Kiranya layak dan sepantasnya di NKRI yang ber Pancasila ini di Hari Raya Nyepi yang bernuansa agama ini setiap orang beriman tergugah untuk biar sepintas merefleksi imannya sendiri. Sebab layak dan sepantasnya agama memberi pengaruh positip setiap pemeluknya sampai pada perbuatannya. Dan setiap perbuatan orang harus dipertanggungjawabkan. Sehingga Imannya pun harus secara dewasa dapat dipertanggung jawabkan. Meskipun perintah agama dari Tuhan Yang Maha Esa, diterima dengan iman yang merupakan totalitas diri melampaui sekedar kerja otak, namun layak pula refleksi sebagai upaya membahasakan secara rasional.
Kasus tuduhan penistaan agama terhadap seorang gubernur yang berpidato didepan warganya membayangi penulis didalam penulisan menyangkut agama. Karena itu layak diperkuat ajakan untuk setiap orang merefleksi masing masing imannya sendiri. Akan tetapi apa yang terjadi dipertemuan -pertemuan lembaga Hubungan Antar Umat Beragama yang dihampir semua jenjang pemerintahan NKRI ini ada ? Memang mereka berkomunikasi untuk mempersatukan atau mengkordinir langkah langkah kerjasama kemasyarakatan dan dengan demikian memperkokoh NKRI. Dalam komunikasi disana sangat sulit dibayangkan tanpa adanya saling berbagi informasi tentang latarbelakang iman mereka masing masing.
Persyaratan dalam terjalinnya komunikasi dimanapun adalah saling menghormati satu sama lain. Penghormatan itu minimal diujutkan dalam kesediaan untuk mendengar dari setiap pemeluk yang berbeda. Saling penghormatan dapat berlanjut apabila tidak terjadi silang perdapat dan tidak saling menyalahkan didasarkan perasaan ataupun keyakinan kebenarannya sendiri. Keterbatasan manusia dan kebebasan kehendak manusia secara substasial menjadi dasar perlunya toleransi disemua strata kemanusiaan.
Maka pertanyaan berikutnya adalah sampai dimana rasa keagamaan (religiositas) orang Indonesia didalam membangun bangsa ini didasarkan pada kesepakatan awal NKRI.? Religiositas itu harus sampai pada kondisi :
- Bahwa Setiap warga Negara siapapun itu harus sampai pada kesempatan Refleksi Iman Sendiri, didalam kesadaran berwarga Negara di NKRI.
- Bahwa Setiap lembaga formal harus membina penghayatan iman masing masing umat dalam kesadaran (toleransi) akan keberagaman yang ada.
- Bahwa Kesadaran terhadap keberagaman dapat membuka peluang untuk keterbukaan terhadap “informasi” tentang tata lahir perwujutan iman masing masing tanpa “ajakan untuk mengikuti”.
Atas dasar apa yang tersebut dimuka baru dimungkinkan adanya peluang berbagi pengalaman penghayatan iman, seperti sebenarnya sudah sering terjadi. Misalnya apa yang terjadi di forum forum terbatas. Di gereja kami Gereja Hati Kudus Ganjuran, Yogyakarta, sangat sering mendapat kunjungan untuk studi banding. Beberapa Perguruan Tinggi membawa rombongan mahasiswa dengan beberapa kelompok mahasiswa penganut agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha. Lembaga pemerintah dari pusat dan daerah datang pula membawa rombongan tamu dari dalam maupun luar negeri untuk belajar tentang toleransi antar umat beragama. Pada kesempatan itu penulis tidak jarang terlibat sebagai pemandu dan sering sebagai nara sumber dalam hal pengalaman penghayatan iman.
Maka dalam kesempatan hari ini penulis belajar dari sumber dan pengalaman berkunjung di Bali mencatat untuk berbagi tentang Perayaan Hari Raya Nyepi. Pengalaman yang mengesan bagaimana di hari seperti hari ini sekian tahun yang lalu membawa anak kecil di Denpasar dan memang SEPI dan tiada kegiatan. Juga mendengar satu dua ceramah dari pejabat saat kunjungan penulis sebagai anggota DPRD di th 1976 tentang betapa umat Hindu Bali menghargai ekosistem alam semesta sebagai bagian dari agama dan kepercayaan mereka.
Sementara belakangan menjadi semakin sadar memahami hakekat dan tujuan hari raya “Nyepi” ini untuk refleksi iman sendiri yang kristiani.
Kita tahu bahwa Hari Raya Nyepi adalah Hari atau momentum pembukaan Tahun, atau perayaan Tahun Baru Saka, kalender Hindu Bali. Disana memang dibuat Sepi, tanpa kegiatan, dengan tujuan “memohon kehadapat Ida Sanghyang Widhi Wasa, untuk mensucikan alam manusia dan alam semesta.” Hari ini ditetapikan sebagai hari libur nasional sejak th.1983.
Sebenarnya kita sudah pantas bersyukur atas keadaan nyata bangsa kita Indonesia dengan Pancasilanya, kita dapat sewaktu waktu dari dekat menghayati, mengalami, merasa hidup didalam masyarakat yang berketuhanan yang maha esa. Pada waktu bulan Ramadhan berlanjut dengan masa Hari Raya Lebaran, suasana keagamaan menyelimuti kita seluruh warga bangsa ini. Pada bulan Desember seputar Natal dan Tahun Baru suasana gembira bernuansa kristiani dapat dirasakan bersama. Sayang ada yang ingin menolak realita itu, kendati secara nasional fasilitas hari rayanya senang diterima dan dijalani liburannya.
Sebenarnya dalam refleksi saya tahu bahwa setiap agama mengajak menghadap Tuhan Yang Maha Esa, dengan ibadat masing masing, dengan ajaran moral dan kebaikan yang sama sama berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa pemaksaan apalagi teror dan sejenisnya.
Mengawali upacara kebaktian di Hari Raya Nyepi seperti disiarkan pada sementara TV diselenggarakan penyucian diri dengan air suci. Acara di pantai saya bayangkan seperti orang Hindu mandi di sungai Gangga, dan Umat Islam menyelenggarakan “Padusan” sebelum bulan Ramadhan, dan orang kristiani dengan pembabtisan atau pembaharuan janji babtis.
Penulis merasakan ketika Umat Hindu Bali melaksanakan “catur brata penyepian” (amati karya, amati geni, amati lelungan dan amati lelanguan) sedemikian secara lebih radikal penghayatannya dalam sehari “Nyepi” itu. Umat kristiani tidak mewajibkan tetapi hanya menganjurkan umatnya melaksanakan retret (dari kata re-trahere = menarik kembali) menarik diri dari keramaian dunia sejenak untuk hening dan mendekat pada kekudusan. Dan pada ibadat Gereja harian/mingguan selalu tahapan awal adalah pengakuan dosa / permohonan ampun atas dosanya agar pantas menhadap Hyang Maha Kudus.
Semetara itu bila Umat Hindu Bali menyelenggarakan dalam rangka Hari Nyepi Acara Ngembak Geni. Mulai dengan aktivitas baru yang didahului dengan mesima krama di lingkungan keluarga, warga terdekat (tetangga) dan dalam ruang yang lebih luas diadakan acara Dharma Santi. Mareka melaksanakan pesan Yadnya untuk mencapai kebenaran. Dalam Yajur Weda XIX. 30 dinyatakan : Melalui pengabdian/yadnya kita memperoleh kesucian, dengan kesucian kita mendapat kemuliaan. Dengan kemuliaan kita mendapat kehormatan, dan dengan kehormatan kita memperoleh kebenaran. (lihat https://balipedia.id/sejarah-nyepi/)
Refleksi penulis diingatkan tentang gerkan APP (Aksi Puasa Pembangunan) yang mendorong umat untuk mentuntaskan niat ibadat puasanya dengan program kerja nyata dalam pembangunan mental spiritual maupun kemasyarakatan. Hal itu mengesan bagi penulis sebagi suatu tindak lanjut dari suatu ibadat. Dilingkungan penulis suatu semangat pengamalan ibadat sedemikian sehingga mengatakan : “ibadat adalah suatu tindakan seperti kendaraan yang dibawa ke bengkel untuk dicek dan diisi bahan bakar, sedangkan yang penting adalah kondisi di jalan apakah orang bisa beramal dan melaksanakan hidupnya baik-baik.”
Bagi Umat Hindu Bali tepat sekali memasuki tahun baru dengan acara dan upacara Hari Raya Nyepi ini. Menurut refleksi saya Perayaan Nyepi memmberi gambaran menyeluruh ibadat yang saya kira sangat utuh dari pertobatan hingga pengamalan pesah hikmah. Maka umat yang lain tidak ada salahnya kita dapat memahami dan mengambil hikmahnya, sambil menunjukkan dan mewujutkan apa yang menurut penulis ini merupakan toleransi serta pengamalan Sila Pertama Pancasila secara luas dan terbuka. Artinya tidak sekedar cuek dan ikut menikmati hari liburnya saja.
Terima kasih Umat Hindu Bali ikut mengawal dan menunjang rasa religiositas saya. Ini refleksi saya.
Salamat merayakan Hari Raya Nyepi, sukses dan tanpa hambatan suatu apa,Ida Sanghyang Widhi Wasa memberkati anda.
Salam hormat saya, tolong terima,
Ganjuran, di Candhi HKTY, menyongsong Hari Raya Nyepi, tg 28 Maret 2017
Emmanuel Astokodatu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H