Menelaah arti telanjang-badan saya buka buku lawas kecil tulisan Prof.Dr.N.Drijarkoro SJ. Â Saya mulai dengan membaca dari halaman 9. Ada pandangan idealistik tentang badan. Badan hanya lampias dari Roh. Badan sepertinya tidak ada yang ada Roh yang melampiaskan diri dengan badan. Ada pandangan lain yang meterialistik. Yang ada itu badan ini, tidak perlu berfikir lebih lanjut. Pandangan ini tidak bisa menjelaskan tentang cinta, kesedihan, harapan. Pandangan ketiga adalah pandangan dualisme ada badan ada roh, yang saling bermusuhan. Badan menarik kebawah, roh membawa keatas.
Menghadapi pilihan yang sama sama problematik itu saya memetik satu ungkapan yang dipromosikan Sang Professor. Petikan saya mungkin tidak pas tetapi menarik bagi saya. "Badan adalah roh yang dijasmanikan, atau (badan itu) jasmani yang dirohanikan"
Awal permenungan disajikan filsafat Jung tentang kesadaran manusia sebagai pribadi dengan "sebutan": Aku. Â Pribadi manusia suatu kesatuan ber "keberadaan" sadar memiliki kejasmanian dan kerohanian. Aku Pribadi itu memiliki aspek dinamis pula.
Manusia sadar mempunyai badan, yang besar, yang kecil, yang gendut atau kurus kering . Manusia merasakan nyata ada cinta kasih, cinta seksual, ada kebencian, ada kemarahan yang menggerakkan seluruh kemanusiaannya.
Gerak Dinamika manusia seutuhnya disadari, dirasakan, seperti dalam komunikasi, dalam olahraga, pun dalam refleksi, dalam pendidikan, pun dalam doa dan peribadatan. Semuanya sang manusia adalah rohani yang dijasmanikan dengan badan, dan tampak terukur, jasmani yang dirohanikan dengan pelbagai dinamikanya
Dalam perspektif waktu kita bisa melihat wajah tampan, simpatik, cantik menarik, dan berikutnya wajah jenazah yang banyak orang sungkan menatapnya. Maka dalam kekinian selama status manusia belum bertransformasi pada kejenazahan sepantasnya kita menghargai sesuai dengan harkatnya badan kita. Dengan segala upaya berbudaya, seperti pendidikan, olahraga, rekreasi, termasuk penghargaan penempatan badan secara sopan santun sesuai adat, pergaulan, hukum, kebiasaan dan sosbudnya.
Maka lebih jauh janganlah membudayakan terlalu (jauh) ketelanjangan badan dalam semua perspektifnya pada umumnya, tetapi budidayakan ketelanjangan spiritual menghadap  Hyang Illahi sesuai budaya keimanan kita.
Bagi saya ketelanjangan spiritual menjadi kepasrahan yang kendati terseok seok, kuat bisa meredakan kesedihan saya atas kepergian anak saya menghadap Tuhannya pada hari ketiga kemarin saat saya akan tutup tulisan ini. Saya temukan Tuhan maha baik mau mendekatkan anak saya pada ayah saya yang sangat menyayangi dia sejak kecil, seperti juga adik saya dahulu direbut Tuhan untuk didekatkan pada ibunya yang mereka sangat saling menyayangi.
Banyak adegan telanjang yang memberi kebahagiaan. Maafkan bila bernada porno. Saya hanya ingin meminjam lagi filosofinya panyair Inggris John Keats : "Nothing becomes real, till it is experienced." Â Tetapi mending pula ketika bisa belajar dari orang lain saja, mudah asal cardas mengambil manfaat.
Salam hormat saya tolong terima dengan sukacita kebebasan batin yang pembaca miliki..
Ganjuran, Februari 20,2021. Emmanuel Astokodatu.