Dimana mana langsung atau lewat media orang beropini. Opini itu pendapat.Tetapi bagi penulis, istilah opini itu lebih kekinian sesuai zamannya. Dahulu orang berpendapat bahwa sangat sangat utama adalah kerja otak. Sekarang banyak orang melihat manusia lebih integral, ya otaknya, ya perasaannya, ya feelingnya, intuisinya, visinya. Jadi lebih manusiawilah atau lebih human. Inilah opini saya!
Opini itu pendapat selain lebih ngetren juga lebih membutuhkan adanya penalaran. Opini membutuhkan suatu rangkaian pemikiran, ki tak terkatakan. Beda dengan definisi. Satu kalimat cukup. Bisa jadi definisi itu kesimpulan dari sebuah opini. Sebuah opini yang jelas, katakan ilmiah, bukan penalaran yang asal-asalan, atau yang mungkin sengaja untuk mengacau jalannya pemikiran orang lain.
Tetapi yang terpenting kita perlu sadar betapa opini banyak berpengaruh besar dalam kehidupan orang. Terlibih orang dalam kelompok masa. Sebab memang MEDIA MASA adalah pasangannya yang sungguh serasi. Beropini dan menggunakan media masa untuk penyebarannya adalah cara mempengaruhi banyak orang.
Mempengaruhi banyak orang bukan berarti selalu dalam arti negatip. Tulisan di Kompasiana ini misalnya pada umumnya adalah opini yang positip hendak mengajak pembaca berfikir positip. Semua pasti berkat kehati-hatian Admin dan alogarima yang ada. Tetapi di pelbagai medsos khususnya justru pilihan dan bentuk berita, sangat bisa menjadi informasi negatip. paling mudah ditangkap pembaca yang kurang siap bersikap kritis.
Mengapa dan bagaimana menyikapi atau bahkan mau membuat opini untuk mempengaruhi orang lain? Saya lebih dahulu mau berguru kepada Thiwul Ayu.
Thiwul Ayu bukan pakar beropini yang bisa menggoyang kegalauan umat yang batal akan naik haji.Bukan. Thiwul Ayu yang saya maksudkan sekarang berasal dari dusun Mangunan, Desa Mangunan,Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul DIY. Thiwul ayu disajikan untuk menggoyang lidah para wisatawan kedaerah pegunungan selatan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kebetulan kemarin dapat oleh-oleh dari anak saya. ( tertulis di kemasan bisa pesan di 0819.3170.9303 atau Email: mboksumthiwulayu @gmail.com. )
Bukan penulis ini mau mempromosi Thiwul Ayu, tetapi justru penulis ini numpang tenar dan bijak pada Thiwul Ayu. Sebab thiwul adalah makanan yang dizaman baheulak dulunya dahulu merupakan simbol daerah susah makan, Â sekarang di dunia terbuka thiwul menjadi sajian khas yang sungguh ayu cantik rahayu.
Thiwul dibuat dari bahan gaplek. "Komposisi Thiwul Ayu" (ramuan  pakai istilah kekinian ) : Tepung gaplek, Gula, Kelapa. Masih ada variasi, rasa gula pasir, gula merah, rasa gurih, rasa aneka termasuk nangka ataupun sambal. Tepung tapioka sekarang diproduksi pabrik, sementara  gaplek yang adalah ubikayu yang dijemur demi pengawetan dan ditumbuk untuk ditanak menjadi thiwul asli akan gantinya nasi. Sekarang tampik menjadi Thiwul Ayu.  Semuanya masih tercermin masa jayanya gaplek menyelamatkan warga daerah pegunungan dari kekurangan beras. Kini Thiwul Ayu tampil sungguh Ayu lezat dan layak dinikmati wisatawan dari mana saja. Atau dikemas dengan doos yang apik.
Opini adalah Thiwul Ayu dengan ramuan pengalaman masa lalu, sadar apa tidak sadar. Masa lalu kita itu adalah pengalaman, suka-duka, trauma, persepsi, keyakinan, mindset, visi. Inilah hal-hal yang mewarnai setiap opini yang harus dikritisi oleh pembaca atau pendengar opini.
Akan tetapi ada yang sangat penting bagi pembuat opini, dan untuk mutu opini yaitu : pertama kesadaran akan siapa-siapa nanti penerima, pembaca, pendengar opini itu dan kedua dampak dari opini itu. Sebab disitulah letak rasa tanggung jawab pembuat dan penyebar opini.
Ada suatu opini tersirat dalam percakapan sehari hari yang menarik untuk memasuki lebih dalam lagi pembicaraan kita ini tentang opini ini. Percakapan ini sudah saya rumuskan dalam postingan singkat di Facebook, sebagai berikut dengan sedikit tambahan untuk memperjelas : .