Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kehidupan dan Makna

3 April 2017   12:13 Diperbarui: 4 April 2017   15:25 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sering kali “perkaranya sederhana, tp gak kelar2 dan butuh tenaga ekstra, mambuat aku capek jiwa raga”, Menurut saya penulis mau mengatakan beratnya beban kehidupan ini..

Padahal Keterbatasan alam dan manusia diimbangi dengan kebebasan manusia itu dapat bernilai sebagai ajakan untuk menunjukkan keagungan Tuhan. Mengajak percaya kepada Penyelenggaraan Ilahi.

Dalam kesaksian Ifani Ifani yang menceritakan dan memaknai  pengalaman sejak 20 th yang lalu menyantuni seorang anak tidak berduit, juga dalam kondisi saksi tidak dalam kelimpahan, “Dari masa kami melarat itu Bapak men set up direct debit dari rekeningnya ke yayasan anak ini, kadang isi rekening itu tipis banget tapi tetap bisa dipotong bulanan untuk anak itu. Tenang aja kagak bakal jadi miskin kalo nyantunin orang gak mampu, ada aja tar rejeki datang…….. ….kalo banyak yang oon susah negara, sayang kalo otak pintar terbentur biaya.... siapa tahu yang dibantu itu dimasa depan akan bantu orang lainnya lagi.#Pemikiran sambil makan siang pake gulai otak wkwk (Ifani Ifani).

“Ada saja ntar rejeki datang”, itu benar dan kurang benar.Tidak ada kebetulan ketika kita secara benar mengenal Tuhan dan Penyeleggaraan Tuhan. Bukan saja kadang kita melihat manusia sesama kita “bagaikan” (baca: kita maknai sebagai)  utusan Tuhan menolong manusia, kadang juga ada peristiwa yang keseluruhannya menjadikan kita tertolong. Demikian Tuhan menyelenggarakan pelbagai kondisi seperti “kebetulan”.

Makna adalah nilai realitas dalam kehidupan yang diserap dan diresap oleh akalbudi manusia. Dengan memaknai itu manusia dibekali hikmah pengalaman menjalani hidupnya mengaktualisasi diri dan dalam keterbatasannya menjadi saksi kebesaran Tuhan Sumber Kehidupan.

Demikian dinamika kehidupan. Itulah kebesaran manusia dalam keterbatasannya bisa bebas memuliakan Tuhan Seru sekalian alam Sumber Kehidupan manusia itu sendiri.. 

Maka renungan ini bisa ditutup sebagai buahnya dengan menjawab pertanyaan “Siapa Tuhanku”, Dialah Sumber Kehidupanku, kehidupan teman-teman, kehidupan manusia berakal budi, sumber kehidupan orang yang tak mengenalNya dan menanyatan siapa namaNya, karena sesat pikirnya hanya melihat Tuhan yang dibatasi oleh orang yang mengenal Tuhan seperti kebesaran sebuah bamboo saja..

Salam hormatku dari renung pematang jalan kehidupan,

Ganjuran 3 April 2017, Emmanuel Astokodatu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun