Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesenjangan Sosial

29 September 2020   10:01 Diperbarui: 29 September 2020   10:02 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kwalitas dan dampak kesenjangan social seiring dengan kwalitas komunikasi masyarakat menjadi tantangan buat kita semua untuk menyikapinya..

Peristiwa basi September 24 yang lalu TVONE menggelar Talkshow dengan judul "DUA SISI". Membahas tentang PAM Swakarsa sebagaimana diatur kembali berdasarkan Keputusan Kapolri untuk memberi dasar hukum sesuai Undang Undang yang telah ada. Dalam acara itu dihadirkan sederetan panjang nara sumber. Ada dari DPR , Orpol, pengamat politik, kepolisian, dan tentu presenter pemandu yang besar peranannya..

Ada suara yang sumbang dan kecurigaan tentang tujuan sebagaimana terjadi di tahun 1989 itu bahwa sekarangpun hanya merupakan alat melanggengkan kekuasaan. Rakyat di pertemukan dengan rakyat. Sementara pada sisi lain Kepolisian dan lainnya menjelaskan bahwa peraturan Kapolri ini sudah berdasarkan perundangan yang ada sebelumnya bahkan sesuai UUD 1945 juga.  

Dua Sisi (judul talkshow) atau lebih menunjukkan sudah adanya kesenjangan pandangan terhadap satu realita yang sama. Masing-masing penghadir sisi-sisi pandang pada show itu diberi kesempatan mengutarakan pandangannya setelah disajikan tayangan vcd beberapa adegan nyata.

Kali ini saya apresiasi pada pemandu yang lebih sabar dari biasanya, sehingga saya berkesan para pihak menunjukkan rasa tidak kecewa terhadap acara itu. Itu berarti Dua Sisi pandang yang diangkat berhasil dipersandingkan, dan tampak kesenjangan informasi di jembatani. Tentang dampak dan hasil acara itu .... lain perkara.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari berbicara tentang Perspektif publik untuk persepsi umum terhadap fenomena politik khususnya pendapat pemerintah yang tampak dalam sikap, kebijakan pemerintah atau pejabat.

Belakangan ini saya melihat adanya perbedaan pandangan terhadap Penyelenggaraan Pilkada serempak. Semuanya bersumber pada masalah Covid-19. Beberapa pihak mau menunda penyelenggaraanya, sedangkan Pemerintah, disetujui DPR-RI tetap pada rencana semula.

Dengan alasan disini Covid19 tetap dalam kendali, dan tidak ada jaminan sampai kapan Covid itu berhenti untuk jadi dasar penundaan.  Dan yang menolak melihat Covid masih semakin meninggi dan resiko tinggi bagi warga sangat dikuatirkan.

Sementara itu secara politis dilontar kecurigaan adanya kepentingan tersembunyi bagi Pemerintah. Yaitu soal anggaran baik bagi Penyelenggara maupun bagi Calon. Dan Kepentingan pribadi bagi Jokowi dituduhkan karena anak dan menantunya menjadi Calon dalam Pilkada itu. Nah inilah rupanya bermuara ungkapan Persepektif Publik itu.

Perspektif publik tak lain adalah rasa masyarakat entah itu menyangkut perihal keadilan ataupun nilai nilai lain yang dihayati. Rasa itu muncul manakala ada peristiwa penting yang dirasa bersama kurang sesuai dengan nilai atau kaidah yang dianut. Rasa itu saya hanya mengatakan "pandangan umum" yang berdasarkan akal sehat saja. Meskilah ada yang menggeser akalnya menjadi kurang sehat.

Dalam praktek politik keseharian kritik dari dan oleh oposan bagi pemerintah memang sangat bermanfaat. Tetapi sangat sering berdampak buruk bagi semangat kebersamaan. Kebersamaan untuk menghadapi musuh bersama. Seperti sekarang kita menghadapi Pandemi ini. Semestinya saran dan kritik bukan untuk menjadi konsumsi umum dan bertujuan membentuk opini publik. Sebab pada gilirannya bisa juga opini publik itu digunakan untuk kepentingan sendiri dari pelontar pertama issue itu.

Kesenjangan pandangan juga memang tidak bisa bahkan tidak boleh ditiadakan. Dan IT dewasa ini menjadi sangat berpengaruh untuk distribusi informasi.  Dan politisi didalam maupun diluar pemerintahan juga sangat sangat menyadari akan peran alat komunikasi itu sekarang. Tetapi alat boleh canggih, senjata pun boleh modern, namun harus tetap: "ditangan siapakah senjata itu(??)". Para politisi kadang kurang peduli terhadap dampaknya mereka bermain dengan IT mengolah pelbagai kesejangan untuk kepentingannya

Kesenjangan sosial dan Komunikasi plus alatnya memang harus menjadi titik-titik perhatian yang tidak terpisahkan. Warga sipil yang kebanyakan masih kurang warpada menikmati buah IT dipengaruhi oleh penyaji informasi pesan dan hiburan yang bertendensi membodohkan mereka.

Kesenjangan yang sedang kita bina adalah kesenjangan sosial oleh Jaga jarak sosial dari Protokol Kesehatan. Protokol kesehatan adalan sesuatu yang normatif, terrasa, terukur. Kesenjangan sosial yang diakibatkan oleh protokol itu sangat lentur bisa sederhana bisa berekor panjang..

Sudah menjadi percakapan sehari hari, keluh kesah orang tua siswa yang harus menggunakan gadget dalam menuntut ilmu. Apalagi didaerah yang jauh dari jaringan seluler, tentu menuntut adanya peralatan yang lebih baik.

Ada pula pengalaman isteri saya yang mendapat undangan untuk mendapat bantuan sosial sembako dari sebuah Perkumpulan yang diketuai oleh Kades. Undangan itu mengambil tempat di Balai Desa. Saya tidak tahu dari mana bantuan itu dan untuk kategori warga yang bagaimana. Kebetulan tetangga dekat saya beberapa waktu yang lalu sedikit marah karena keluarganya tidak mendapat "bantuan sosial" yang disebut PKH. Nah karena saya tidak tahu saya bertanya kepada seorang pengurus Rukun Tetangga (RT). Olehnya dijelaskan (sebenarnya kurang jelas juga, plus komentar Bapak cari saja di Google) bahwa PKH adalah kepanjangan dari Pembinaan Keluarga Harapan. Dan bahwa ada beberapa program bantuan sosial dari Pemerintah melalui lembaga desa yang ada. Dan tentang itu banyak warga masyarakat kurang paham sehingga sangat sering menimbulkan kecemburuan antar warga.

Dengan cerita super pendek diatas saya hanya mau mengatakan bahwa warga saya kehilangan media komunikasi yang biasa kami selenggarakan 35 hari sekali setiap "Malam Minggu Pon", dimana berkumpul bertemu muka sarasehan dan lain-lain segenap warga RT dan disana didapat semua informasi yang kami butuhkan. Pertemuan itu tidak ada lagi semenjak ada Protokol Kesehatan masuk desa.  Jaga jarak membuat kami "kehilangan". Ada kesenjangan dalam komunikasi "politik" desa.

Kwalitas dan dampak kesenjangan social seiring dengan kwalitas komunikasi masyarakat menjadi tantangan buat kita semua untuk menyikapinya. Hal itu perlu direfleksi, dicari jawaban sesuai dengan tantangan yang muncul...atau yang hilang dicari penggantinya. 

Demikian permenungan tentang, dan dalam peri kehidupan pedesaan keseharian saat ini, yang bisa saya berbagikan. Tolong maafkan bila ada yang kurang berkenan. Dan tolong terima salam hormat kami.

Ganjuran, September 27 2020. Emmanuel Astokodatu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun