Mohon tunggu...
Asti Prasetyawati
Asti Prasetyawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis lepas

Penulis merupakan pelayan publik yang sedang menempuh pendidikan lanjutan pada program Magister Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tinjauan Perspektif Etika Komunikasi Persuasif pada Kampanye Pilpres 2019 Jokowi-Ma'ruf

14 Juli 2021   15:09 Diperbarui: 14 Juli 2021   17:55 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kampanye putih Jokowi-Ma'ruf (sumber: Kompas.com, 7 April 2019)

Komunikasi merupakan hal esensial dalam kehidupan manusia. Komunikasi digunakan untuk menyampaikan ide/gagasan tertentu kepada orang lain. Selain itu, komunikasi juga sering digunakan manusia untuk mempengaruhi pola pikir, sikap, dan tindakan orang lain (Alfani, 2015). Begitu juga dalam kehidupan politik dimana komunikasi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan partai politik dalam mencapai tujuannya. Komunikasi politik ini melibatkan aktor politik seperti pemerintah, partai politik, dan kelompok-kelompok tertentu, dilakukan untuk memasarkan nilai-nilai politik, memiliki pengaruh terhadap masyarakat luas, serta memiliki arah komunikasi yang bergantung pada situasi yakni bisa mengarah pada kebaikan dan juga pada propaganda atau hoaks.

Menurut Maicas (1995), komunikasi politik mengandung elemen-elemen yang disengaja dan bersifat persuasif. Melalui komunikasi politik persuasif, seseorang mampu mengubah pola pikir orang lain terkait pandangan politiknya dalam kehidupan berkelompok, atau dalam hal ini; kehidupan bernegara. Richard Johannesen (1989) mengelompokkan enam perspektif untuk menganalisis dan mengevaluasi etika persuasi dalam komunikasi politik, yaitu perspektif religius/agama, perspektif sifat manusia, perspektif politik, perspektif situasional, perspektif hukum, dan perspektif dialogis.

Komunikasi persuasif tentu juga dilakukan oleh tim kampanye pemenangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin yang saat ini telah menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019 - 2024. Pada kampanye pilpres tahun 2019, tim kampanye Jokowi membuat slogan “putih itu kita” untuk menegaskan komitmen Jokowi dalam mengedepankan politik kebenaran dan sebagai bentuk kekuatan moral melawan politik hitam. Slogan ini dibuat dengan perencanaan khusus sebagai bentuk kampanye kreatif agar dapat mencapai tujuan komunikasi politik tim Jokowi, yaitu pemenangan pemilu 2019.

Slogan “putih itu kita” banyak digaungkan oleh Jokowi dan timnya ketika melakukan kampanye di berbagai daerah di Indonesia. Untuk mendukung slogan tersebut, Jokowi selalu menggunakan baju putih saat berkampanye. Warna putih digunakan sebagai bentuk kontras dari warna hitam yang sarat akan politik hoaks dan fitnah. Melalui perspektif agama, persuasi dengan cara ini dianggap sebagai hal yang baik karena sejalan dengan penilaian moral berdasarkan nilai-nilai ketuhanan yaitu tidak berkata bohong, tidak melakukan fitnah, dan tidak memberikan kesaksian palsu. Selain itu, baju putih juga merupakan simbol kesucian dan kebersihan jiwa. Sehingga dapat dikatakan bahwa melalui perspektif religius, slogan “putih itu kita” merupakan teknik persuasi yang beretika baik.

Melalui perspektif sifat manusia, slogan “putih untuk kita” memberikan ruang bagi rakyat selaku audiens untuk menentukan sikap politiknya secara pribadi. Rakyat bebas menentukan apakah mau mendukung sistem politik putih yang mengedepankan politik kebenaran atau sistem politik hitam yang dipenuhi dengan fitnah dan hoaks. Penggunaan slogan ini juga diimbangi dengan kalimat-kalimat persuasif lainnya yang selaras dengan misi komunikasi politik. Kebanyakan kalimat pendukung yang digunakan adalah kalimat kontras yang membedakan warna putih (warna yang dipakai Jokowi-Ma’ruf) dengan warna hitam (warna jas yang digunakan oleh Prabowo-Sandi sebagai lawan politiknya).

Melalui perspektif politik, nilai dan prosedur yang dibawa oleh tim Jokowi melalui slogan ini dianggap memiliki implikasi baik bagi calon presiden dan sistem politik Indonesia secara lebih luas. Sejatinya, tidak ada warga negara yang menginginkan sistem politik yang kotor dan dipenuhi kebohongan, oleh karena itu slogan “putih itu kita” dengan menganalogikan putih sebagai sikap yang bersih dan jujur dapat mendukung persuaders untuk dapat menghimpun kepercayaan dan dukungan dari audiensnya.

Berbeda lagi dengan perspektif situasional dimana penggunaan slogan “putih itu kita” ini disusun secara sengaja untuk dapat menyesuaikan dengan kondisi dan situasi Indonesia saat itu. Pada tahun 2019, Indonesia sedang terancam dengan adanya padangan-pandangan diskriminatif suku dan sentimen agama. Warna putih dianggap sebagai kombinasi semua warna yang secara tidak langsung juga memberikan arti bahwa “Jokowi hadir untuk semua”, tanpa membeda-bedakan suku dan agama. Teknik persuasi ini dapat memenuhi harapan penerima pesan sekaligus dianggap sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini oleh penerima pesan. Dengan demikian, secara situasional penggunaan slogan ini dianggap sebagai teknik persuasi yang memenuhi etika.

Berdasarkan perspektif hukum, kegiatan kampanye putih Jokowi ini tidak melanggar hukum, yang berarti dapat digolongkan ke dalam teknik persuasi yang beretika. Berbagai kegiatan kampanye dengan tema “putih itu kita” terpantau telah dilakukan secara tertib dan sesuai dengan peraturan kampanye yang berlaku. Kegiatan ini juga tidak menimbulkan kerugian tertentu bagi orang lain.

Terakhir, melalui perspektif dialogis yang memandang komunikasi sebagai sarana untuk berkomunikasi dua arah sejalan dengan kampanye terbuka yang dilakukan Jokowi. Melalui kampanye terbuka ini, Jokowi dan timnya menyampaikan gagasan secara langsung kepada masyarakat luas melalui mekanisme kampanye putih yang digelar secara akbar. Untuk menutup kampanye putih ini, Jokowi juga menggelar Konser Putih Bersatu di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, sebagai wadah ekspresi para pendukung Jokowi untuk memutihkan GBK. Dengan begitu, kampanye putih Jokowi telah memenuhi inti dari perspektif dialogis yaitu mewadahi komunikasi dua arah antara komunikator dengan penerima pesan.

Berdasarkan uraian analisis di atas, kampanye putih Jokowi-Ma’ruf pada pilpres 2019 dapat dikatakan memenuhi kriteria sebagai komunikasi politik yang sukses dalam menerapkan teknik persuasi yang baik. Hasil dari evaluasi melalui keenam perspektif teknik persuasi pun menunjukkan bahwa kampanye tersebut dapat digolongkan ke dalam komunikasi politik yang beretika. Hasilnya, pesan politik dapat tersampaikan dengan baik dan pada akhirnya membawa tim Jokowi menuju kemenangan Pilpres 2019 dengan perolehan suara 55.50% (bbc.com, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan komunikasi yang baik dengan memenuhi kriteria dan perspektif etika akan berbanding lurus dengan dampak dan efek komunikasi yang akan didapatkan.

Sumber:

Alfani, H. (2015). Political Communication Channel and The Phenomenon of Political Communicators in Indonesia. Communication Sphere, 1(1), 33–41.

Johannesen, R. L. (1989). Perspectives on Ethics in Persuasion. Persuasion: Reception and Responsibility, 39–70. 

Maicas, M. P. i. (1995). The Ethics of Political Communication. European Journal of Communication, 10(4), 475–495.

BBC Indonesia diakses tanggal 19 Juni 2021

Kompas.com diakses tanggal 14 Juli 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun