunya anjlok. Tidak banyak pilihan buat Riedl selain bermain menyerang habis-habisan. Sementara Malaysia, selain menampilkan permainan serupa,dapat saja hanya bermain bertahan. Kalah pun, asal tak lebih dari 2 sudah cukup.
Tapi itu perkiraan cerita di lapangan. Di luar lapangan dapatkah kita menjamu Malaysia dan menjadi tuan rumah yang baik? Yang ditakutkan adalah (amit-amit jangan dong, tok tok tok) Indonesia kalah di Senayan, di kandangnya sendiri. Tebak apa yang akan terjadi di luar lapangan?
catatan: Adakah jatah bagi pendukung Malaysia di Senayan? Di mana mereka akan duduk?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H