Aku mungkin tidak diinginkan almarhumah nenekku ketika lahir. Baginya, cucu laki-laki adalah segalanya. Jadi, dia kecewa saat aku lahir sebagai perempuan.
Puji Tuhan! Ibu pernah bercerita, bapak dan ibu menganggap aku adalah anak pembawa keberuntungan bagi mereka. Sebelum aku lahir dan sampai usiaku tiga bulan, mereka dan kakak perempuanku tinggal di rumah petak yang sumpek.
Ketika aku berusia tiga bulan, mereka sanggup membeli kios kecil-kecilan di dekat rumah petak. Tetapi meskipun kecil, kios itu lebih besar dan luas dari rumah petak itu.
Saat usiaku sekitar lima tahun, mereka mampu membeli rumah luas berukuran dua ratus dua puluh lima meter persegi. Kami hidup bahagia di sana. Bercanda gurau layaknya keluarga yang tidak pernah mengalami masalah.
***
Suatu hari. Entah karena mimpi atau mengigau, aku berteriak kalau ada orang yang mengambil sepeda ontelku. Sampai-sampai, orang tuaku melapor polisi tentang pengambilan sepeda itu.
Waktu aku masuk ke kamar, ternyata sepeda ontel itu masih di sana. Aman terkendali. Aku jadi malu dibuatnya.
***
Beberapa hari kemudian, ada teman polisi itu bertanya. "Katanya sepeda ontelmu hilang? Kok, bisa manaikinya sekarang?" Orang itu bertanya sambil mengernyitkan dahi.
Pertanyaan itu membuat aku malu. Lalu, aku tersenyum dan menjawabnya. "Ternyata tidak hilang, Pak. Saya hanya mengigau kemarin." Ya, itulah kebiasaanku. Tersenyum saat malu.
***
Ada hal lucu lainnya. Aku pernah memiliki seorang sahabat. Saking nakalnya diriku, sahabatku itu sering kubuat kesal. Misalnya saat dia menemukan pewarna makanan yang kubuang, aku mengambilnya kembali.
Anehnya, yang dibela kakakku bukannya diriku. Melainkan sahabatku. Mungkin, saat itu memang aku tidak layak untuk dibela. Aku sadari kesalahanku.
Sahabat itu langsung memberikan pewarna makanan dan memilih pulang karena kesal akan sikapku. Dia meninggalkan aku dan kakak.
***
Setelah beberapa lama sahabatku kembali mau berteman denganku. Eh, tidak lama kemudian malah terjadi perselisihan. Saat itu, aku mengambil bibit bunganya. Lalu, dia mengira akulah yang merusak bunga yang mekar di sana.
Aku pun menjelaskan kalau bukan diriku yang merusak bunga-bunga itu. Hanya memetik benih, agar ada bunga yang sama di belakang rumahku. Lalu kami kembali akrab lagi.
--
Kalau mengingat hal-hal itu. Baik hal konyol, maupun perihal nenek tidak mau menerimaku sampai aku dianggap sebagai pembawa keberuntungan, aku jadi sangat bersyukur. Tuhan tidak pernah meninggalkanku. Dia memberi ampun padaku atas semua kesalahan baik kepada sahabat, kakak, adik, orang tua maupun orang lain.
Tuhanlah yang membuat orang tuaku beruntung. Bukan aku. Siapakah aku, hingga bisa membuat mereka beruntung. Aku hanya debu dan abu.
--
Karanganyar, 7 Oktober 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H