Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

KEMATANGAN BERDEMOKRASI ??

12 Maret 2011   01:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:52 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melanjutkan pemikirannya dan atas saran Mas Didot dalam tulisan berjudul “Kesantunan Berdialog” (http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/11/kesantunan-berdialog/) saya menulis ini. Saran kedua diekor postingan Mas Didot itu saya kutip sbb: “Dalam berproses didalam berkomunikasi sebaiknya kita taat azas : (pertama) menghargai perbedaan dan pribadi martabat kemanusiaan “lawan”-dialog, (kedua) pembahasan materi atau permasalahan bukan dialihkan pada orangnya”.Azas yang disarankan ini saya nilai sebagai salah satu ciri atau indicator kematangan berdemokrasi.

Pada zaman Orde Baru sangat sering terdengar tuduhan yang sebenarnya “legitimasi sikap tirani” bahwa bangsa kita belum matang berdemokrasi. Itu rupanya termakan oleh semua tingkat masyarakat. Maka saat itu saya berpeluang dikirim ke Philippina untuk belajar masalah LSM. Konon people power disana sudah lebih maju.Sekarang pun kematangan berdemokrasi itu bisa dikaji dan dinilai, dipertanyakan.

Kematangan berdemokrasi dinegeri ini tidak bisa diukur oleh banyaknya politisi di negeri ini. Banyak,.. tetapi kalau wakil rakyat hanya D4, dan berunding diselingi main pukul, tentu itu bukan bukti kematangan demokrasi. Seorang tokoh wirausahawan Sandiaga Uno memberi alasan minatnya cenderung mendorong kaum muda berwirausaha daripada menjadi politisi dengan banyaknya politisi dinegeri ini. Tercatat di pemilu tahun 2009 calon legislatip sejumlah 500.000 orang dibanding wirausahawan sejumlah 400.000 orang.(Kompas Kita 01-02-2011).

Berbicara soal “kematangan orang/bangsa” kita harus berbicara tentang proses, pengembangan dan pendidikan. Kematangan lalu bukan suatu hal yang serta merta terjadi. Proses pematangan budaya bangsa bisa terjadi merupakan proses ratusan abad seperti kita tahu berapa tahun yang lalu dimulai budaya bangsa Cina, Assiria, Mesir, Yunani, Romawi, Turki, Arab, Eropa.hingga terjadi seperti sekarang.

Contoh kecil upaya pematangan demokrasi yang saya ingin kemukakan adalah “Pendidikan kader/aktivis” gerakan buruh di Jerman. Alasan pendidikan adalah bahwa dalam hubungan industrial selalu cenderung ada perbedaan kepentingan antara kaum pekerja dan pimpinan perusahaan. Benturan sering tidak terelakkan. Tetapi pengalaman mereka mengajarkan bahwa “mengemukakan argument yang meyakinkan dan berlandasan kuat adalah lebih efektip dan lebih baik daripada mengambil upaya terakhir berupa pemogokan dan demonstrasi”.Oleh karena itu serikat buruh Jerman membangun dan mengembangkan kemampuan berunding dengan melatih para perunding dan juga mendirikan pusat-pusat dokumentasi dan penelitian. (Sumber: Friedrich-Ebert-Stiftung, (FES)Perwakilan Indonesia)

Apabila kita melihat proses persiapan perundingan (baca: “Berdialog” , menurut skala pemikiran Mas Didot terkutip diatas) maka nampak betapa mereka teliti, ilmiah, dan meyakinkan cara menghadapi perundingan. Unsur persiapan itu :

·Pemetaan masalah

·Melihat / mengkaji pokok pandangan orang lain / mitra-runding

·Menyusun bukti penunjang kasus hasil pemetaan permasalahan

·Menata rencana penyajian pemecahan masalah yang akan diusulkan.

Dari unsur-unsur diatas nampak keseluruhan upaya berunding berdialog itu jelas ada upaya professional, penghargaan kepada mitra kerja, obyektivitas, operasionalitas.

Proses ini disiapkan dengan upaya pendidikan bagi pekerja. Ber-Demokrasi tentulah harus disiapkan dengan sengaja, professional obyektip dan dapat betul dikerjakan. Barulah diperoleh kematangan berdemokrasi, yang salah satunya indicator “bisa berunding secara bermutu” meski dimulai dalam skala komunitas kecilpun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun