Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kesungguhan terhadap Kebenaran Panggilan Vs Politik Identitas

11 Februari 2021   05:40 Diperbarui: 11 Februari 2021   05:55 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kesungguhan terhadap kebenaran panggilan" itu bukan kata kata mutiara hasil pemikiran filosofi tinggi . Itu hanya  kata kata yang dilupakan. Sebab itu sikap yang berlawanan dengan sikap politik identitas. Dan Politik identitas itu pun sudah dikembangkan maknanya karena terbentuk terbina sedikit demi sedikit kearah yang sekarang kita saksikan, dan semua terpaksa menggunakan.

 Kata politik sendiri berasal dari Bahasa Yunani, politeia", yang mengacu pada pengertian bahwa para individu dalam sebuah komunitas dalam batas geografis tertentu berkehendak untuk melakukan pengelolaan wilayahnya. Misalnya, dengan membuat hukum-hukum, kebijakan-kebijakan, serta lembaga kebijakan . Jadi, setiap langkah yang diambil dalam rangka mengelola sebuah wilayah dalam ranah formal bisa disebut sebagai kegiatan berpolitik.(Google)

Itu pandangan global dan dari luar. Pada zaman kata politea itu banyak diucapkan di tempat asalnya,Yunani (negara itu sekarang) kekuasaan memang ada di kota kota. Itu juga asal kata polis (kota) dahulu kota didirikan oleh panglima panglima perang yang unggul di kawasannya. Dan kemewahan hidup panglima dan kroninya pemegang kekuasan itu membentuk budaya  Bila ditilik kedalam itu bicara tentang kekuasaan.

Kalau dua pandangan dengan dua perspektif diatas digabungkan dalam ranah satu negara dengan kepelbagaian komunitas dan tidak memperhatikan kesatuan dan persatuan, itu pas bobotnya  dengan yang sekarang diistilahkan dengan politik identitas.

Bagaimana tidak. Politik identitas artinya adalah sebuah alat politik suatu kelompok atau pemimpinnya (seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya)menghadapi kelompok lain atau pemimpinnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri citra atau keistimewaan suatu kelompok tersebut. ...

Berkaca pada sejarah bangsa sendiri, bagaimana perjuangan serempak dimotivasi perjuangan suku, budaya, agama, etnis lokal akhirnya terbangun bangsa dengan nasionalisme yang semakin kental. Mengarungi era seratus partai zaman orde lama, melewati pengemasan perjuangan politik dibawah peremasan menjadi tiga atau empat orpol ormas, dibawah kekuasaan orde baru, potensi politik kemudian meretas batasan batasan di era reformasi. Masih makin marak digunakan pada pilkada gubernur DKI, berlanjut ke Pilpres 2019. Ciri khas kelompok mampu beberapa masa memecah anak bangsa.

Identitas diri seperti tertulis pada KTP menjadi aspirasi utama. Betapa pentingnya jati diri perorangan, dengan nama,umur, alamat, profesi, jabatan, pangkat, agama jangan lupa. Maka identitas adalah sesuatu yang hakiki dalam berrelasi bermasyarakat, dalam berjamaah. Kesananya citra adalah sesuatu yang sangat jamak menjadi pertanyaannya siapa dia dari kelompok mana.

Pada tahun 1994 rombongan reuni dimana saya tergabung dipertemukan dengan sebuah komunitas muda-mudi. Sekitar sepuluh orang alumni berreuni itu ada empat orang dosen, empat orang ekonom memimpin usaha dan lembaga ekonomi bergengsi. Seorang wartawan Kompas, dua orang aktivis LSM. Para dosen PT yang mereka tahu yang dua diantaranya juga pastor/imam katholik, mudah dipahami oleh para muda itu. Para pemimpin lembaga ekonomi sungguh menarik bagaimana mereka membina karir. Seorang wartawan senior Kompas,tidak dipertanyakan. Seorang rekan aktivis LSM yang besar pula banyak mereka kenal. Semua diperkenalkan oleh pembina kaum muda itu sebagai alumni sebuah sekolah bermutu, dipastikan mereka tentu juga berprofesi dan sukses. Tetapi saya berbangga saat itu sebagai wiraswastawan selepas selesai masa belajar. Tidak pernah bekerja pada orang lain dengan menyodorkan izasah dan ktp dan sertifikat-sertifikat lembaga bergengsi. Pernah menjadi anggota dprd tk.II, hanya dengan izasah SMA, mengikuti jejak Harmoko Menteri Penerangan saat itu.

Ada peluang bagi orang yang tidak mengandalkan citra tetapi prestasi dan semangat kerja. Dan generasi muda paham kendati hampir tidak percaya. Orang seperti ini tidak minder dan bisa peroleh citranya sendiri ditengah para "terdaftar" dan "terkenal". Seorang desener Gabrilelle C.Chansell (+1971) pernah mengatakan : "Symplicity is the keynote of all true elegance"

Kembali pada trend umum dewasa ini, politik identitas pada prakteknya kecenderungan 'bentuk perlawanan' berlebihan, dan 'menunjukkan jatidiri' tidak terkendali. Dan dampaknya menjadi kendala keselarasan dan kedamaian hidup kebersamaan, yang sudah menjadi kesepakatan sebelumnya...

Dinamika politik menjadi dipercepat juga oleh sistem komunikasi digital. Karena gangguan kesehatan sebentar saja penulis ketinggalan proses peristiwa-opini dan berita yang menghangat seputar fenomena kudeta, pilpres 2024,yang jadi terkesan meluas kontroversi yang terjadi diantara Netizen. Pada tanggal 4 Februari pagi-pagi saya sudah membaca empat artikel di Kompasiana saat itu.

Kompasianer Sigit Eko Pribadi menulis tentang Kontroversi AHY dan Fenomena Statement para Politikus yang kadang-kadang tidak ada Logika. Makin kesini para politisi semakin tidak bermutu dalam melontar pernyataan mereka.  Dikatakan seharusnya bahasa politis itu selain logis harus etis berbobot edukatif diikuti perilaku keteladanan bukan provokatip dan memecah belah warga.

Kompasianer FM.Al Rasyid, yang "mengamati dan diamati"  bagi saya menegaskan kondisi politik ini dengan tulisannya  berjudul mengejek ini  Coup d'Etat dan Kudeta Partai Demokrat.  (Coup d'Etat dan Kudeta Versi Partai Demokrat Halaman 1 - Kompasiana.com)

Kondisi carut marut itu dilaporkan mendetail oleh jurnalis Budiarti Utami Putri di Tempo.Co Jakarta saya baca pada tanggal 5 Februari.Ternyata dikisahkan selain pangurus dan para pemimpin warga Demokrat  saya mencatat 13 0rang, belum termasuk yang dari luar dan SBY dan UHY sendiri dalam berita Tempo.co itu. Secara lebih "lembut"nya politik Pak Prabowo Subiyanto masih mengistilahkan manis 'kader gaduh ditengah pandemi'.

Yang memprihatinkan bagi saya adalah signalemen Kompasianer Susy Heryawan dalam artikelnya berjudul "Klaim Demokrat sesat?" (Klaim Demokrat Sesat? Halaman 1 Kompasiana.com) Bersambungnya cerita kudeta di Partai Demokrat dengan "Surat kepada Presiden" yang dikirim "pasti-sampai" oleh AHY. menjadi trik dan intrik yang makin melebar. Ucapan Prabowo Subiyanto tepat kader gaduh,hingga saling menuduh, tuding dan tolak, sementara Jokowi dengan elegan diam konon sebab itu soal intern partai.

Gaduhnya kader suatu partai makin menunjukkan sebenarnya jiwa pola orientasi politisi lebih-lebih dalam partai ybs itu sendiri, pemimpinnya anak buahnya bagaimana sejauh mana dihayati politik identitas. Pertanyannya lalu bagaimana upayanya agar politik identitas dikembalikan sebagai alat politis pada tempatnya ?

Sutradara kenamaan dari Irlandia George Bernard Shaw (1856-1950) memberi saran : "Baik-baik kaujaga dirimu bersih dan jernih, sebab engkau itulah jendela darimana kau melihat dunia".

Kesungguhan niat kemauan bersikap melihat memandang kebenaran,bukan palsu atau kepurapuraan tentang diri sendiri dan rasa tanggungjawab moral pada panggilan hidup, itu jawaban pada pertanyaan diatas. Hati dan otak manusia sendiri harus bersih dan jernih untuk melihat diri sendiri dan tanggung jawabnya pada panggilan hidupnya.

Rasanya jangan kita terjebak pada filosofi tinggi. Kata panggilan hidup aslinya dari suatu keimanan,yang sudah sering terdengar, amanah untuk satu jabatan semuanya pesan untuk kedepan. Lalu bagaimana bagi sudara-saudara yang sehari hari sibuk memikirkan untuk makan dan bayar sekolah anakya. Ada saran protokoler saya :

Saran pertama : Pakailah Masker : banyak lihat dan dengar,(ada hoack lho), kendalikan mulut.

Saran kedua : Cuci tangan, jaga kebersihan hati, jangan urusi yang bukan urusan anda

Saran ketiga : Jaga jarak : mau melangkah pikir baik-baik, mana duri mana banjir, hati hati dan kritis.

Saran keempat : Hindari kerumunan : biarkan yang berkerumun Covid-19, kita tak perlu ikut ikutan.

Saran kelima : Lebih baik tinggal dirumah, kerjakan amanah keluarga, sebagai panggilan hidup utama.  Baru tinggalkan rumah, kalau ada kepentingan yang berat penting seperti kepentingan umum, demi tugas sosial kemasyarakatan yang mendesak  

Demikian semoga kita semua bisa terhindar dari dampak dan kendala Virus Politik Identitas yang sudah semakin menyaingi Covid 19, yang harus kita gauli. Permenungan yang tingkat beropini pun belum, namun sekedar berbagi pengalaman penghayatan tentang  Kesungguhan terhadap kebenaran dan panggilan. Bila ada yang tidak berkenan maafkan saya. Wassalam hormat saya

Ganjuran, Februari 09.2021. Emmanuel Astokodatu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun