Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Transparansi, Evidensi, Simplifikasi

9 Januari 2017   15:16 Diperbarui: 9 Januari 2017   15:21 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga kata diatas sudah sangat sering kita dengar,tetapi ketika ketiganya dicampur adukkan, itu menjadikan keraguan jangan-jangan ketiganya memang tidak ada. Artinya tidak ada transparansi, tidak ada evidensi dan gagal membuat simplifikasi.

Pada sekitar th 1980, pada pelatihan kader kepemudaan, dan th 1990 pada pelatihan kader tani organic, selalu sudah biasa dianjurkan kepada mereka membuat program yang bukan impian kosong. Kendati mereka diajak bermimpi, tetapi dilanjutkan dengan menegaskan impiannya menjadi kenyataan melalui programming..  Salah satu saran adalah mencoba merumuskan semua impiannya melalui langkah ini :

S,  Spesifik, capaian impian harus tegas tidak samar-samar, tidak kira kira saja, bukan sebangsa, sejenis, tetapi jelas apa.

M, Measureable, terukur semua yang bisa diukur, dari jumlah hingga kadar, tingkat kwalitas.

A, Attainable / achievable / menantang. Selain bisa dicapai juga manantang membangkitkan semangat untuk merairnya mendapatkannya.

R, Reasonable/ realistic.Dilalui proses pemikiran yang masuk akal, obyektif, nyata bukan khayalan, atau semata feeling sekilas

T, Time scedulled, terdapat tahapan dan akhir program meski selalu ada kelanjutan.

“Membuat program”  melalui langkah SMART ini memperlihatan betapa pentingnya proses pemikiran, cara pendekatan dan pemahaman akan substansi setiap data dan proses yang terjadi.

Maka perlu dipertegas bahwa “klarifikasi” adalah upaya mendapatkan  kejelasan proses, system, aturan dan kebijaksanaan. Sering terjadi diminta klarifikasi tentang sambutan pejabat yang membuat pertentangan di masyarakat. Sebab sambutan, atau kebijakan itu biasanya tidak sederhana sehingga mudah ditangkap maksudnya. Dan Evidensi adalah kejelasan tentang hakekat dan atau substansi sesuatu benda atau realita yang sepintas kadang seperti kompleks, ruwet.  

Seorang mantan presiden Amerika Serikat, Eleanor Roosevelt pernah mengatakan sesuatu yang menggelitik. Ungkapan itu menunjukkan memang siapa berucap apa, bagaimana dan mengapa. Katanya :

“Small Minds discuss people, Average Minds discuss event, Great Minds discuss ideas”.

Ungkapan itu bisa menarik “terjemahan” seperti ini :

Orang kecil bicara orang. (katakan “tetangga”, buahnya gossip)

Orang tanggung omong peristiwa, (katakan itu kejadian, buahnya  issue politik, mungkin opini tertentu) 

Orang besar bicara gagasan, (buahnya solusi pembangunan)

Secara mudah bisa juga dikatakan, bahwa mendekati gejala, fenomena, orang bisa mengajukan pertanyaan. Apabila cara bertanya atau pertanyaannya yang diajukan kurang pas maka hasilnya bisa tidak menjawab permasalannya dan pemahamannya sangat dangkal. Orang pertama bertanya : Siapa dia ? Siapa tadi yang mengatakannya? Orang kedua akan mengajukan pertanyaanya : Bagaimana kejadiannya ? Bagaimana suaranya pembicaraan? Kapan mulainya,? Orang ketiga bertanya demikian : Apa sebenarnya yang terjadi. ?  Mengapa itu bisa terjadi ? Faktor apa yang……? Hal hal apa yang mempengaruhi untuk terjadi ?  Yang memulai, yang meakhiri faktor apa.

Apabila mau mencari lagi bukti, ilustrasi, contoh soal, tentang bahas membahas maka silahkan  berburu ditulsan rekan Kompasianer ini.

Menghadapi permasalahan harus menggunakan pisau analisa yang tajam. Kupas kasus dan peristiwa seperti menguliti kelapa, dari sabut sekeping demi sekeping hingga memecah tempurungnya, dan peroleh air kelapa dan dagingnya, bersih tertampung dan teriris sesuai kebutuhannya.

Seperti dalam program apa yang harus terjadi dipahami, diukur, diperhitungkan, dilihat dalam kenyataan, demikian dalam menghadapi fenomena dan realita jangan mata dibutakan oleh illusi dan praduga sendiri.

Menguasai permasalahan membuat obyeknya terpecah tetapi jangan terpisah pisahkan. Kita harus masih bisa melihat keseluruhan seutuhnya. Seperti kita melihat ketelanjangan dan masih membawa pakaiannya.

Melihat secara sederhana tetapi tidak menyederhanakannya, tidak melihat dengan menganggap remeh kenyataannya. Sebab melihat benar itu belum selesai,  masih harus melanjutkan dengan mensikapi secara benar.

 Dan tulisan ini tulisan saya yang ke 699, dalam waktu 7 tahun sejak tulisan pertama tanggal 10 Januari 2010.

Tolong terima salah hormat saya.

Emmanuel Astokodatu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun