Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mata Burung-Burung Politik

12 November 2014   22:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:57 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gema Hari Pahlawan 10 Nopember 2014 baru-baru ini sebenarnya diharapkan menjadi refleksi anak bangsa. Sebab ketika terjadi munafik dan kepalsuan diatas pusara para kuruma bangsa, maka berkumpullah burung-burung politik bermata bola pengamat jagat. Si Mata bulat Garuda Nusantara, mata tajam Elang perkasa, si mata bening Merpati putih, mata sipit burung Pipit, tak ketinggalan Kenari biru bermata cerah.

Dalam majelis permusyawaratan burung-burung politik itu Si Mata Bola Burung Elang membuka wacana dengan pidato singkat. “Saya mencatat ada seorang Isti, dari Kompasiana berpendapat bahwa bangsa ini sesungguhnya telah terbelah sedemikian rupa; Indonesianya Jokowi dan Indonesianya Prabowo. Masing-masing kubu menjadi pribadi yang lebih mengutamakan emosi, subjektifitas tingkat tinggi. Semua menjadi nol dan buruk bila itu yang melakukan kubu lawan. Lalu kapan bangsa ini bisa bersatu? Apa nggak pengen???(http://sosbud.kompasiana.com/2014/11/11/jokowi-dan-virus-olok-olok-abadi-685820.html).

Dengan luruh Si Mata Merpati Putih menanggapinya : “Ada benarnya, sebab semuanya merupakan proses, dan yang terjadi merupakan Konsekwensi Sejarah. Konsekwensi historis adalah rangkaian peristiwa berkesinambungan, yang mungkin tidak sepatutnya, tetapi terjadi. Para pelaku seperti justru merasa bahwa semuanya menjadi keharusan. Dengan bahasa petani, sebenarnya itulah kebiasaan, latah. Apabila disitu ada semacam pelanggaran hukum-kepatutan hanya dapat dihentikan oleh revolusi sosial. Apabila itu hukum formal yaah pengadilan formal juga harus menghentikan dengan perubahan-perubahan seperlunya.”

Sang Mata Bola Garuda,hasil pengamatan terbang tinggi memberi wawasan demikian : “Saya sependapat dengan pandangan Rekan Elang dan Merpati, dalam skala waktu memang demikian. Sayapun mendengar bahwa ada yang mengatakan pencitraan Jokowi itu sampai luar negeri. Itu berarti dalam skala tempat pun ada perubahan. Dan juga Indonesia dengan penyelenggaraan pilpres yang hiruk pikuk sampai harus ada proses pengadilan, justru nama Jokowi dan Indonesia menjadi mencuat. Karena disamping itu pada dekade terakhir seorang pengamat dan penulis melihat besarnya perubahan Indonesia positip atau negatip. Seperti menciutnya lahan hutan, yang dari sisi lain perambahan hutan meningkat bukan main. Dan itu didukung kemungkinan pertambahan penduduk secara signifikan, dan berkembangnya pelaksanaan demokrasi di negeri ini.”

Kembali Komen si Mata Merpati seperti siswa didepan kelas saja mereaksi spontan:Mengatasi waktu dan tempat kita harus menyadari “Keterbukaan berkat Teknologi komunikasi”. Tetapi saya menjadi prihatin dalam segi ini ada banyak pula eksesnya. Dalam banyak bidang seperti politik itu sendiri, menggunakan media internet mempertajam dan mempercepat terjadinya komunikasi yang tidak etis. Di dunia pendidikan kedodoran para Ortu mengejar penggunaan kemajuan media oleh anak dan sekolah.. Jadi yang namanya ekses itu harus segera direspon oleh semua pihak. Seperti terjadinya dunia Indonesia terbelah dua milik Jokowi dan milik Prabowo itu berlebihan dari pengamat maupun pelaku. Bayangkan bila Blusukan memperoleh trademark Jokowi, sebagai perhatian kebawah, sebenarnya Blusukan juga dijadikan milik KMP/Prabowi yang membuat “blusukan keatas”........ mencari celah-celah kelemahan pemerintah ... Jadi ada Blusukan Kebawah ada Blusukan Keatas.”

Celoteh Si Mata Burung Kenari dari puncak pohoh cemara di halaman gereja: .... “Merosotnya mutu Keteladanan Pemimpin itu pokok harapan PakThamrin Dahlan. Penulis ini benar-benar merenungkan nilai nilai yang digali dari Hari Pahlawan. Itu senada dengan pertanyaan seorang Feriska Aprillia yang menulis: Hari Pahlawan, Masih Pentingkah? (OPINI | 10 November 2013 | 10:17 Dibaca: 1609 )Kita bertanya pada diri sendiri apakah kita rela mengorbankan diri untuk mengembangkan diri dalam bidang kita masing-masing dan mencetak prestasi dengan cara yang adil, pantas dan wajar. Itulah pahlawan sekarang.

Maka Komen si Mata Burung Pipit : Para penulis dan pengguna media internet pun harus mengadakan gerak Move on mengarah pada hal-hal keteladanan dan perbuatan baik. Tentulah terlebih bagi semua pemangku jabatan, sesuai dengan kedudukannya : Move on yang lengkap pinjam istilah Den Hard : “bukan hanya berbicara tentang menang dan kalah, tetapi seni untuk berubah dan mengubah. ( http://politik.kompasiana.com/2014/11/10/trik-pdip-untuk-islah-kmp-kih-685763.html)

Ini gema Hari Pahlawan : refleksi burung politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun