Seorang pakar, penulis buku "Paham Allah", Tom Jacobs SJ, menulis dibukunya halaman 13 demikian: "Paham Allah itu yang menggerakkan hidup religiusnya" dan tentang bukunya sendiri: "Ini bukan buku mengenai Allah, tetapi mengenai manusia. Mengenai manusia yang mencari Allah dan berusaha memahami relasinya dengan Allah"
Jangan tergesa menilai saya mau bicara SARA dan Agama, apalagi mencerca agama orang lain.
Sebab artikel ini mencoba tidak membahas tentang Allah dan agama tetapi ingin bertahan pada hal budaya bangsa yang religius. Sebab semakin kita dapat tajam membedakan budaya dan agama, dengan begitu memahami batas-batas bicara soal budaya dan tidak masuk bahasan agama yang spesifik, Â tentu tidak akan ada disini pemeluk agama yang merasa saya bahas kritik, alih-alih seharusnya berterima kasih bila saya harus puji pengaruh positipnya untuk budaya bangsa. Dan semua kita maklum bagaimana dinegara kita sebenarnya beragama tidak ditutup tutupi. Dimana mana tempat ibadat dan papan nama tempat ibadat dst, dst, Â dsb.
Tom Jacobs SJ masih menegaskan lagi bahwa yang pantas merefleksi keimanannya itu hanya orangnya itu sendiri yang beriman. Seyogyanya manusia beriman mampu mempertanggung jawabkan imannya dalam bahasa rasional juga, justru karena manusia tercipta mempunyai ratio. Sayapun bisa menerima hal itu, karena iman bagi saya adalah perbuatan manusia berakalbudi yang mencoba menjalin relasi dengan Allah, yang dicari, dipercayai, diharapkan dan dicintainya.
Dengan frase-frase dimuka saya ingin mengisyaratkan suatu sikap, perbuatan, penulisan, yang keseluruhan bernuansa keagamaan, keimanan dalam kehidupan. Dan itu saya mau mengatakan budaya religious atau itulah religiositas budaya.
Selanjutnya berbicara perihal budaya kita pahami bahwa budaya itu bisa dikatakan sebagai ekspresi dari dinamika kreatip manusia dan bangsanya dalam kerangka yg multidimensi. Budaya selalu mengandung konflik. Konflik itu akan selalu tampak bila kita berfikir betapa besar daya kreasi dan imaginasi manusia dan betapa segalanya tetap ada dalam keterbatasan.Â
Orang tak akan puas dan berhenti menyempunakan cara berekspresi lagi, menyempurnakan lagi. Bahkan mungkin dalam lingkup terbatas tertentu konflik itu menjadi sangat tajam karena dinamika keberagaman unsur masyarakat seperti di negeri kita ini, ditunjang oleh kecepatan berkembangnya teknologi komunikasi dewasa ini.
Budaya itu bermula dari tadinya membangun adanya kelompok manusia yang dipersatukan oleh wilayah tertentu, dan membangun kesatuan perilaku budaya sendiri yang khas, secara alami, manusiawi dan "menulis sejarahnya" tersendiri, sekarang dibenturkan oleh teknologi komunikasi itu dengan Globalisasi. Pahami saja globalisasi sebagai arus perubahan oleh pengaruh luar, yang dirasa cepat sehingga sering seperti tidak manusiawi dan tidak wajar alami.
Diungkapkan ada suatu pemeo : "Tak ada nabi yang dihargai dinegeri sendiri." Saya memahami dalam dua versi pemahaman demikian ini :
- Ungkapan itu mau mengatakan bahwa agama memang bukan bahan untuk diumumkan, masyarakat tidak mau digurui oleh nabi. Masyarakat memiliki kebesarannya sendiri. (Agama versus budaya masyarakat setempat)
- Ungkapan itu sederhana saja yaitu masyarakat budaya tidak mau terima pengaruh luar sebagai barang baru.
Ungkapan dan pemahaman saya diatas sebenarnya juga menunjukkan saja budaya mengungkapkan makna. Disitu terjadi komunikasi dan penyampaian  "P e s a n dalam kemasan". Banyak macam kemasan, seperti pemeo, peribahasa, bahkan pelbagai karya seni. Seni sastra masih memberi banyak banyak kemasan bentuk sastra, seperti perumpamaan, metaphora dsb. Semua karya seni, seni suara, seni bangunan, pahat, adalah buah budaya penyampaian makna dan nilai-nilai. Penyampaian makna adalah simbolisasi-simbolisasi terkemas dalam keindahan seni.
Budaya bangsa kita membeberkan kehidupan penuh symbol symbol nilai dan pesan bermakna. Keaneka ragaman buah budaya nilai dan pesan bermakna merupakan harmoni hal yang alami, manusiawi, sehingga tumbuh dan berkembang mulus tetapi juga tidak berarti tanpa gejolak atau permasalahan.
Apabila budaya saja selalu mengandung unsur konflik, apalagi kalau kita berbicara apa yang dimetaphora diatas disimbolkan dengan Nabi. Yang diberikan oleh Nabi tentu sesuatu nilai baru. Nilai dan makna yang baru itu mengandung makna yang harus dikomunikasi berkelanjutan. Itulah yang sering disebut dakwah atau mission/perutusan pada sifat social setiap aliran keimanan.Â
Maka dakwah dan perutusan adalah mekanisme yang substansial, berakar pada substansi yang kita bahas yaitu budaya yang mengandung sifat keagamaan atau religious di NKRI bangsa dan negeri kita ini. Kita semua meski dalam taraf yang berbeda beda, tetapi sama sama memahami usnsur unsur budaya bangsa kita sendiri yang cukup membawakan nilai nilai religiositas. Maka terjadi gesekan gesekan social budaya dan bukan gesekan agama.
Kita memang harus hidup semakin cerdas, gunakan ilmu kepatutan, strategi kebutuhan, kesantaian yang rasional, semakin dini membudadayakan hidup budaya religious yaitu ugahari tertata penuh kasih dan damai.
Pesan dari permenungan saya ini, marilah kita jaga kenyamanan kebersamaan berbudaya bangsa yang religious ini.....  mengapa?... karena anda semua paham mana budaya mana agama di  kehidupan kita mengandung religiositas ini.
Akhirnya tolong terima salam hormat saya,
Ganjuran, 5 Maret 2018. Emmanuel Astokodatu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H