Dengan sukacita dan gembira "tinggal dirumah" saya menulis ini, diharap andapun dengan senang membaca tulisan saya ini.
Buah pikir adalah hasil fungsi otak manusia. Sudah menjadi kepercayaan tradisional bahwa pikiran kita adalah hasil kerja otak yg bersyaraf syaraf. Pikiran manusia bukan hasil kerja ruas lutut ataupun bukan dari jari manis.Â
Dengan otak kita merekam, mencatat, mengolah, perolehan masukan dari indera mata telinga hidung lidah.Dengan olahan yang didapat otak menggandakan menciptakan buah pikir dan atas dasar itu membuat realita baru. Dengan demikian manusia melengkapi realita Ciptaan Sang Pencipta. Itulah motivasi utama untuk bersyukur dengan buah pikir.
Dewasa ini aktual tersiar tayangan iklan suatu produk industri tertentu yang menggunakan kata "orang cerdas". Seorang pakar intelektual dari perguruan tinggi yang diminta menjadi pemeran dalam iklan itu mungkin enggan mengatakan kata cerdas itu karena kepakarannya.Â
Maka dia berfilosofi dahulu kata pakar itu punya prinsip bahwa hidup itu yang penting adalah "niat" dan berikutnya "bertanggung jawab". Â Saya pahami bahwa baginya bukan kecerdasan tetapi niat menjadi titik awal hidupnya, baru tanggungjawab sebagai konsekwensi sosial baik kepada Sang Pencipta maupun sesamanya.
Pengalaman serupa ketika saya baru memulai di tahun 2010 menulis di Kompasiana. Ketika itu berkecamuk perselisihan paham diantara beberapa Kompasianer dibidang agama, dan tersirat kuat latar belakang politik.Â
Dan banyak teman kompasianer lain yang tidak merasa nyaman. Maka terjadi suatu grup damai dengan minat tulis puisi dan fiksi. (sampai saat ini masih ada grup tersebut di Whatshaps).
Dan dengan dinamika komunikasi antar penulis saya menghayati betapa buah pikiran itu mampu mengumpulkan orang tanpa sempat sebelumnya bertemu tatap muka.Â
Saya berguru pada seorang Muhammad Armand dosen di Ujungpandang, belajar bersilaturahmi dengan seorang ibu dari Bandung, dari pengobat tradisional dari Banyuwangi. Sementara saya "tinggal dirumah"...Dan sseterusnya.! Â Dosen Ujung Pandang itu memberi komentar puisi saya untuk yang kesekian kali singkat : "..... filsafat lagi!"Â
Dua buah puisi, sampai untuk kedua kalinya teman itu memberi nilai "fisafat lagi". Berarti sebelumnya lagi sudah kugubah kata-kata filosofis. Saya bermaksud menyampaikan suatu realita keindahan, tetapi realita sajian saya ternyata hanya keindahan realita buah pikir. Rekan saya itu menggurui saya untuk berpuisi tentang realita keindahan nyata.
Belum lama ini seorang kompasianer menulis anjuran supaya kita menyadari dalam menggunakan kata "opini", yang sekedar mau menunjuk pengartian "pendapat".Â