Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keluarga dan Budaya

6 Januari 2022   12:13 Diperbarui: 6 Januari 2022   12:33 1186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Melongok peran Keluarga dilihat dari jendela budaya, saya kira tidak harus lebih dahulu menjadi penasehat keluarga atau budayawan berkeliber nasional. Setiap orang dewasa dalam keluarga dan setiap warga masyarakat pantas menyadarinya dari kesadaran keluarga sehari hari dan warga masyarakat yang sadar diri sosialnya.

Sebab Keluarga adalah unit lembaga terkecil dalam tata kehidupan membudaya kita ini. Keluarga memiliki watak dan minatnya untuk berkembang dan bersosialisasi dengan keluarga lainnya.

Dan budaya merupakan cara hidup yang berkembang serta dimiliki bersama oleh kelompok orang(diantaranya disebut: keluarga), dan diwariskan dari generasi (minimal Ortu)  ke generasi (anak/cucu) melalui dinamikanya hidup bersama. Budaya terbentuk dari bermacam hal, termasuk sistem agama, politik, adat istiadat,cara berkomunikasi, , bahasa, pakaian, perkakas, bangunan, serta karya seni.(periksa Google),  

Maka banyak bisa dipertanyakan apa yang menjadi peran keluarga dalam membangun budaya kehidupan bersama ini, minimal dalam lingkup lingkungan terdekat atau seluas mana yang bisa dipengararuhi.

Agar pembicaraan itu lebih menukik saya ingin mulai dengan diri saya, sebagai warga keluarga Jawa. Meskipun nanti bersama seorang Ruddy Agustiyanto dalam bukunya Budaya Sontoloyo, kita diajak kembali menjadi warga Nusantara NKRI, hal mana itu harus disyukuri.

Keluarga Jawa belakangan bermunculan menggunakan Whatsappsgroup dan Facebook-grup ingin berperan "nguri-uri" (memelihara) budayanya. Saya mencatat pernah mendapat tawaran bergabung dengan : Group Filosofi Pitutur Jawi; Paguyuban Wong Jawa; Kawruh Jawi; Kejawen M&N; Ilmu Leluhur; Ngaji Raos; Sangkan Paran; Andum Kawruh Jawi; Ngaji Raos & Ilmu; Guyonan Jowo Langgam Sari.

"Kejawen", serba serbi budaya Jawa telah banyak didalami oleh banyal ilmuwan, terkenal diantaranya Kuncaraningrat, Clifford Geertz, Zoetmulder SJ: Rahmat Subagyo SJ. Meskipun demikian dalam bukunya 1),Ign Gatut Saksono dan Dr. Djoko Dwiyanto, M.Hum  masih mengatakan bahwa belum melihat yang menyusun keseluruhan menjadi satu sistem Ajaran, Kawruh Kejawen.  Penulis/Pembelajar yang sama juga menulis satu aspek, dalam sebuah buku "Faham Keselamatan dalam Budaya Jawa".2)

Memang tampaknya ada benernya pernyataan Ign. Gatut Saksono dkk, Kejawen  sebagai buah budaya Jawa banyak dikaji satu dua aspek menurut sumber yang tersaji. Seperti Ryan Sugiarto  menulis : Saintifikasi Kawruh Jiwa dari Ki Ageng Suryamentaram, dengan judul Psikologi Raos.3). Sebuah kupasan dengan pendekatan psikologi transpersonal jang luas dan ilmiah dengan lebih 50 buku disebut pada daftar pustaka. Manjadi catatan yang menunjukkan sedemikian banyak orang sudah menulis.

Masih ingin saya sebut sebuah Penulis dengan bukunya yang spesifik sifatnya. Disebut sebagai Sub Judul : "Ajaran Rahasia Leluhur Jawa". Penulis itu : Setyo Hajar Dewantoro dan bukunya berjudul "Suwung" (arti kata=kosong). Sebuah karya pemaparan filosofis atau bahkan theologis menurut paham "Leluhur Jawa".4)

Kompasianer Taufik Hidayat belum lama menulis tentang karya pujangga, penulis/nara sumber, dari lingkungan kraton. Yaitu : Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV, Serat Wirid Hidayat Jati karya Ranggawarsita, Serat Wulangreh karya Pakubuwana IV. Karya tulis ini dari lingkungan elite dan kemudian dimasyarakatkan bukan sebagai sajian lengkap tetapi nasehat, pitutur, dalam bagian-bagian yang dibutuhkan tokoh warga untuk warga yang lain dalam bentuk tembang dsb. Kompasianer Taufik Hidayat masih mencatat adaya upaya-upaya memetri (memelihara) dan regenerasi oleh cendekiawan.5)

Bukan maksud hati menonjolkan Kejawen sebagai kebudayaan terindah, sebab perlu kita perhatikan sebuah buku berjudul "Budaya Sontoloyo" karya tulis seorang Ruddy Agusyanto, peneliti, penulis, pengajar UI. dan multiperan lain tingkat nasional.6) Kita diajaknya dalam buku itu oleh dia yang sudah sengaja mengamati meneliti budaya Nusantara dengan pelbagai buah kebudayaan, untuk bersyukur dan tidak menyia-nyiakan situasi dan kondisi negeri impian dunia, negeri tropis, yang subur makmur indah ini, dengan(menyia-nyiakan) tidak bermitra dengan alam semesta.

Masih bisa disebut pesan buku ini mengutip keprihatinan Tragedy of Common, dan atau juga perkembangan Pandemi Covid-19, yang saya rasa seperti "Hari Kiamat lokal tetapi merata", dibarengi proses perubahan pandang (termasuk Metaverse) yang mulai terjadi, semua itu juga antara lian dampak ulah kerja manusia sengaja atau tidak. Pesan para Pengamat peneliti kita dari UI ini masih diperlukan terus menerus kajian terhadap sikon ini secara makro maupun mikro, global atau lokal, deduktif serta induktif untuk mempencapai solusi terbaik dan integral.

Paparan diatas sebenarnya saya ingin menyatakan bahwa salah satu buah budaya yang saya angkat disini Kejawen sebagai buah budaya yang hidup dan dihidupi masyarakat. Bukan rekayasa ilmiah, tetapi ilmuwan membuat kajian. Juga bukan Agama, tetapi ada agamawan menggunakan sebagai media penyiaran. Bukan sistem moral suatu gerakan tetapi warga masyarakat memetri, mengkulturasi, nguri-uri menghayati dan menghidupi.

Kejawen terlahir di pulau Jawa bagian dari Nusantara NKRI. Masih banyak fenomena buah budaya Nusantara,serupa tapi tak sama dengan Kejawen. Semua buah budaya yang berkembang dalam kehidupan kelompok msyarakat yang berbasis keluarga.

Diatas sudah dikatakan: Keluarga adalah unit lembaga terkecil dalam tata kehidupan membudaya kita ini. Keluarga memiliki watak dan minatnya untuk berkembang dan bersosialisasi dengan keluarga lainnya dalam lingkup lingkungan habitatnya.

Diawali oleh orang tua yang mau mewariskan nilai nilai leluhurnya, dibantu didukung oleh himpunan keluarga, dilanjutkan oleh kekuatan kekuasaan setempat maka terbangun bentuk bentuk kehidupan tertata yang dikatakan ini itu "membudaya" dan kebudayaan.

Dewasa ini Dinas-dinas kebudayaan dan pariwisata Pemerintah tampak seperti dari atas menata mengembangkan apa yang sebenarnya diawal mula asset dan kekayaan aneka keluarga Nusantara. Dan tampaknya seperti keberhasilan Dinas yang biasa dikatakan berhasil membudayakan (apa yang dahulu milik warga dalam keluarga besar ataupun kecil).

Tetapi juga ada fenomena trend usaha mengasingkan keluarga warga bangsa ini dari budaya sendiri, menggantikan dengan budaya asing. Itu cukup jadi catatan kecil saja, masih besar jumlah pecinta budaya sendiri. Dan bangsa lain banyak yang "iri" dengan indah dan mulianya budaya Nusantara ini dan mempelajari serta menikmatinya.

Maka hanya ada satu pesan : Marilah semua keluarga Nusantara, Sunda, Jawa, Bali, Aceh, Batak, Minang, Lampung. Dayak, Bugis, Menado, NTB,NTT,Maluku, Papua, bangkit bersama dengan rasa syukur atas keindahan alam dan kekayaan seni budaya kita itu, terus menghidupi, mencintai budaya kita itu seraya memelihara dan mengembangkannya untuk kedepan kejayaan Bangsa dan NKRI milik kita. Buktikan terus dalam Keluarga bahwa Bangsa ini punya budaya sendiri.

Dan tak ada kurangnya saya haturkan terima kasih serta hormat saya kepada Yth Pembaca, Kompasianers dan semuanya.

Ganjuran, Januari, 05,2022. Emmanuel Astokodatu.

Bacaan :

1).Ign Gatut Saksono, Dr.Djoko Dwiyanto,M.Hum; Ir.Sukmadji Indro Tjahjono, "10 Pokok Ajaran Kejawen"  Penerb. Elmatera, Yogyakarta,2021.

2).Ign.Gatut Saksono, Dr.Djoko Dwiyanto,M.Hum; "Faham Keselamatan dalam Budaya Jawa" Penerbit Ampera Utama, Yogyakarta, 2012.

3).Ryan Sugiarto, "Psikologi Raos" Penerbit Pustaka Ifada, Yogyakarta,2015

4).Setyo Hajar Dewantoro, "SUWUNG",  Penerbit Javanica, Tangerang, 2017

5).https://www.kompasiana.com/012_taufikhidayat8005/61cfa47b9bdc406086110d82/menghirup-wangi-harum-serat-wulangreh-karya-pakubuwana-iv?page=6&page_images=1  

6).Ruddy Agusyanto, "Budaya Sontoloyo", Penerbit "Institut Andropologi Indonesia", @2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun