Mohon tunggu...
Inuy
Inuy Mohon Tunggu... -

simply girl

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Mana Janjimu, Sayang?

22 Juni 2012   11:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:40 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia duduk ditepian jalan itu, matanya melirik ke kanan, kiri, depan, belakang. Menyadari hanya dirinya yang datang sendiri. “seharusnya aku juga seperti mereka”. Dia masih duduk di sana, pandangannya hampa. Dia seolah mengamati ilang-ilang diseberang sana, namun kenyataanya tidak. Dia menoleh ke jalan setapak itu, melirik jam mungil di tangan kirinya. Sejam sudah dia berdiam diri di sana, kelihatan hanya mengamati ilang-ilang itu.

Pandangannya semu. Semilir angin meniup rambutnya yang tergerai panjang. Kepalanya menunduk, menatap sesuatu dibawah sana. Kehidupan mahkluk kecil itu, merekapun hidup bersama di sana. Diselipkannya rambut panjang itu, ke belakang telinganya. Berharap bila ada yang menyerukan namanya dia akan mendengarnya dengan jelas.

Kembali diliriknya jam kecil itu, dua jam sudah dia di sana. Masih tak ada seruan atas namanya terdengar. Tak ada langkah kaki di jalan setapak itu yang mendekati dirinya. Setetes air jatuh tepat di keningnya, dua tetes dan kini semakin banyak. Hujan. Dia masih duduk disana, berharap tangan itu akan membawakannya payung lagi, atau hanya sekedar meminta dirinya tuk berteduh. Dia masih berharap hal itu akan terulang lagi. Terdengar suara langkah kaki menghampirinya, nenek tua renta itu menawarkan payung tuk dirinya. Dia hanya tersenyum, senyum yang tiada tulus, dan menggelengkan kepalanya.

“Aku hanya mengharapkan tanganmu yang mengulurkan payung itu. Suaramu yang inginku dengar, memintaku tuk berteduh”Air matanya berlinang, mengalir bersama air hujan itu.

“Akankah kau tetap membiarkanku kedinginan dibawah hujan ini. Kau yang selalu menghangatkanku dikala aku kedinginan. Kau yang selalu menghapus air mataku, ketika dia mengalir dipipiku, mengembalikan senyum itu ke bibirku. Kau yang selalu menemaniku dikala aku sakit. Selalu mengingatkan aku sudah waktunya makan siang.”

Namun kini, dia hanya sendiri. Tak ada yang datang tuk menghangatkan tubuhnya, Tak ada tangan itu, tuk menghapus air matanya. Dia hanya terbaring sakit sendiri, tanpa ada orang itu di sisinya. Tak ada lagi yang mengingatkanya tuk makan siang.

“ Tak pernah terpikir olehku

Tak sedikitpun kubayangkan

Kau akan pergi tinggalkan aku sendiri

Begitu sulit ku bayangkan

Begitu sakit ku rasakan

Kau akan pergi tinggalkan aku sendiri”

Hatinya perih, mengalun bersama alunan nada itu. “Dulu kau berjanji ditempat ini, kau akan selalu menjagaku, akan selalu membuatku tersenyum. Lalu kenapa kau membiarkan aku menangis saat ini. Kenapa kau mengingkari janjimu? Aku benci kau…. Ku benci bila kau melakukan hal ini padaku.” Air matanya mengalir deras. “Aku merindukanmu. Apa kau mendengar jeritanku, dari sudut dunia sana?”

“Dibawah batu nisan kini kau telah sandarkan

Kasih sayang kamu begitu dalam

Sungguh ku tak sanggup ini terjadi

Karna ku sangat cinta”

“Inilah saat terakhirku melihat kamu

Jatuh air mataku menangis pilu

Hanya mampu ucapkan selamat jalan kasih”

“Satu jam saja ku telah bisa

Sayangi kamu, kamu, kamu dihatiku

Namun bagiku melupakanmu

Butuh waktuku seumur hidupku”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun