Awalnya sebenarnya ada pada sebuah tanggapan terhadap ungkapan kata "teman dan sahabat adalah karunia bagiku", yg saya lontarkan di Facebook dan ditanggapi oleh teman satu kalimat pendek: "Saya tidak percaya pada Persahabatan". Sebenarnya tidak jelas pula kalimat pendek itu mau menghadirkan apa. Apa yg mau dikatakan dengan "tidak percara pada persahabatan".
Pada hari berikutnya saya mendapat kiriman ungkapan berjudul "Sahabatku" dan tertulis pula : "Selamat  Hari Persahabatan Sedunia". Karena saya tidak tahu kapan Hari Pesahabatan Sedunia itu dirayakan maka aku menjawab : "Bagiku setiap hari adalah hari persahabatan." Â
Meskipun apa yang saya tulis itu saya sungguh hayati, tetapi ketika itu alasan saya menjawab demikian hanya mau mengelak pesan tambahan pada ucapan selamat yang saya terima itu.Teriring ucapan itu ada permintaaan yang bersifat mendesak agar meneruskan mengirim ucapan ini kepada sahabat termasuk kepada sipengirim sebagai tanda persahabatan. Itu saya tidak sepakat sebab saya merasa memberi beban moral kepada sahabat-sahabat saya. .
Sahabat saya memanggil saya sahabat dan saya memberi status gelar sahabat. Akan tetapi apabila saya teliti rasa persahabatan saya kepada mereka amat beraneka dan berbeda satu sama lain. Nah untuk lebih memahami nilai persahabatan itu akan saya hitung persahabatan saya sejak saya bisa berteman dan bersahabat. Mungkin dengan ini bisa kita pahami bagaimana teman saya di Facebook yang terkutip dimuka."Saya tidak percaya persahabatan."
Teman Akrab Seklas Sepermainan di SD klas 5-6, kami bertiga, sebut saja A,B,C.merupakan top diklas dalam hal prestasi belajar. Tiga matapelajaran teruji saat itu adalah kebanggaan kami masing-masing. Yaitu Berhitung (matematika), Bahasa Indonesia, Pengetahuan Umum. Kenakalan pun ciri khas komplotan / geng bocah ingusan itu. Kami saling memperhatikan dan memperhitungkan selalu sedapat mungkin kepentingan kami masing masing di sekolah, dirumah, dilapangan permainan setiap harinya.Â
Ya kami akrab, erat, kompak sejauh dimungkinkan. Sampai kami harus memilih sekolah lanjutan. Kami berpisah dan sepertinya selesailah pertemanan dan persahabatan kami. Terselip selembar kisah bagi saya, bahwa dari seorang ayah salah satu sahabat saya itu terucap larangan terhadap anaknya untuk tidak lagi berteman dengan saya, karena saya anak nakal.Â
Kisah sepatah kalimat itu justru motivasi dan intensitas niat saya untuk menjadi "anak nakal yang baik" sepanjang hidup saya sampai sekarang. Dan sejak itu persahabatan sungguh tinggal kenangan sampai pada suatu ketika kami sempat bertiga bertemu reuni diusia sekitar 40 th. Dan tidak terdapat kisah peristiwa persahabatan lagi antar kami dengan kepentingan masing masing dan di domisili masing masing.
Kepentingan kebersamaan (serumah tinggal/asrama, tugas belajar dsb) ataupun kepentingan minat (olah raga,musik,hobby) mewarnai pertemanan kami di SMP/SMA. Disana saya juga bisa menghitung dua orang teman yang boleh saya sebut sahabat, dan dua tiga teman saya sebut teman akrab.Â
Semua hanya atas dasar kepentingan kepentingan itu untuk saya ukur kadar saling akab, saling memperhatikan dan menjadikan prioritas dalam berteman. Hal itu boleh saya katakan bagaimana setelah kami tinggalkan sekolah kami itu, ternyata sahabat saya dua orang masih memberi perhatian, saling berhubungan, sekali waktu saling membantu secara finansial dan kepentingan saat kami dewasa. Sementara itu ada 15 teman akrab di SMP/SMA (minim 4 th kami tinggal seasrama seklas) diusia 55-60 tahun kami adakan pertemuan reuni hingga 4 kali. Pertemanan dan Persahabatan kami ini bukan pertemanan untuk pematangan hubungan sosial seksual, tetapi murni demi hubungan sosial murni saja. Untuk terjalin hubungan hubungan sosial seksual dan bahkan finansial kami kelima belas teman semuanya mandiri, sesuai jalur domisili, pendidikan, profesi masing masing. (dari 15 ini masih hidup tinggal 7 orang, 2 mantan dosen, 2 pastor emeritus,2 mantan aktivis lsm, 1 orang mantan wartawan)Â
Pada tataran pendidikan perguruan tinggi sampai dilapangan kerja saya mencatat  tiga nama Sahabat lagi. Kepentingan yang mengikat kami adalah seorang untuk pembelajaran dan dua orang untuk kerjasama profesional. Disamping kepentingan keakrapan itu ditandai oleh minat bersama dalam diskusi dan beradu argumen demi labih baiknya capaian target. Dari sahabat ini sudah seorang meninggal dunia.
Dari para sahabat ini tidak ada pengalaman saya untuk melatih komunikasi untuk menjadi suami- isteri. Sejak awal saya belajar berlatih berkomunikasi dengan calon isteri sudah langsung ketika memilih dia untuk calon isteri bukan dari pertemanan kerja atau sosial remaja. Sementara dari pergaulan pertemanan dewasa  ada sejenis kepentingan dan minat yang berkembang adalah Sahabat Spiritual. Terjalin persahabatan rohani/spiritual yang spontan demi kepentingan pengembangan hidup rohani/keagamaan. Dalam jalur ini juga persahabatan itu bisa antar jenis tanpa peduli perbedaan gender dan tanpa gangguan dari sisi itu. Ada beberapa teman saya, yang menghayati sebagai sahabat dalam suatu persababatan spiritual. Disana kami saling menghormati dan sebisanya memperhatikan kepentingan rohani mereka dalam pengembangan visi, semangat dan karya cinta kasih.Â