Terhadap pemikiran dua cendekiawan /intelektualis diatas kita ditantang merefleksi tentang cara kita berfikir. Cara kita berfikir itu kata kunci untuk sampai kepada refleksi tentang Pilihan yang ditantang oleh sajian kutipan pertama dimuka. Mungkin pemikiran rekan Kompasianer sendiri bisa membantu arah refleksi kita. Sebab ada baiknya kita mengenal cara berfikir cendekiawan dengan intelektualitas tinggi dibanding dengan cara berfikir bersahaja asalkan akal sehat.
Intelektualitas tampak sekaligus disebut selalu adanya perbedaan mutu atau warnanya, itu adalah  Kemampuan seseorang mengunyah makna permasalahan dan itu tampak ketika terjadi orang berdebat. Disana tampak orang mengasah nurani dan pengalaman empirik. Disana diperlukan Etika, etiket dan kemampuan mengontrol emosi dan ketaatan terhadap hukum tepat seseorang aktef berdebat.
Demikian: Gurgur Manurung menulis di Kompasiana.com dengan judul "Peradaban Membutuhkan Debat Kaum Intelektual"
Penulis Manurung menambahkan Debat/diskusi/dialog komunikasi sosial dalam segala bentuk yang sesuai aturan pun seringkali menimbulkan ricuh. Tetapi Debat itu sangat dibutuhkan karena menyangkut kepentingan publik. Dari debat itu diharapkan sebuah gagasan untuk sebuah kebijakan yang adil bagi publik.
Sayang sekali pula dalam komunikasi sosial terbuka muncul gejala nanusia yang berperilaku menyerang pribadi lawan debat yang disebut "argumentum ad hominem" sehingga permasalahannya justru terabaikan dan pindah ke orang lawan diskusinya dan perbedaan pendapat makin melebar.
Padahal menurut Kuntowijoyo, perangkat keilmuan (manapun) harus bisa menunjukkan dan menjawab bukan hanya soal menjelaskan fenomena sosial, tapi juga memberi petunjuk ke arah mana hasil penjelasan itu/transformasi itu dilakukan. Selanjutnya perangkat keilmuan itu juga harus dapat secara lugas dan rasional untuk apa lebih jauh lagi transformasi itu diarahkan ke arah tersebut dan siapa yang mengarahkan transformasi itu menuju arah tersebut.
Sebab bisa jadi ada tokoh yang mementingkan mengubah fenomena sosial, tanpa memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan dan untuk apa transformasi diarahkan. Lalu lebih menarik lagi saat melihat (siapa dan bagaimana sejatinya) mereka yang mengarahkan transformasi itu.
Memang Kuntowijoyo menawarkan Ilmu Sosial Profetik. Ini demikian dikatakan dalam Islam sebagai Ilmu menegaskan soal alternatif baru dari paradigma Islam dalam kerangka ilmu sosial. Alternatif yang digali dari unsur-unsur kemanusiaan universal; humanisasi, liberasi, dan transendensi. Dengan ilmu  itu sebagai senjata intelektual orang beriman melawan materialisme, sekularisme, hedonisme, utilitarianisme, dan pragmatisme, meskipun hal ini bukan sebuah gerakan intelektual yang mudah. Dan itu semua sampai pada "Aksi". Ada Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi.sehingga ada keterlibatan umat dalam sejarah. (Luqman Rico Khashogi)
 Ketika refleksi kita sudah sampai pada Aksi maka kita bisa mengulang bahwa
*Idealisme Akal Sehat, kesahajaan dan kesungguhan, menghadapi masalah kehidupan keseharian, yanbg selalu bergerak ini sebenarnya bisa dilakukan. Asalkan ada keberanian, kesabaran, yang akan menjadi kekuatan.
*Masalah Sosial politik khususnya menghadapi perbedaan pendapat dapat kita ikuti dengan sikap kritis dan dikembalikan pada porsi dan/atau bidangnya, bukan dimanipulasikan.(dipermainkan).