Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Telusuri Kontroversi dan Budaya Kondusif

8 November 2020   10:30 Diperbarui: 8 November 2020   10:33 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berpikir negatip itu semestinya tidak menyenangkan, kebanyakan orang selalu di berikan peringatan berpikirlah yang positip. Tetapi rupanya ada yang "hobinya berfiir negatip". Namun saya disini berasumsi bahwa para Pembaca Yth berpikir positip meskipun kritis atau netral.

Sebenarnya saya juga heran meskipun mencoba paham "perbincangan-publik" tentang pemberian penghargaan negara kepada figur-figur warga negara pemikir oposan terhadap pemerintah. Lalu masih ada sejenis perbedaan pendapat juga ditingkat internasional terkait kasus di Perancis. 

Kasus itu sedemikian rupa sehingga Presiden dalam posisi lengkap a.n. pemerintah, bersama seluruh potensi keagamaan negeri ini, membuat pernyataan tegas membedakan terorisme dan motivasi agama. Dan juga menolak penghinaan terhadap simbol-simbol agama, yang bisa mengakibatkan perpecahan antar pemeluk agama.

Kontroversi bisa memungkinkan membawa perpecahan antar warga. Dan Indonesia kendati bilang Pancasila harga mati, namun setahun yang lalu pun kita alami suasana politik yang kurang kondusif.  Saya diperingatkan oleh Admin Facebook untuk mengulang frase postingan saya pada tanggal 5 yl.ini sebagai berikut:

"Kecewa itu marah yang ditahan, dan marah itu kecewa yang menggelora, kecewa cari solusi, marah memberi luka". Menulis bersama di Facebook, pada tanggal 5 Nopember 2019, rekan Fesbuker Paul Imam Santosa dan saya menanggapi suasana politik saat itu. Dan rupanya sekarang ini kalimat itu layak ditampilkan lagi oleh usulan Admin Fb.

Memang kontroversi, marah dan kecewa bisa kita telusuri dengan pertama tama peristiwa itu berawal mula dari apa, konteksnya apa. Konteks itu bisa latarbelakang bagi peristiwa, bisa mindset bagi keputusan, bisa lawannya, bisa kawannya, bagi seseorang. 

Konteks bisa menjadi tambah penjelasan suatu realita yang tadinya samar-samar. Sebab semua realita didunia ini ada sisi terang ada sisi gelapnya. Dan pengamatnya pun memiliki pilihan sudut pandang. Maka Konteks juga membantu permenungan justru untuk melihat mana yang asesori mana yang hakiki.

Sebagai illustrasi masalah pandangan positip negatip, kontroversi, marah ataupun kecewa saya punya pembelajaran tersendiri dari dalam keluarga dimasa menjelang remaja. 

Dalam keluarga kami ada tiga saudara perempuan yang sudah remaja menjelang dewasa. Suatu ketika mereka berbicara tentang berita tetangga. Ada ibu hamil untuk yang ketiga kalinya. 

Padahal bagaimana ceritanya semua tetangga menganggap suami ibu-hamil itu mandul. Menanggapi isu itu kakak-kakak saya berbincang serius dengan ibu. Ketika ayah mendengar percakapan mereka, ayah diam saja terus pergi. Dan ibu yang memberi komentar bagi putri-putri itu.

Dikesempatan lain ada issu lagi dilingkungan kami kasus peselingkuhan oleh tokoh. Perempuan-perempuan dirumah ikut heboh lagi. Dan saya mencatat ayah sayapun diam dan pergi. 

Hingga pada suatu ketika heboh keluarga kami karena kakak-kakak saya mendengar laporan kasus seorang guru. Dia mengunjungi keluarga murid dan mengaku dialah kepala sekolah. 

Padahal ayah sayalah yang kepala sekolah. Rapat besar perempuan-perempuan rumah saya pun diselenggarakan dan akan bertanya kepada sang kepala sekolah, ayah. Ayahpun hanya tersenyum dan pergi.

Saya lalu teringat cerita saudara tua ayah saya yang bercerita kepada saya yang masih duduk di klas 4 Sekolah Rakyat saat itu. Singkat cerita tentang nasehat bahwa "Diam itu Emas, bicara itu perak mungkin besi". 

Konon seorang Raja pun suka atau kecewa bahkan marah pun cukup tersenyum dan diam. Abdi Raja yang akan menyelesaikan masalah. Raja hanya bersabda yang sesuai dengan kebesarannya. Sebab Sabda Raja adalah Hukum dan Sabda Suci. (Sabda Pendita Ratu).

Setelah di SMA, baru saya tertarik lagi soal "Diam Itu Emas", dst.. Dua orang pengajar senior sekolah kami yang sangat dituakan dihormati Pengajar Sejarah dan Pengajar Bahasa Indonesia. Mereka memberi pencerahan bagi saya tentang segala pengalaman-pengalaman kanak-kanak saya itu. 

Pada umumnya dinegeri tercinta ini pelbagai suku mempunyai tradisi pewarisan nilai budayanya dalam pesan-pesan yang terkemas dalam keteladanan hidup keseharian, sopan santun, karya seni, dongeng, tembang, pemeo dan pelbagai perilaku lainnya.

Terkait dengan topik pembahasan kita,  kemasan pesan moral dalam perilaku bisa disalah tafsirkan dan bisa menyesatkan karena pesan yang hakiki tidak dipahami. Beberapa hal perlu klarifikasi atau perlu dukungan pesan verbal yang disampaikan. 

Tetapi akan menjadi lebih hangat saya melontarkan kata pengganti untuk salah tafsir dengan kata "dipelintir". Suatu modus salah tafsir yang di sengaja biar orang terpeleset kesana. Melintir adalah memintal benang untuk menjadi tali. Materinya sama, hanya terkemas beda untuk manfaat serupa tapi beda.

Dalam sejarah banyak pemeo Jawa yang dipelintir penjajah untuk mencemooh mesikun juga berpotensi mendidik. "Dedalane guna lawan sekti; Kudu andap asor, Wani ngalah luhur wekasane, Tumungkula yen dipun dukani, Ana catur mungkur, Bapang den simpangi...."    Dari sebuah pesan moral yang dikemas dalam lagu tembang. 

Tujuan dan terjemahannya kira kira ini : Pesan pokok / tujuan, bila orang mau sakti, serba bisa bermanfaat, harus rendah hati, mengalah untuk kini untuk yang lebih bernilai dikemudiannya, Dengar baik baik ketika dinasehati, Jangan dengar gosip, hindarkan perselisihan." 

Entah bagaimana pemelintiran itu menjadi issue bahwa orang pribumi (inlader) biasa tidak jujur, tidak berkata sebenarnya, lain dikata lain diperbuatan, lemah, malas meskipun itu dimuka dikatakan dengan sopan dan manis.

Banyak sebenarnya cerminan, keteladanan kehidupan didepan mata, tetapi mindset negatif thinking  tidak melihat yang hakiki, memilih memandang yang disukai.

Budaya sopan santun, budaya harmonisasi,budaya keselarasan, upaya mewujutkan kondisi yang kondusif sebanarnya adalah perilaku cinta kasih yang membutuhkan pengorbanan. Tetapi sangat sering itu menjadi obyek pemelintiran, salah tafsir dan mengakibatkan banyak jenis kontroversi, dan bahkan permusuhan.

Demikian maka postingan saya di Facebook itu masih bisa dibenarkan : Kecewa itu amarah yang ditahan dan marah itu kecewa yang menggelora. Tetapi kecewa masih bisa berfikir mencari solusi, sedangkan marah biasa membuat luka. Luka adalah kecederaan diri sendiri, orang lain, lingkungan bahkan mungkin global.

Semoga permenungan saya yang sederhana ini bermanfaat. Dan tolong terima perimintaan maaf bila ada salah saya dan tolong terima salam hormat saya.

Ganjuran, Nopember 08 2020. Emmanuel Astokodatu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun