Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Enakan Tidak... Anu ...

1 November 2011   23:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:10 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada awalnya yang enak itu adalah sesuatu rasa menyenangkan dimulut dan lidah. Ada rasa manis pada gula, rasa gurih pada kelapa, dan lainnya. Orang suka dengan permainan kata. Metaphora, ibarat, perumpamaan, penyamaan, analogia, adalah alat permainan kata yang memindahkan atau menukar makna kata tertentu, tetapi justru memberi kejelasan.

Rasa pada lidah dipinjamkan pada rasa nyaman pada situasi atau kondisi yang lebih luas. Maka terdapatlah istilah ‘keenakan’ untuk kemudahan, kenyamanan. Enak karena segalanya segera bisa diselesaikan. Enak karena kondisinya memberi kebebasan. Enak karena harganya murah. Enak karena tidak memberi beban. tidak sulit, tidak berbelit. Enak karena segera nampak hasilnya yang menyenangkan.

Enak atau tidak enak itu selanjutnya harus merupakan Pilihan. Manusia cenderung mencari yang enak. Apabila itu bertahan dibidang makanan maka ada aliran Hedonis yang memuja keenakan makan. Sebaliknya ada aliran yang memilih ‘menahan diri’ sebagai jalan latihan rohani, ‘askese’ seperti para biarawan, dsb. Ada orang Puritan yang disiplin asketis tinggi, menahan dan mengontrol diri. Perilaku-perilaku mereka rasional dan sistematis. Mereka aktif berkarya di dunia menolak aksese petapa atau biara.

Diantara dua lifestyle ekstrem sebenarnya selalu dan wajar ada saja orang memilih jalan tengahnya. Dan itulah pilihan hidup.

*****

Titik berat pada setiap Pilihan hidup sebenarnya terletak tidak pada style tata lahir kehidupan,tetapi pada Beban Tanggung Jawab terhadap pilihannya yang ‘jitu’. Mengapa ?sebab sebenarnya setiap pilihan yang ‘jitu’ dan pasti tentu ada konsekwensi, kelanjutan, dan akan selalu terlibat dan melibatkan pihak lain. Dan disanalah lahirnya beban tanggung jawab.

Tanggung jawab itu vertical kepada Sang Pencipta, Tuhan. Horisontal pada sesama dan lingkungan.

Tanggung jawab itu selalu tertata pada seting peran. Dan selalu terpola pada keadilan kebersamaan.

Maka Pilihan lain yang tidak menanggung beban apapun dipastikan nyaris tidak ada. Adakah pilihan yang memberi kebebasan penuh,memberi kemudahan, memberi kenyamanan dalam segala hal.? Sebaiknya jangan dipikirkan hidup tanpa tanggung jawab.

*****

Menegaskan kembali : Tanggung jawab itu vertical kepada Sang Pencipta, Tuhan. Horisontal pada sesama dan lingkungan. Posisi setiap pribadi yang demikian menciptakan pola tanggung jawab. Pola Tanggung jawab itu akan menjadi serasi dan terjamin keberlanjutannya, apabila setiap pihak dalam berrelasi terjaga dan diakuikeberadaannya dan kepentingannya. Disitulah Keadilan terjadi.

Sendi utama keadilan itu pengakuan terhadap keberadaan dan penghargaan terhadap kepentingan setiap pemegang peran. Sebab semua itu Realita yang nyata. Realita yang bisa terlaksana. Realita yang memang ada.

Sendi kedua keadilan itu Nilai kemanusiaan yang mulia. Nilai kebersamaan dan komitmen.Didasarkan kejujuran dan keadaban.

*****

Kejujuran dan keadaban itu menuntut hati sederhana dan penataan bukan kebebasan dan keliaran. Kebenaran dan keadilan itulah yang menuntut pemahaman dan pengorbanan. Yang seperti apa ? Yang jujur siap berani menanggung rasa beban kurang nyaman. Pengakuan keberadaan dan penghargaan kepentingan orang lain kadang bertolak belakang dengan kesadaran harga diri dan kepentingan sendiri. Memang banyak orang tidak mau dikurangi kenyamanannya dan kebebasannya.

Memang …Enakan tidak jujur. Maunya suka-suka, maunya nyaman, bebas tanpa tanggung jawab. Padahal jelas dimuka hidung orange ada relasi keatas kesamping kebawah.

Enakan tidak jujur pura-pura tidak melihat realita dimukanya, sesamanya, lingkungannya.

Enakan tidak jujur tetep kuasa memerintah, kendati rakyat mengharap lain, sebab disengsarakan.

Enakan tidak jujur mumpung lagi kuasa.

Enakan memang bukan jadi manusia……………………….?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun