Mungkin judul ini terlalu luas, padahal saya hanya mau sharing sehabis baca Facebook dan baca Kompasiana, dalam topic yang sama. Yaitu tentang si Selebriti Marshanda.
1. Fesbuker @Ifani Ifani di Facebook tg 26 Maret 2016, dengan 30 komentator. Dia menulis :
“Banyak yang memuji Marshanda karena mengakui bahwa memang Bapaknya yang terjaring razia pengemis di Jakarta Selatan kemaren, katanya tak malu, dst, Tuhan punya rencana, all nice words darinya” . Tetapi juga ada yang disayangkan yaitu : pada kunjungannya kepada bapaknya, yang hanya 39- menit, memberi uang seratus ribu, tidak segera membawa pulang sang bapak, masih menunggu rapat keluarga. Dan Ifani Ifani berdoa :
“Ya Tuhan lindungi kami para orang tua, agar bila anak-anak kami sudah besar nanti nomor telepon kami tidak hilang dari hp nya dan tetap mengunjungi kami apapun keadaan kami. Paling tidak kalau ada apa2 dengan kami bisalah berteduh sehari dua dirumahnya dan bukan di penampungan... Jadikanlah kami orang tua yg baik hingga pantas menerima bakti, hormat dan cinta dari anak2 kami, amin.....” Dari doa ini tersirat perilaku Marshanda itu salah atau tidak pantasnya sebagai anak, patut disayangkan.
Bagaimanapun Fokusnya pada 1. Artis Marshanda, 2. Ayahnya sebagai Pengemis, 3. Hubungan Ortu dan Anak. 4. Pandangan umum tercermin pada kata-kata penanggap (komentator) mengamini doanya..
2. Kompasianer, Penulis dengan nama @Hulk menulis di Kompasiana tentang : SBY, Marshanda, dan Ahok. Dibaca hingga saat itu : 1,326, yang berkomentar : 18 orang, Pemberi Nilai : 19 Selengkapnya cek di sini Sebenarnya lagi lagi dibahas dan “diragukan kesehatan kewarasan pandangan umum” yang gegabah menilai.
3. Kompasianer, Penulis dengan akun @Cuker membahas tentang “kemalasan pengemis”. Pada dasarnya pengemis itu seorang pemalas, karena menyandarkan hidupnya dari meminta. Maka dipertanyakan apakah ayah Marshanda itu pengemis yang pemalas, sambil menengok lingkungan anaknya yang selebritis itu? Tulisan yang sampai ini ditulis ada 801 orang sudah membaca, banyak menunai komentar juga. Disini memberi santapan rohani pula lewat komentar bagus dari Kompasianer Hery FK :
a. Malas untuk kasus ini besar korelasinya, mengapa si Babe jadi pengemis.
b. Tekanan jiwa sangat mungkin membuat Babe tak ada pilihan lain selain mengemis untuk bertahan hidup.
c. Itu semua baik bagi kita untuk bercermin : dalam keluarga, kekayaan belum tentu jadi jaminan kesejahteraan. Faktor X dan pelbagai hal non teknis perlu menjadi pertimbangan.
d. Dalam hal ini Marshanda memang gampang menjadi kambing hitam, kalau mengabaikan pertimbangan © tsb diatas. Selengkapnya di sini
4. Kompasoaner Susy Haryawan menulis : “Sering pandangan kita lucu dan aneh ketika mengomentari orang secara luar biasa, berlebihan pada titik yang belum jelas, hanya karena adanya perbedaan yang signifikan, bisa karena beda ras, agama, dan pilihan politik.” Selengkapnya di sini
Pembelajaran yang saya petik bagi diri sendiri adalah
a. Pentingnya pandangan yang tidak partial saja, tetapi holistic (historis dan lingkungan)
b. Jangan menghakimi, tetapi lebih menarik hikmah dan bersyukur ada orang mau kedepan jadi selebritis menjadi cermin buat kita lewat media.
c. Pertanyaan terbersit : Sepertinya Facebook bagi beberapa Kompasianer menjadi tempat alternatip untuk tidak saya sebut sebagai pelarian dari gangguan error kompasiana.
Tentu memang ada pengaruh dari factor pertemanan, factor issue yang diangkat, selanjutnya teknis penulisan yang sederhana.
Tips sedikit untuk membebaskan diri dari kecenderungan menilai orang dan kemarahan sia-sia :
1. Biarkan orang lain dalam ekosistemnya sendiri
2. Percayalah orang lain itu berniat baik sesuai yang dia tahu
3. Sebagai komunikator ambil sikap yang fleksibel, jangan hitamputih.
4. Janganlah respon yang kita terima membuat umpan balik yang kurang pas.
5. Persepsi orang dan persepsi kita itu bukan realita itu sendiri.
Semoga bermanfaat. Dan mohon maaf atas keterbatasan saya merekam menangkap dan merespon tulisan rekan-rekan yang saya ambil di tulisan saya ini.
Salam hormatku untuk segenap pembaca,
Ganjuran, 30 Maret 2016, Emmanuel Astokodatu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI