Catcalling dan Cuti Haid
Catcalling walau sudah ada secara hukum (KUHP : walaupun tidak dijelaskan secara gamblang), apakah dapat ditegakkan dilapangan? Bagaimana peran pemerintah dalam menyikapi hal tersebut? Seolah tidak ada keseriusan dalam menangani kasus kekerasan seksual.
 Apakah mereka takut ketika perempuan mendapatkan haknya sehingga tidak dapat di eksploitasi lagi untuk memenuhi hasrat nafsunya menjadikan perempuan pekerja yang murah bayarannya?. Atau soal cuti haid? Apakah setiap pemerintahan atau perusahaan sudah dapat memberlakukan cuti haid bagi perempuan yang bekerja?.
Padahal sudah tertuang dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan terkait hak pekerja perempuan terdapat dalam pasal 81 ayat (1) yang isinya adalah : Pekerja atau buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan haid dan memberitahukan pada pengusaha, tidak wajib kerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerjasama.
Hak cuti haid sepertinya hanya sebuah aturan yang menghiasi Undang-undang agar terlihat memberikan hak kesetaraan gender untuk perempuan, walaupun secara penegakkan dilapangan masih minim. Ketika perempuan haid kondisi tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, dan hampir seluruh perempuan saat haid pertama sampai ketiga akan merasakan sakit, walaupun bisa beragam rasa sakit yang dirasakan setiap perempuan.Â
Namun, pada kondisi tersebut bukankah perempuan harus beristirahat, karena kondisi tersebut bisa dibilang seperti orang sakit. Bayangkan pada saat itu tubuh perempuan harus mengeluarkan darah yang cukup banyak dan itu terjadi setiap waktu. Pusing, lemas serta tidak bersemangat  banyak perempuan alami yang akhirnya tidak dapat fokus dalam pekerjaannya, belum lagi perubahan hormon dan bentuk tubuh yang terjadi pada perempuan.
Hak Menyusui
Pasal 83 pekerja atau buruh yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Mungkin saat ini para ibu menyusui masih bisa menanganinya dengan susu formula yang dijual dipasaran, tapi seolah tidak memberikan hak bagi para ibu yang ingin menyusui asi ekslusif untuk anak-anaknya. Pengusaha terkadang tidak aware terkait hak tenaga kerja perempuan sehingga banyak haknya  yang diabaikan baik oleh pengusaha atau pemerintah.Â
Perempuan yang bekerja sepertinya harus kuat  karena tidak adanya pemenuhan perlindungan, keselamatan dan juga hak yang harusnya diberikan oleh para penguasa dan pengusaha. Perempuan harus rela menahan segala bentuk kekerasan dan rasa sakit yang dirasakannya hanya untuk bertahan di dunia kerja. Bukan karena pasrah akan apa yang terjadi, tapi kebutuhan kehidupan yang membuat mereka dapat bertahan hingga saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H