Sering kali dituduhkan kepada orang tua yang tidak tenang perilakunya, o dia sedang mencemaskan putrinya yang belum pulang, atau berada di rantau. Ayah saya sendiri belum tidur bila saya belum pulang.Â
Isteri saya melapor, itu bapak tidak tidur sebelum kau pulang, jangan malam-malam kalau pulang. Jawab saya, memang lansia itu sedikit tidurnya, tidak seperti kita capeh sedikit cepat mendengkurnya.. Â
Kecemasan itu suasana batin, yang tidak rasa aman dan nyaman menghadapi apa yang sedang dialami atau akan dialami. Suasana batin itu bisa dalam gejala awal berupa gamang tertegun-tegun ketidak pastian, keraguan. Dan itu terhenti tidak menjadi kecemasan ketika ada kepastian dan rasa aman. Atau dapat berlanjut menjadi ketakutan, yang terungkap pada perilaku.
Kembali pada ayah saya, dia adalah guru dijaman penjajahan Belanda. Dia setelah menamatkan pendidikan guru di Muntilan (Jateng), terus menjadi guru di Bantul (DIY) pada tahun 1919.Â
Melewati zaman penjajahan Belanda selama 23 tahun, penjajahan Jepang, tetap saja dia guru. Pada awal Kemerdekaan RI, dia mendapat ajakan untuk menjadi PNS, ditolaknya kerana lekatnya pada profesi guru. Tetap guru meskipun zamannya mengalami Perubahan.
Perubahan itu Peristiwa, adanya suatu pergantian yang menyangkut hal yang hakiki atau sekedar kondisi belaka. Perubahan juga dapat meggejala nyata kurang lebihnya dalam proses cepat, atau lambat dan tidak instant menggejala penuh. Perubahan dapat terjadi pada benda, cuaca, atau orang, manusia baik pribadi maupun kelompok besar atau kecil.
Kecemasan dan Perubahan bisa instant bisa memakan waktu. Maka baik kecemasan maupun perubahan dapat merupakan hal yang sama-sama terungkap atau lama baru muncul.
Saya masih bisa mengenang bagaimana kami, suami isteri, melepas anak pertama di stasion KA Yogyakarta pergi ke Jakarta untuk menjadi "pekerja", di "perantauan". Dan bagaimana kembali beberapa tahun lagi melepas anak kedua pergi ke Jakarta, bersama isteri setelah pernikahannya. Mereka dalam kondisi yang berbeda sesuai dengan zamannya, tetapi sama sama akan mengalami saat itu perubahan gaya hidup yang berbeda dengan ketika ada didepan mata ortu.
Rasa kecemasan terhadap masa depan anak itu dapat diatasi oleh rasa kebanggaan akan prestasi anak dan jaminan kedepannya pekerjaan mereka. Kecemasan terhapus juga bila bisa ditimbulkan harapan akan adanya perubahan dengan sendirinya atau alami.
Tidak atau belum bisa terlepas dari Peristiwa mondial Pandemi Covid-19.kita bisa pastikan masih banyak warga yang menyandang kecemasan dalam pelbagai bentuk. Karena kepelbagaian itu bersumber pada Covid-19 itu sendiri yang memberi ketidak pastian dan kemungkinan pelbagai perubahan yang juga tidak pasti sejauh mana.Â
Kebersamaan dan kelompok warga hingga negara pun memodulasi situasi. Maka katakan peristiwa pandemi Covid-19 keseluruhannya masuk akal memberi kecemasan menghadapi pelbagai perubahan apapun itu nanti bentuknya.Mungkin kematian, kehilangan orang  tercinta, mungkin besarnya pembeayaan, jatuhnya usaha, hilangnya pekerjaan. Atau bahkan kecemasan menghadapi semuanya sekali gus, simultan..
Mari kita hadapi situasi yang bertubi-tubi, simultan, dan sungguh pengalaman diri tak terelakkan itu. Kita justru harus berani undur sejenak, menarik diri sementara dan kembali ke diri sendiri yang sungguhnya dalam "ketelanjangan", melepas semua atribut dan jabatan. Menemukan diri seperti ada adanya baru membangun niat untuk bangkit. Dengan tenang melihat merinci menganalisa situasi, karena kita harus percaya, semua masalah akan dapat diharapkan terselesaikan. Bangkitkan Harapan..
Berfikirlah positip Jangan berfikir negatip, dengan melihat negatip tak ada yang bisa diharapkan. Lihatlah peristiwa sebagai peristiwa bukan kesalahan kita.
Ada beberapa hal yang bukan menjadi tanggung jawab kita  sendiri, melainkan tanggung jawab bersama. Maka prioritaskan yang utamanya menjadi tanggung jawab kita.
Ada beberapa hal yang tidak bisa kita selesaikan, atau kita temukan solusinya sendiri, karena harus dikonsultasikan pada orang lan. Maka pilih dahulukan apa yang kita bisa selesaikan sendiri.
Ada situasi yang sungguh muskil dan dalam kesendirian, ada yang harus kita temukan dulu teman untuk konsultasi, seperti isteri, atau sahabat, atau tetangga,dokter. Kerjakan dahulu apa yang bisa kerjakan sendiri.
Akan tetapi saya mempunyai pengalaman yang nyata yaitu ketika menghadapi bencana Gempa bumi di kawasan Yogyakarta selatan tahun 2006.  Gempa yang berkepanjangan, setelah jam 06.00, berukuran 5,6 skala Richter. Disusul jam 08 disusul  jam 10 pagi. Pertama kali kuterkurung dalam rumah tak bisa buka pintu, rumah terasa seperti kapal kena ombak, plafon terayun 50 cm kekanan 50 cm kekiri. Ngeri.
Rumah kami tinggalkan, bersama anak dan isteri pergi ke gereja.melalui 150mt reruntuhan tembok pagar, dan 200mt melewat halaman rumah sakit. Di jalanan bertemu orang membawa korban reruntuhan rumah, dan digereja kami sekeluarga dengan dua orang lain berupaya mengeluarkan 4 orang korban runtuhnya menara lonceng dan bagian depan gereja.
Sedianya mau berdoa, tetapi justru harus berbuat sesuatu yang lain untuk orang lain. Rumah rusak berat, dan malam tidur di emperan kehujanan. Esoknya beranda rumahku masih harus menampung tetangga. Sementara kami tidur dalam tenda bantuan yang dikirim anak dari perantauan.
Apa yang mau saya katakan ? Saya membiarkan Peristiwa berjalan dan tentu akan berproses berkelanjutan. Dan sejak saat itu perhatian saya justru tertuju siang malam kepada Rukun Tetangga, bersama ketua RT membagi rata bantuan sembako. Dan dari teman lewat saya datang bantuan, 12 rumah darurat bambu, 400 zak semen biru untuk perbaikan rumah warga. Dan 4 bulan belakangan rumah saya sendiri direnovasi perlahan lahan diantaranya dengan bantuan Pemerintah 15 juta.
Memang kerusakan, ketidak nyamanan, perubahan itu pasti terjadi, dan kecemasan itu suasana batin yang wajar. Perubahan selalu berproses, dan suasana batin itu sebaiknya dikelola. Tidak baru saat dibutuhkan tetapi diedukasi menjadi sikap batin yang matang, siap menghadapi segala peristiwa.
Kebersamaan adalah peringan beban dan tanggung jawab, dan pada saat darurat menjadi harapan dan penyalur kebaikan hati yang terpuji..
Demikian permenungan dari masa kemasa untuk kita bersama menyantap sajian "Dirumahkan" virtual dalam kebersamaan.Tolong terima permintaan maaf saya dalam menggurui diri sendiri saya gunakan kata kita. Salam hormat saya.
Ganjuran, Juli 03.2020. Emmanuel Astokodatu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H