Mohon tunggu...
Astini pgsd uns
Astini pgsd uns Mohon Tunggu... -

tetap semangat dalam menjalani hisup ini,,

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Maaf yang Sesungguhnya

3 Januari 2011   03:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:01 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meminta maaf mungkin saja hal yang paling mudah di dunia ini. Meminta maaf hanya perlu keberanian hati, kemauan diri. Beda halnya apabila kita memberi maaf, banyak rasa yang akan membungkam mulut kita untuk sekedar mengatakan “kumaafkan”. Rasa sakit, rasa marah, benci, ketidaksudian seolah bercampur. Tidak cukup menjadi orang berhati mulia, perlu sikap seorang ksatria untuk memafkan semua yang telah orang lain lakukan pada kita. Orang-orang terebut adalah orang yang akan membalas dengan senyum, mendoakan ketika ia tersakiti oleh orang lain, juga mungkin saja ia malah mendoakan yang telah menyakitinya itu agar menjadi orang yang tak akan pernah menyakiti lagi sepanjang hidupnya. Atau mungkin dalam perkataannya ia berdoa “cukuplah aku yang tersakiti olehnya, dan aku lah yang terkahir” . Orang-orang yang seperti itu adalah orang dengan hati paling lapang menerima pengakuan kesalahan orang yang telah menyakitinya. Mungkin selapang dan seluas langit biru.

Namun ada masalah ketika kita merasa bersalah pada diri sendiri. Entah mungkin karena kebodohan kita hingga orang lain yang meenderita, mungkin karena ketidaktahuan kita orang-orang terdekat menjadi terbebani. Kita biasanya tak mudah memaafkan diri sendiri, terus menyalahkan diri sendiri tanpa henti. Jika karena sesuatu yang telah kita lakukan telah terjadi, dan tak kan pernah bisa kembali. Kita mungkin hanya bisa menangis, meratapi ketololan kita hingga mencelakakan orang lain. Kita berpikir tak akan pernah memaafkan diri kita sendiri. Tak akan pernah!

Atau mungkin kita malah bersikap apologis, mengaku salah tanpa memandang yang lain. Tanpa memandang sebab, akibat dan hikmah yang kita bisa lihat. Mungkin dalam hati, kita akan berteriak “ aku bodoh! Aku bodoh banget! Aku salah! Aku yang salah! Cuma Aku yang salah!

Sungguh maaf bukanlah sebuah kata yang mencerminkan teriakan-teriakan berulang “aku salah” atau sikap-sikap yang tersebut di atas. Tapi maaf adalah sebuah perkataan yang tulus, berasal dari hati yang kita ungkapkan pada orang yang kita sakiti. Bukan sekedar ungkapan kosong tanpa didasari pengkajian-pengkajian apa yang telah kita perbuat dan akibat pasca perbuatan kita. Maaf adalah kata yang keluar dari lisan kita karena terdorong kesimpulan-kesimpulan yang kita peroleh dari perbuatan kita, kata yang keluar karena terdesak pemikiran bahwa setelah melakukan perbuatan ini, tak akan pernah kita mengulanginya lagi. Maaf adalah sebuah perkataan agar kita bias lebih baik, dengan janji dan bukti yang telah kita simpulkan dari kesalahan-kesalahan kita.

Pada akhirnya semoga maaf kita, bukan lagi sekedar apologi tanpa substansi. Wallahu’alam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun