Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seputar Opini Dan Thiwul Ayu

11 Juni 2021   14:11 Diperbarui: 11 Juni 2021   14:25 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dimana mana langsung atau lewat media orang beropini. Opini itu pendapat.Tetapi bagi penulis, istilah opini itu lebih kekinian sesuai zamannya. Dahulu orang berpendapat bahwa sangat sangat utama adalah kerja otak. Sekarang banyak orang melihat manusia lebih integral, ya otaknya, ya perasaannya, ya feelingnya, intuisinya, visinya. Jadi lebih manusiawilah atau lebih human. Inilah opini saya!

Opini itu pendapat selain lebih ngetren juga lebih membutuhkan adanya penalaran. Opini membutuhkan suatu rangkaian pemikiran, ki tak terkatakan. Beda dengan definisi. Satu kalimat cukup. Bisa jadi definisi itu kesimpulan dari sebuah opini. Sebuah opini yang jelas, katakan ilmiah, bukan penalaran yang asal-asalan, atau yang mungkin sengaja untuk mengacau jalannya pemikiran orang lain.

Tetapi yang terpenting kita perlu sadar betapa opini banyak berpengaruh besar dalam kehidupan orang. Terlibih orang dalam kelompok masa. Sebab memang MEDIA MASA adalah pasangannya yang sungguh serasi. Beropini dan menggunakan media masa untuk penyebarannya adalah cara mempengaruhi banyak orang.

Mempengaruhi banyak orang bukan berarti selalu dalam arti negatip. Tulisan di Kompasiana ini misalnya pada umumnya adalah opini yang positip hendak mengajak pembaca berfikir positip. Semua pasti berkat kehati-hatian Admin dan alogarima yang ada. Tetapi di pelbagai medsos khususnya justru pilihan dan bentuk berita, sangat bisa menjadi informasi negatip. paling mudah ditangkap pembaca yang kurang siap bersikap kritis.

Mengapa dan bagaimana menyikapi atau bahkan mau membuat opini untuk mempengaruhi orang lain? Saya lebih dahulu mau berguru kepada Thiwul Ayu.

Thiwul Ayu bukan pakar beropini yang bisa menggoyang kegalauan umat yang batal akan naik haji.Bukan. Thiwul Ayu yang saya maksudkan sekarang berasal dari dusun Mangunan, Desa Mangunan,Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul DIY. Thiwul ayu disajikan untuk menggoyang lidah para wisatawan kedaerah pegunungan selatan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kebetulan kemarin dapat oleh-oleh dari anak saya. ( tertulis di kemasan bisa pesan di 0819.3170.9303 atau Email: mboksumthiwulayu @gmail.com. )

Bukan penulis ini mau mempromosi Thiwul Ayu, tetapi justru penulis ini numpang tenar dan bijak pada Thiwul Ayu. Sebab thiwul adalah makanan yang dizaman baheulak dulunya dahulu merupakan simbol daerah susah makan,  sekarang di dunia terbuka thiwul menjadi sajian khas yang sungguh ayu cantik rahayu.

Thiwul dibuat dari bahan gaplek. "Komposisi Thiwul Ayu" (ramuan  pakai istilah kekinian ) : Tepung gaplek, Gula, Kelapa. Masih ada variasi, rasa gula pasir, gula merah, rasa gurih, rasa aneka termasuk nangka ataupun sambal. Tepung tapioka sekarang diproduksi pabrik, sementara  gaplek yang adalah ubikayu yang dijemur demi pengawetan dan ditumbuk untuk ditanak menjadi thiwul asli akan gantinya nasi. Sekarang tampik menjadi Thiwul Ayu.  Semuanya masih tercermin masa jayanya gaplek menyelamatkan warga daerah pegunungan dari kekurangan beras. Kini Thiwul Ayu tampil sungguh Ayu lezat dan layak dinikmati wisatawan dari mana saja. Atau dikemas dengan doos yang apik.

Opini adalah Thiwul Ayu dengan ramuan pengalaman masa lalu, sadar apa tidak sadar. Masa lalu kita itu adalah pengalaman, suka-duka, trauma, persepsi, keyakinan, mindset, visi. Inilah hal-hal yang mewarnai setiap opini yang harus dikritisi oleh pembaca atau pendengar opini.

Akan tetapi ada yang sangat penting bagi pembuat opini, dan untuk mutu opini yaitu : pertama kesadaran akan siapa-siapa nanti penerima, pembaca, pendengar opini itu dan kedua dampak dari opini itu. Sebab disitulah letak rasa tanggung jawab pembuat dan penyebar opini.

Ada suatu opini tersirat dalam percakapan sehari hari yang menarik untuk memasuki lebih dalam lagi pembicaraan kita ini tentang opini ini. Percakapan ini sudah saya rumuskan dalam postingan singkat di Facebook, sebagai berikut dengan sedikit tambahan untuk memperjelas : .

"Sekali waktu ada yang bertanya kepada saya : Apa resep untuk umur panjang.? (memang umur saya baru 80th). Saya jawab hampir  tanpa pikir,spontan : Berfikirlah selalu positip, Jadilah pemaaf dan amalkan kerendahan hati. Rupanya penanya heran campur ragu atas jawaban secepat itu bertanya lagi.: O demikiankah ?  Sekali lagi saya jawab spontan lagi :  O maaf, sebenarnya saya gak tahu juga sebab umurku juga belum ku tahu sepanjang mana.

Dalam facebook itu kutambahkan catatan : Bila jawaban itu adalah sebuah opini, itu tidak valid tidak sehat, tidak benar dengan alasan :  

1. Yang omong belum tahu umurnya

2. Ada teman seklasku yg sombong banget (tidak rendah hati) masih hidup dan lebih dr umurku

Jadi opini itu debatable.[Fb 11:18 am, 07/06/2021] Emanuel astokodatu: Kalau sdh tahu batas umurnya sdh tidak bisa bicara lagi .....(?)

Percakapan diatas menarik perhatian dan menjadi sedikit pembicaraan di WhatsApp grup, dengan kesimpulan  : Jangan terpancing untuk membuka data pribadi, termasuk umur.

Percakapan itu memberi pembelajaran pula bahwa beropini itu dapat terungkap spontan. Dalam spontanitas itu tampak munculnya unsur pribadi tersebut dimuka seperti "pengalaman hingga visi" dapat kurang terkontrol sehingga membuat opini menimbulkan opini lain. Opini lainpun bisa jadi tidak bertentangan, tetapi debatable, bisa menjadi perbincangan meluas atau mengerucut ke lain jurusan. Dari "resep peroleh panjang umur panjang" menjadi "jangan terbuka tentang usia". Bisa ada bicara manis, bisa ada kontroversi keras.

Oleh karenanya justru beropini harus berani menerima kritik dan tidak keberatan mendapat koreksi dan menerima pendapat lain. Menurut saya beropini bukan berfatwa, atau opini bukan dekrit.

Beropini itu menjawab pertanyaan, menjawab peristiwa, sapaan, tantangan, kejadian dalam hidup ini. Itulah basisnya opini.  Peristiwa, Dialami, Direnungkan, Diinsafi, Atas dasar dan berangkat dari situ berbagi beropini sebagai aktualisasi Pengalaman dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab.

Jadi sederhananya kita boleh merangkum dari permenungan diatas ::

1. Pengaruh opini di masyarakat kita sangat besar karena sikap kurang kritis dan berpotensi meluas oleh media masa

2. Unsur psikologis hingga visi  sangat mewarnai opini  baik dari sumber opini maupun warga masyarakat penerima opini  serta penyalur/media dari tulisan maupun penyiaran langsung.

3. Sikap kritis dan hati-hati di satu pihak dan sikap penuh kesadaran dan tanggung jawab sosial dan moral perlu ditegaskan.

4. Opini ideal adalah aktualisasi kesadaran berbagi pengalaman untuk saat itu.

Setelah semua itu, belajar dari Master Cheng Yen penulis lahir 1937 di Taiwan salah satu bukunya : Menabur Benih Kebahagiaan, saya mengharap semoga semakin banyak penulis opini cerdas dan arif yang secara getol menulis opini positip berbagi menabur benih benih kebahagiaan.  Sebab kebahagiaan ada dalam hati anda dan tumbuh oleh anda sendiri. Beropini sebaiknya memang menabur benih dan pupuk kebahagiaan sesama.

Semoga tulisan inipun memupuk kebahagiaan anda Yth Pembaca. Wassalam

Ganjuran, Juni, 11, 2021. Emmanuel Astokodatu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun