Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Kakek (2), Ngupadi Sedulur: Tuna Sathak Bathi Sanak

15 Januari 2016   11:10 Diperbarui: 15 Januari 2016   18:53 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mengalirnya angin sepoi sungguh menjalarkan sesirat kesejukan disiang yang gerah. Dibelakang gardu ronda dusun Kaliasat Desa Rangkat tumbuh rindang pohon durian yang megah besar, disampingnya kiri kanan pohon kelengkeng yang bermahkota rendah, menambah sejuknya udara dibawah naungannya. Bila musim berbuah baik durian maupun buah kelenngkeng menjadi perhatian warga desa. Apalagi demi keamanan Kakek suruhan orang memasang jala agar tidak ada bencana “durian runtuh” diatas kepala warga.

Dibawah naungan pepohonan itu Kakek Rangkat terlibat percakapan dengan beberapa tamunya. Kurang jelas ada tamu –tamu itu dari mana, tetapi mendengar logat bahasanya sepertinya Mas Budi yang priyayi Jawi itulah dia dengan dua orang temannya. Yang sempat terdengar Mas Budi bertanya pada Kakek :

Budi : “ Kek apa si artinya kok dikaitkan dengan : “mencari saudara” katanya itu tadi pemeo orang dagang ”….
Kakekpun mulai tanggapannya dengan sangat perlahan. Gaya khotbahnya dukun klenik hampir berbisik mentranfer ilmunya. Tapi bagi Kakek cuma gayanya saja karena sedang flu. Kakek ngomongnya lepas bebas tak tertahan tahan.

“ Saya pernah melihat lukisan. Lalu saya tulis puisi berjudul : “Berburu Kemanusiaan”. Lukisan itu pada saat itu saya pandang ada banyak wajah-wajah bruk, ada gambaran sebuah kota industrl, dengan pipa-cerobong pabrik dan gedung gedung serta tiang listrik. Saya terkesan sepertinya saya mencari bahkan berburu karena tak diketemukan wajah manis dengan suka cita. Yang ada wajah buruk.Buruknya kemanusiaan.”

“Tetapi berbeda dengan pengalaman ketika kami berembuk banyak hal dan masalah hidup di pedesaan. Dengan mencari pemecahan masalah secara bersama, selain solusi, didapatkan pula ilmu dan saudara. Degan kata lain : apabila solusinya pun tidak segera diperoleh, tetapi bisa dipetik Ilmu dan pembelajaran serta persaudaraan dari kebersamaan. Dari teman diperoleh teman, dari saudara bertemu saudara.”

Mas Budi tidak telaten mendengar melulu omongan Kakek yang membuat mengantuk para pendengar, maka katanya : “ Jadi apa artinya Tuno Sathak bathi Sanak itu Kek, aku maaf, belum jelas.?”

Kakek diam sejenak. Sepertinya menunggu gejolak segera ingin tahunya Mas Budi mereda. Itulah caranya orang tua menanggapi gejolak jiwa muda yag kurang sabaran.

“Sebenarnya,( katanya Kakek melanjutkan,) itulah sebenarnya focus pembicaraan kita”. Tetapi sebelum saya jelaskan lebih jauh, ingin aku bilang ini Mas Budi, jangan bilang nanti semua kata-kataku itu kata kekak tua dan itu pandangan jadul. Seperti memandang lukisan yang selesai terlukis, tak berubah lagi, dan nanti akan datang orang memandang lagi dengan beda caranya. Pada saatnya nanti Mas Budi akan menulis puisi yang berbeda dengan puisi saya. Tetapi dari lukisan itu ada yng abadi – yaaah lukisan itu --- juga tersirat kemanusiaan yang sama tapi tak serupa. Wajah buruk itu siapa tahu nanti akan sedikit menggambarkan keberanian ketegasan atau tetap saja wajah keburukan dan kemiskinan…”

“Jadi Kakek lalu mau bilang apa?” tanggapan Mas Budi.

Langsung spontan juga Kakek Rangkat lanjut angkat bicara :

“Kita bersama, aku, kamu, tetap harus memandang sendiri dan mencoba paham. Itu saja, setelah itu kita coba menangkap kata orang. Dan harapannya permasalahanmu akan terjawab dengan kita berdialog ini.”

“Ada kakak kelas saya dahulu di SMP, bernama Suryanto, ayahnya bernama Pak Adiwardoyo, kemudian nantinya dia juga berganti nama seperti nama ayahnya “Adiwardoyo”. Waktu di SMP kelas tiga dia bersama seorang teman yang lain ditugasi menjaga toko kecil milik asrama sekolah berisi kebutuhan seperti alat tulis, sabun mandi dsb. Pada akhir tahun pelajaran Suryanto membuat suatu kejutan. Atas permintaan Suryanti Pembina Asrama membut pengumuman agar semua kertas bekas catatan dsb yang sudah tak terpakai dilarang dibuang atau dibakar. Kertas bekas itu dikumpulkan dan dikemas rapi. Suryanto dan Ego temannya, membawa kertas itu kepasar. Dan apa ceriteranya berikut. Pada hari awal-awal tahun pelajaran tahun berikutnya, Suryanto dan Ego membuat pengumuman bahwa hasil penjualan kertas bekas semua teman-teman,cukup untuk membeli semua sisa persediaan barang-barang toko sekolah dan ditegaskan sejak itu semua teman menjadi anggota koperasi/toko, dengan saham/simpanan pokok sama. Dihimbau siapa masih mau menambah simpanan pokok sebagai modal toko bersama……..”

Kakek berhenti dan menyempatkan diri sejenak untuk meneguk air penghilang haus.

“Itu terjadi pada tahun 1955. Pada tahun 1970 Kakek bertemu lagi dengan Suryanto Dia telah menjadi tokoh masyarakat dikenal bernama Romo Adiwardoyo. Kakek,katanya diminta tolong, kenyataannya Kakek diajak bertemu warga relasinya lebih dari 20 orang. Kepada mereka disampaikan rencana dan permintaan partisipasinya untuk membuat sebuah bank perkreditan rakyat. Dan memang jadilah sebuah bank madya atau bank perkreditan yang menampung kerja 24 pemuda pemudi setempat. Kakek kelola dari tahun 1971 sampai tahun 1981, karena pada tahun 1977 Kakek harus mendapat

“giliran” menjadi wakil rakyat kabupaten setempat. Suryanto adalah seorang sosiawan yang tidak memikirkan kepentingan sendiri tetapi selalu menciptakan kebersamaan untuk sejahtera”.

“Pada tahun 1973 Kakek dikenalkan dengan keluarga Sunaryo, kakak Suryanto. Orang ini hamper sama saja. Orang yang sangat social. Tidak jauh dari tempat tinggal kami ada sungai yang cukup besar, tetapi tidak mengairi beberapa hektar sawah yang agak tinggi disamping sungai itu. Suryanto, Sunaryo membuat pendekatan kepada petani-petani pemilik lahan relative kering itu. Dengan sebuah pompa yang berkapasitas cukup besar dibuatlah para petani disitu bisa menjual padi/beras tahun berikutnya. Pada setiap panen itu petani membayar partisipasi pembelian solar untuk pompa airnya. Pembayaran itu seringkali tidak sepenuhnya sesuai perhitungan ekonomisnya, nah disitulah orang bilang “Tuno sathak, bathi sanak” bagi Sunaryo, yang cukup popular didusun itu ”

“Dalam lingkungan pergaulan Sunaryo, Kakek pun diperkenalkan kepada beberapa teman dari Veteran dan ABRI. Dalam lingkungan itu kami mempunyai kebiasaan doa bersama antar agama dan kepercayaan. Mereka mempunyai pula gaya hidup serta problemanya sendiri. Maka bagi Kakek sungguh tambahan lagi suatu bahan pembelajaran. Itu nanti ceritera itu disambung.”

“Untuk hari ini kita telah belajar dalam kebersamaan. Dengan kebersamaan harus dibangun juga kebersamaan dalam pemecahan masalah. Dialog memberi banyak nilai plus kebersamaan. Mungkin ditemukan solusi masalah minimal dialog itu mempererat kebersamaan dan pembelajaran lebih jauh”

Pertemanan untuk berbagi dan berbagi justru beroleh pembelajaran dan saudara…… Setuju.???

 

Salam Kakek Rangkat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun