Seorang kawan yang hidup dan tinggal di Istanbul Turki beberapa waktu lalu membagi sebuah data menarik. Sebuah survei yang dilakukan lembaga tempatnya bekerja tentang persepsi publik negeri di Semenajung Anatolia tersebut terhadap situasi politik dan pemerintahan di negerinya.
Saya baca dan temukan banyak hal menarik di dalamnya, yang saya pikir akan bagus dibagi sebagai pembelajaran bagi publik Indonesia yang sedikit banyak mempunyai kemiripan dengan publik Turki. Sebagai sama-sama negara dengan penduduk mayoritas muslim, meski secara sistem negara tidak menganut bentuk teokrasi. Juga sebagai negara demokratis dengan multipartai dan kontestasi ideologi antarnya untuk meraih dukungan publik. Serta juga kemiripan tentang peran militer di ranah publik, khususnya politik, serta tarik ulur antara kekuatan masyarakat madani yang pro demokrasi dan sekulerisme dengan kelompok agamis--ekstrim bahkan radikal--yang menginginkan agama jadi panduan politik bangsa.
Survei yang dilakukan Aksoy Aratrma ini berlangsung antara 16-18 Juni 2021, dengan jumlah responden 1.067 sample tersebar di seluruh penjuru Turki dengan 95% confidence interval dan 3% margin of error. Berikut beberapa point hasil survei yang menurut saya layak disimak.
Preferensi Pilihan Partai Politik
Terlihat bahwa mayoritas responden (36,6%) adalah pemilih AKP (Justice and Development Party) yang adalah partai berkuasa saat ini di Turki sekaligus partai politik pengusung utama Presiden incumbent, Recep Tayyip ErdoÄŸan. Disusul dengan partai-partai lain, terutama oposisinya seperti CHP (Republican People's Party) dan HDP (Peoples' Democratic Party).
Preferensi Pilihan Presiden dan Sistem Presidensial
Berbicara tentang sistem, Turki mengubah sistem pemerintahannya dari Parlementer menjadi Presidensial pada referendum 16 April 2017 lalu. Ini adalah keberhasilan politik AKP yang adalah partai politik Presiden ErdoÄŸan untuk menguatkan genggaman politiknya. Namun, apakah publik negeri tersebut sekarang puas dengan perubahan tadi?
Tentunya ini bisa dimaklumi mengingat berbagai rekam jejak Presiden ErdoÄŸan dalam menjalankan pemerintahannya yang cenderung represif terhadap kebijakan berekspresi publik, tekanan terhadap oposisi, media massa, NGO dan berbagai pihak yang tidak mendukungnya. Namun, di kalangan pendukung Erdogan, dukungan terhadap Presiden satu ini masih relatif kuat.Â
Pembelajaran Untuk Publik Indonesia
Beberapa hal yang bisa kita jadikan pembelajaran dari kasus di Turki berdasar survei di atas adalah sebagai berikut.
- Partai Politik musti menguatkan tak hanya ideologinya untuk menarik perhatian dan dukungan massa dan calon pemilih. Pilihan ideologi sangat menentukan kelompok publik mana yang bisa ditarik jadi pendukung.
- Ideologi berbasis agama (Islamisme dalam kasus Turki) ternyata masih kuat dipakai sebagai magnet penarik dukungan publik. Hal serupa nampaknya berlaku juga di Indonesia.
- Kuatnya dukungan publik atas suatu itu, e.g. perubahan sistem Parlementer ke Presidensial, menunjukkan 'kegagalan' partai-partai di parlemen untuk menunjukkan demokrasi memang secara riil bermanfaat bagi kehidupan publik. Sehingga ketika ada dorongan menyerahkan kekuasaan ke tangan presiden (yang kuat), maka publik terbuai. Artinya kita butuh menguatkan kerja nyata para anggota dewan perwakilan kita jika tak mau fenomena serupa terjadi di Indonesia.
Demikian menurut saya paparan singkat berdasar hasil survei dari lembaga di Turki tersebut dan apa yang bisa kita pelajari darinya. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H