Mohon tunggu...
Asti Aura Lestari
Asti Aura Lestari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia

Learn to live and live to learn.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mengulas Makna Ketidakberdayaan pada Puisi Bayi di Dalam Kulkas Karya Joko Pinurbo

21 Desember 2023   22:04 Diperbarui: 22 Desember 2023   10:30 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://soalmatpel.blogspot.com

Sastra menurut Sumardjo & Saini (1997: 3-4) adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan menggunakan bahasa. Karya sastra mencakup berbagai jenis tulisan seperti puisi, prosa fiksi (cerita pendek, novel, cerpen), drama, esai, dan banyak lagi. Karya sastra tidak hanya bertujuan untuk menghibur, tetapi juga untuk menyampaikan pesan, mengungkapkan perasaan, ataupun menggambarkan keadaan sosial, budaya, atau psikologis pada saat penciptaannya. Hal ini sering kali memerlukan imajinasi, pengalaman, dan pemahaman mendalam tentang manusia dan masyarakat.

Bayi di Dalam Kulkas merupakan sebuah judul puisi milik penyair terkenal Indonesia yakni Joko Pinurbo atau kerap disapa Jokpin. Jokpin lahir di Sukabumi pada 11 Mei 1962. Ia menyelesaikan pendidikan terakhirnya di IKIP Sanata Darma Yogyakarta pada tahun 1987 dan kemudian menjadi tenaga pengajar di sana. Sejak kecil, Jokpin memang sudah gemar membaca dan menulis. Ia mulai tertarik pada puisi setelah membaca karya-karya Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad. Namun, selama 20 tahun, ia hanya menjadi pengamat dalam dunia perpuisian karena saat itu ia merasa belum bisa menulis puisi.

Lalu, Jokpin mulai melebarkan sayapnya di dunia kepenulisan puisi pada tahun 1999 dengan membukukan kumpulan puisinya yang berjudul Celana. Judul lainnya yang terkenal yaitu Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Surat Kopi (2014), dan masih banyak lagi. Jokpin juga telah mendapat banyak penghargaan atas karya-karyanya. Ia meraih Penghargaan Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta pada 2001, juga memenangkan Sih Award (2001), Hadiah Sastra Lontar (2001), serta menjadi tokoh sastra versi majalah Tempo (2001, 2012). Ia juga sudah beberapa kali diundang dalam berbagai acara internasional, seperti membaca puisi di Festival Puisi Antarbangsa Winternachten Over-zee 2001 di Jakarta dan Festival of Arts Winternachten 2002 di Belanda. Selain itu, ia juga pernah diundang di Indonesian Poetry Forum 2002 di Jerman dan juga di Festival Puisi Internasional-Indonesia 2002 di Solo.

Sejak saat itu, Jokpin dikenal sebagai penyair yang 'nyeleneh' dalam menulis puisi. Jika penyair lain menggunakan wujud estetika seperti senja dan hujan sebagai inspirasi puisinya, Jokpin memperoleh inspirasi berpuisi dari benda sehari-hari seperti celana, kulkas, bahkan sarung. Jokpin juga dikenal memiliki ciri khas puisi dengan memadukan humor, narasi, dan ironi, sama halnya dengan puisinya yang berjudul Bayi di Dalam Kulkas

Alasan dipilihnya puisi Bayi di Dalam Kulkas ini adalah karena judulnya yang unik dan membuat penasaran. Selain itu, puisi ini juga memiliki makna tersendiri yang dapat menyentuh hati para pembacanya. Puisi Bayi di Dalam Kulkas merupakan salah satu dari kumpulan puisi di dalam buku karya Jokpin yang berjudul Selamat Menunaikan Ibadah Puisi: Sehimpun Puisi Pilihan (2016). 

Bayi di Dalam Kulkas

Karya: Joko Pinurbo

Bayi di dalam kulkas lebih bisa

mendengarkan pasang-surutnya angin,

bisu-kelunya malam, dan kuncup-layunya

bunga-bunga di dalam taman.

Dan setiap orang yang mendengar tangisnya

mengatakan, “Akulah ibumu. Aku ingin

menggigil dan membeku bersamamu.”

“Bayi, nyenyakkah tidurmu?”

“Nyenyak sekali, Ibu. Aku terbang

ke langit, ke bintang-bintang, ke cakrawala,

ke detik penciptaan bersama angin

dan awan dan hujan dan kenangan.”

“Aku ikut. Jemputlah aku, Bayi.

Aku ingin terbang dan melayang bersamamu.”

Bayi tersenyum, membuka dunia kecil

yang merekah di matanya, ketika Ibu

menjamah tubuhnya yang ranum

seperti menjamah gumpalan jantung

dan hati yang dijernihkan

untuk dipersembahkan di meja perjamuan.

“Biarkan aku tumbuh dan besar di sini, Ibu.

Jangan keluarkan aku ke dunia yang ramai itu.”

Bayi di dalam kulkas adalah doa

yang merahasiakan diri

di hadapan mulut yang mengucapkannya.

(1995)

Jika membicarakan bayi, maka yang ada di benak kita merupakan sesosok manusia kecil yang baru lahir ke dunia, lugu dan menggemaskan. Jika diartikan secara denotatif, tentu kata 'bayi di dalam kulkas' merupakan penjabaran yang membingungkan, bahkan mengerikan. Karena pada umumnya, kulkas merupakan benda untuk menyimpan makanan dan minuman. Lantas, apa maksudnya bayi di dalam kulkas?

Di balik judulnya yang unik, puisi Bayi di Dalam Kulkas memiliki makna yang sangat mendalam dan menggugah perasaan pembaca. Melalui kacamatanya, Jokpin sebagai penyair mengekspresikan sebuah ketidakberdayaan dalam melawan kekejaman dunia dengan menggunakan gambaran seorang bayi yang ditempatkan di dalam kulkas. Namun, di sisi lain, puisi ini juga dapat diinterpretasikan sebagai kritik terhadap kondisi sosial dan politik.

Bayi secara harfiah merupakan sosok yang lemah. Dalam konteks ini, bayi dapat diartikan sebagai individu yang lemah dan tidak berdaya. Bayi pada puisi ini juga mencerminkan sosok rakyat kecil. Bayi (rakyat) ini berada di dalam kulkas, yang dapat dimaknai sebagai tempat yang dingin dan terisolasi dari dunia luar. Kulkas juga dapat diartikan sebagai mimpi-mimpi bayi (rakyat) yang terkubur dan membeku, hanya menjadi angan-angan belaka. Lalu, Jokpin juga menambahkan sosok 'Ibu'. Sosok Ibu dapat diartikan sebagai harapan yang sangat dibutuhkan sang bayi. Namun, sosok Ibu di sini bersifat palsu, ia sebenarnya tidak peduli dengan sang bayi dan hanya ingin memanfaatkannya. Sama halnya dengan oknum-oknum pejabat yang haus kekuasaan, seringkali tidak memenuhi ekspektasi dan hanya memanfaatkan rakyatnya. Maka dari itu, Ibu di sini juga menjadi simbol untuk pejabat/pemerintah. Bayi (rakyat) yang tidak berdaya awalnya diyakinkan Ibu (pejabat) bahwa ia berada di pihaknya, ia ingin ikut menggigil dan membeku, serta ingin ikut terbang melayang bersama sang bayi (ingin merasakan susah dan senang bersama). Namun, pada akhirnya, sang Ibu menjamah tubuh ranum bayinya untuk dipersembahkan di meja perjamuan (dimanfaatkan). Bayi yang lemah ini pun tidak dapat melawan. Ia memilih diam dan tidak ingin keluar dari kulkas. Ia ingin tumbuh dan besar di kulkas itu, ikut membeku bersama angan-angannya.

Pada karya ini, Jokpin menyelipkan makna yang sangat mendalam namun tetap mengemasnya dengan bahasa dan majas metafora yang dapat dimengerti pembaca. Hal ini menciptakan kesan estetis dalam karyanya. Selain itu, pada karya ini terdapat dialog antara bayi dan ibunya. Bayi pada umumnya belum bisa berbicara, tetapi Jokpin memberi gambaran seolah bayi bisa berbicara dan mengobrol layaknya orang dewasa.

Situasi bahasa yang terdapat pada puisi Bayi di Dalam Kulkas yakni keduanya (bayi dan ibu) sebagai aku lirik karena terdapat percakapan timbal balik yang dilakukan oleh kedua tokoh. Namun, yang lebih difokuskan di sini adalah tokoh 'bayi'. Perasaan aku lirik (bayi) yang dapat dirasakan yakni perasaan pasrah akan keadaan. Lalu, ada pula lakuan yang dilakukan oleh aku lirik (bayi) yakni tersenyum, menangis, dan berbicara. Sedangkan lakuan Ibu yaitu mendengarkan sang bayi yang menangis, berbicara kepada bayi, dan menjamah tubuh ranumnya. Sementara itu, ruang dan waktu pada puisi ini tidak dijelaskan secara detail, namun dilihat dari judulnya, dapat dikatakan Jokpin mengambil simbol kulkas sebagai ruang untuk puisinya ini.

Berdasarkan analisis organisasi penggunaan bahasa yang dilakukan, puisi Bayi di Dalam Kulkas tidak memiliki bunyi khusus. Selain itu, susunan kalimat (sintaksis) pada puisi ini juga dapat dianalisis. Pada puisi ini, terdapat narasi dan dialog antara bayi dan Ibu. Ada pula pengulangan kata dan imbuhan seperti pada larik 'Nyenyak sekali, Ibu. Aku terbang ke langit, ke bintang-bintang, ke cakrawala, ke detik penciptaan bersama angin dan awan dan hujan dan kenangan'. Pada larik tersebut, terdapat pengulangan imbuhan ke- dan pengulangan kata 'dan'.

Puisi Bayi di Dalam Kulkas memiliki bentuk sajak yang unik. Puisi ini terdiri dari 5 bait dengan 25 larik. Puisi ini dibacakan dengan intonasi atau irama yang tenang. Puisi ini juga tidak memiliki pola khusus seperti perulangan dalam setiap lariknya. Jokpin menata tipografi puisinya rata kiri, namun satu larik tidak tentu berisi satu kalimat. Setiap lariknya ada yang diakhiri tanda titik dan ada yang tidak. Karena jika diperhatikan, Jokpin menyusun satu kalimat utuh dalam beberapa larik puisi. Pada puisi ini, Jokpin lebih memerhatikan makna dan esensi daripada tipografinya.

Joko Pinurbo sangat menekankan makna pada puisinya yang berjudul Bayi di Dalam Kulkas ini. Ia memadukan narasi dan ironi yang dikemas rapi dengan bahasa yang mudah dimengerti. Puisi ini dapat diinterpretasikan sebagai bentuk ketidakberdayaan dan juga isu sosial politik. Namun, layaknya karya sastra yang bersifat abstrak dan simbolis, tafsiran puisi ini bisa berbeda-beda sesuai dengan perspektif pembacanya. Puisi ini dapat memberikan kebebasan untuk berbagai pemahaman dan interpretasi yang berbeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun