Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budi Pekerti, Budaya Kita Kita

24 Agustus 2014   04:58 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:43 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prof.Dr.Alois Agus Nugoho dalam salah satu tulisannya berjudul Pemikiran-pemikiran Politik, menulis : ” Dinamika dan peradaban yang berkembang dalam kehidupan manusia memunculkan r e f l e k s i yang mendalam dari beberapa filsuf. Refleksi beberapa tokoh tersebut kemudian menghasilkan gagasan-gagasan besar yang jenial dan orisinil.” Kiranya pantas hal itu kita ulang-ulang dengan kita sendiri membuat refleksi dengan harapan segera munculnya gagasan-gagasan dari Kompasianer disini untuk pemecahan kondisi controversial atau paradoksal negeri ini .http://filsafat.kompasiana.com/2012/05/16/fenomena-kemanusiaan-tindak-kekerasan-dan-doa-463503.html.

Renungan saya setelah Hari Kemerdekaan, dimana didengungkan semangat perjuangan dst, saya mencoba bertanya tentang Budaya Bangsa Kita. Sepuluh hari yang lalu saya menulis dengan judul : Mengapa Gaya Hidup Agamis tidak efektif….. menjaga putera bangsa darikejahatan, kekerasan, korupsi dst.?Gaya Hidup termasuk bagian dari Budaya Bangsa.( http://filsafat.kompasiana.com/2014/08/10/mengapa-gaya-hidup-agamis-tidak-cukup-efektif-667878.html) Tetapi saya mendapatkan sekian banyak masukan baik dari tanggapan tulisan saya itu maupun dari tulisan tulisan setelahnya antara lain : a. Sintong Silaban memasalahkan Kejujuran di http://politik.kompasiana.com/2014/08/14/betapa-mahalnya-kejujuran-itu-673055.html. lalu b. : Adnan Kashogi di : http://sosbud.kompasiana.com/2014/08/14/agama-dan-politik-sama-busuknya-673057.html . Pantas saya kutip ini : “Dan saat ini juga orang hanya tahu bahwa agama adalah kendaraan tuhan yang dapat mengantarkan para pengikutnya menuju surga. Sepintas lalu memang agama itu tak lebih dari sekedar seperangkat ritual pengkultusan………” Berikut (c) Rekan Katedrarajawen menulis tentang kemunafikan : “Ajaran Kebenaran mengajarkan agar kita lebih baik melihat kebaikan orang lain dan menyembunyikan kesalahannya. Namun kenyataannya justru kita lebih bangga  membongkarkan kejelekkan seseorang dan menyembunyikan kebaikannya dengan pembenaran - pembenaran. Bukankah ini kemunafikan dengan menyembunyikan kebenaran dan menutupinya dengan pembenaran? kita tak segan berkelakuan layaknya setan seakan Tuhan ada jauh di sana tak mungkin akan melihat apa yang kita lakukan. Ketika di hadapan Tuhan dalam rumah ibadah kita memuja setinggi langit ke tujuh. Tetapi pada saat dalam kesunyian kita mencampakkan - Nya dalam perilaku.” ( http://filsafat.kompasiana.com/2014/08/14/kemunafikanku-680017. html) Belum lagi (d) Mas Wahyu menulis ini : http://fiksi.kompasiana.com / puisi/ 2014/08/15/seolah-tuhan-tidak-ada-673236.html.

Rekan lain @ M&s membuat peringatan dibawah tulisan saya sambil mengutip tulisan lamanya, katanya:“Kalau saya bilang sih….yah hidup itu harus fleksibel dan jangan paranoid. Fleksibel karena kita harus bisa menempatkan diri sesuai dengan hukum yang berlaku di lingkungan, hubungan sosial antar manusianya, situasi dan kondisi dari apa yang kita lakukan. Tidak paranoid karena Tuhan itu bukan untuk di takutin, tapi untuk di ajak bekerja sama, dimana kita membutuhkan Dia dan Dia juga membutuhkan kita.Jadi apa masih mau hidup paranoid dan tidak menggunakan logika dan hati secara bijak?? (http://lifestyle.kompasiana. com/catatan/2013/01/31/fleksibel-dan-tidak-paranoid-524600.html.) Sejalan itu Rekan Sony H.Waluyo di Fb melontar metafora Agama sebagai sepatu saja yang bisa dikenakan sesuai ukuran kali seseorang. Seorang scientis/spiritualis beda dengan seorang agamis, dsb, (https://www.facebook. com/photo.php?fbid=10204547970922217&set=a.10203927281765376.1073741839.1321815697 &type=1&relevant_count=1)

Telusuri Lorong-lorong Kehidupan Budaya saya menemukan suatu yang saya sebut sebagai Budi Pekerti. Budi Pekerti sebagai sejenis batu bata bangunan kepribadian warga dalam membangun Budaya Bangsa.. Sekarang marak orang membahas pekerti pribadi baik yang kalah maupun yang menang. Apa tidak waktunya kita refleksi diri dahulu.

Telusuri dimaksudkan melihat kembali. Lorong kehidupan adalah jalan yang aku lalui mungkin tidak anda alami. Kehidupan meliputi cinta, keberanian hingga ketulusan.

Cinta. Energi lembut aku belajar dari Ibu. Setelah setiap kali dipuasi dengan ASI ibu kepalaku direngkuh diatas dadanya. Tanganku dibiarkan berhelayut dilehernya. Sampai adikku munculpun kami sering berebut kegelayutan dileher ibu. Disana ada keamanan, kepercayaan, kepasrahan tanpa syarat. Dalam kepasrahan itu ada rasa pd yang berenergi maju.

Berani. Ketika ibu melepas anaknya sekolah, dia mengantar aku sampai didepan guru.. Lama kelamaan aku malu. Setiapkali menjelang pintu sekolah pengasuh-pengantarku kusurah pulang. Aku harus berani sendiri. Dan aku memang berani, aku melihat bapakku mengajar disekolah sebelah. Bapakku guru dan mempunyai teman guru bantu, mempunyai anak buah. Akupun harus mempunyai teman. Mempunyai teman yang mau membantu. Aku menjadi pemberani dan memimpin teman dalam bermain. Suatu saat nantinya saya dengar orang tua temanku melarang anaknya bermain dengan aku. Sebab aku anak nakal. Ini saya terima sebagai penghinaan. Maka setamatku dari SD aku memilih sekolah yang saat itu ambisius dan terhormat sekali bila bisa masuk kesana.

Tahu Diri. Disekolah menengah yang istimewa ini saat dating harus mengisi beberapa daftar isian antara lain sebangsa kajian motivasi. Ternyata aku ditentukan sebagai ketua klas. Tugasku antara lain seminggu sekali harus member laporan apapun yang terjadi diklas kami. Laporan tertulis itu dibahas bersama Pimpinan Sekolah dan OSIS. Dalam kosultasi bimbingan suatu ketika ada pesan khusus bagiku : Belajarlah Rendah Hati kepada Bapakmu. Sejak itulah aku belajar dari Bapak bagaimana aku harus tahu diri. Semangat untuk maju, menghormati sesama siswa dan menghargai orang lain siapapun dia.

Jujur. Nilai Kejujuran kuperoleh dari pengalaman sangat sederhana dalam keluarga. Berbagi lauk dengan adik, tidak berbohong ketika harus menjawab nilai yang kuperoleh tadi di sekolah. Ayah pernah mengajak berwisata di Kraton. Dalam ragam hias ukiran terdapat gambar buah. Kata ayah itu buah manggis. Kebetulan dijalan tadi mampir beli buah manggis. Ayah menjelaskan makna buah manggis dengan menunjukkan didekat, seputar, tangkai buah itu ada lekuk-lekuk bintang berkaki lima atau enam. Dan ketika buah manggis itu dibuka selalu didalamnya ada 5 atau 6 biji sesuai dengan jumlah kaki bintang diluar kulit itu. Kata ayah : manggis selalu jujur, apa yang katakana bibir itulah isi hatinya. Orang Jawa dahulu cermat pula menata bahasa dan penghormatan kepada orang lain. Setiap jenjang status social orang punya kata tepat tersendiri yang diatur oleh Unggah-ungguh. Dalam menghormati orangpun harus jujur. Apa kata sopannya demikian hendaknya hati menghargai orangnya.

Ikhlas. Ikhlas sepertinya suatu keberanian melepaskan kepentingan sendiri, melupakan diri sendiri sederhana hati berfikir pada apa yang seharusnya menjadi focus yang sedang dilakukan.

Ada lima segi nilai yang saling membutuhkan untuk pelestariannya. Mereka saling mendukung. Tetapi paling indah adalah Cinta. Dan itu aku mengalami dalam lapis yang sekedar sekian garis tipis tetapi sungguh terbina dari tahun ketahun sejak masa bayi. Saya mengira saja itulah keseluruhannya adalah Budi Pekerti, yang mestinya setiap orang dari bayi berhak mengalami dari dan dalam keluarga dan lembaga pendidikan. Kalau itu benar maka Budi Pekerti seperti itu bisa menjadi unsur fundamental membangun Budaya Bangsa, budaya kita-kita ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun