Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar dari Anak

23 November 2020   16:37 Diperbarui: 23 November 2020   16:50 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang ingin saya kemukakan disini untuk direnungkan bukan perihal bagaimana anak harus belajar. Tetapi bagaimana kita bisa belajar dengan memperhatikan anak dari lahirnya hingga dewasa.

Belajar juga sudah banyak kali dibahas oleh para guru, penulis-guru, atau para ahli pendidikan. Tetapi saya sebagai kompasianer terlanjur menulis adagium "Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,". Saya pada umumnya sederhana menyadari makna belajar dengan: "upaya reorganisasi pengalaman, sambil berproses tumbuh/hidup" memenuhi/mengembangkan diri diujung umur saya ini, syukur pula masih bisa berbagi berkat..

Pada awalnya saya tertarik pada seorang ibu, eks siswa SMA yang dulu dititipkan oleh ortunya di keluarga kami, dan sudah seperti anak kami sendiri. Dia kini seorang ibu, be a friend lagi di Facebook, hampir setiap setiap hari tak ada postingannya selain tentang anaknya. Difoto, dalam banyak macam pose, dikisahkan celotehnya yang mengejutkan, dipaparkan minat dan perkembangannya dalam menulis, melukis, berkegiatan, berinteraksi dengan dalam keluaraganya, dan lain-lain seribu satu hal.

Belakangan saya jadi minat pula memperhatikan setiap ibu siapa saja, yang dengan pelbagai rasa, kadang prihatin, biasanya bangga, akan kecantikannya, prestasinya dan semua tentang anak-anaknya. Saya menjadi tidak heran dan semakin tidak heran, karena saya dan isteri saya sudah mengalami yang semacam itu. Hanya saat itu belum ada Facebook, (hehehe).

Saya berfikir positip, dan berharap setiap ibu itu dapat pula mengambil pembelajaran. Jangan mereka hanya terhenti pada kebanggaan, kesenangan di saat itu dengan mengambil fotonya, memasang di dinding rumahnya, memposting di media, dibaca dan dipamerkan kepada teman seklasnya, saudara saudaranya ayah ibu itu.

Anak-anak saya sendiri, hanya dua orang lelaki. Sekarang mereka sudah dewasa berkeluarga dan tidak tinggal lagi dirumah kami, mereka sudah mempunyai rumah sendiri, rumah tangga sendiri.

Tentu ada banyak kenangan. Tetapi hanya ada satu hal yang sama pada dua anak saya yang ingin saya sharekan. Pilihan fakultas diumur perguruan tinggi rupanya merupakan bawaan sejak kanak-kanak. Yang sulung memilih Psikologi di UGM. 

Kalau saya runut ada kebiasaan kanak-kanak Sulung saya ini bertanya tentang apa saja: Apa sebabnya, mengapa. Kalau saya usut lagi mengapa dia selalu bertanya demikian. Rupanya dari banyaknya saya saat itu memberikan permainan yang digerakkan dengan batery atau per yang bisa diputar hingga berjalan atau bergerak, seperti mobil, robot,dll. 

Dia tenang melihat dan berfikir kenapa bergerak sendiri. Namun ujung-ujungnya selalu dia bertanya segala sesuatu: Mengapa, apa sebabnya? Dan kami ortu harus memberi jawaban. Bukan jawaban yang teknis rumit, bukan pula sebab musabab yang canggih, tetapi harus ada jawaban yang diberikan. Ketika ibunya tidak sempat dan enggan memberi jawaban mengapa, marahlah dia katanya : Mama tak mau diajak berunding.

Anak saya yang kedua, si Bungsu.memilih mengambil Teknologi Informatika di universitas yang konon terbaik di Yogyakarta dalam jurusan itu. Namun dia tidak menyelesaikan studinya tepat waktu. Dia tidak suka belajar teori. 

Semasa mahasiswa dia sudah banyak menerima kerja di perusahaan yang membutuhkan ketrampilannya. Ketika selesai dia enggan ikut upacara wisuda. Buat apa katanya. 

Kalau saya runut masa kecilnya, semua itu serba mengalir. Selisih umur dengan kakaknya cukup jauh (9th). Situasi ekonomi keluarga saya tidak semaju masa kanak-kanak kakaknya. Permainan kakaknya dalam doos besar di gudang di keluarkan. Masih banyak sebenarnya yang baik. 

Tetapi dia tidak puas untuk disuruh menunggui mainan itu berjalan sendiri. Diambil olehnya didorong-dorong, setelah jemu diamati dan dibongkar bongkar, dilihat apa didalamnya. Karena asyik dan tidak banyak bertanya, sangat sering dia ditinggal bermain sendiri. Sampai 4-5 tahun aktivitas motoriknya sangat maju. Sekali waktu meja dapur dicari oleh ibunya, ternyata di bawa kebelakang rumah tanpa tanya sebelumnya meja itu dibuat rumah anjing piaraan kami . Ada beberapa keping papan dipaku keliling. Agar anjing kita tidak kedinginan, katanya.

Semestinya betapapun penting pendidikan dari ortu dan lingkungan yang ortu ciptakan, tetapi harus disadari bahwa anak-anak hasus dan akan menjadi diri mereka sendiri. Harus menjadi kesadaran ortu bahwa pengalaman disaat ortu itu masih anak harus direoganisasi, dibangun sesuai kebutuhan bagi anak.Janganlah anak harus seperti ayahnya atau ibunya. Salah satu indikator sikap itu ialah bahwa ortu siap menghantar anak-anak dan melepas pada saatnya..

Pada tahun 2014 sebelum tanggal 22 Nopember  saya membaca dan mempelajari sebuah postingan Ibu Aridha Prasetyo yang tertulis: "Benih melihat dari akar, batang, cabang dan ranting, dedaunan, sementara dahan dan ranting hanya sebatas dirinya." Saya memaknai bahwa orang tua itu hanya sebatas dahan dan ranting mungkin. Padahal yang mau kita lihat adalah pohon dan benihnya.

Dalam skala generasi, anak manusia menurut postingan seorang ibu Gendis Pembayun harus dilihat seutuhnya dari hulu hingga hilir. Integritas manusia tidak sekedar kemampuan hasil pendidikan tetapi kejujuran dan pertanggungan jawab, yang terungkap pada kehidupan seutuhnya dari hulu hingga hilir.  Hasil pendidikan berupa pembekalan dari kekayaan masa lalu yang berhasil di pelajari dan disimpan dalam memori sebagai motivasi dan petunjuk pelaksanaan.

Tetapi saya berpendapat pula bahwa anak masih berpeluang mengembangkan diri dengan pelatihan dan mendapat pengalaman untuk cerdas merespon perkembangan, mengantisipasi resiko, keberanian mengambil pilihan, menciptakan peluang dimedan realita dunia luas. Itu semua adalah dunia dan kamanusiaan milik semua generasi..

Oleh Facebook saya diingatkan pernah menulis sepuluh tahun yang lalu demikian : "Termasuk suatu kebahagiaan tersendiri berani percaya pada Penyelenggaraan Illahi pada generasi berikutnya... 2010. Nop.23"

Permenungan ini , yang saya maksudkan bukan metoda belajar pada edukasi pada umumnya dibicarakan, tetapi edukasi diri dengan belajar dari kehidupan anak-anak.

Sekedar contoh adalah Pertanyaan anak yang harus dijawab, perkembangan yang berbeda pada anak sekandung sependidikan, pertumbuhan yang mengejutkan, pendekatan ayah-bunda pada saatnya. Dan pelepasan serta pada gilirannya ayah bunda yang harus bertanya kepada anak. Permasalahan yang mendasar sebenarnya adalah zaman, perubahan, dan proses regenerasi.

Senator , negarawan Romawi Kuno  Cicero, satu ketika memulai pidato kenegaraannya dengan berseru : O, Tempora ..O Mores.  Oh Zaman, oh Peradaban. Marilah bersama melihat tanda tanda zaman, tetapi yang penting semoga Pembaca yang budiman menangkap makna dan manfaat atau sekurang-kurangnya sekedar termotivasi untuk mereorganisasi pengalaman untuk lanjut menghidupi zaman ini.

Tolong maafkan segala ketidak nyamanan ada karena/dari saya selebihnya terimalah salam hormat saya.

Ganjuran, Nopember 23. 2020  Emmanuel Astokodatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun