Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saya Khilaf, antara Struktur dan Agensi

24 Februari 2018   19:24 Diperbarui: 25 Februari 2018   05:15 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa alasan para koruptor atau pelaku kejahatan saat ketahuan? 

Jika itu di Indonesia, hampir sebagian besar akan menyebut 'saya khilaf'. Seakan, mereka tak sadar sejak awal bahwa perbuatannya salah dan melanggar hukum.

Seakan dengan kata sakti ini, tanggung jawab jadi hilang. Perbuatan tak menyisakan konsekuensi. Melepaskan diri dari kausa sebab akibat.

Tak hanya untuk hal-hal melanggar hukum. Untuk berbagai keputusan sehari-hari, besar maupun kecil, jamak dari kita menyandarkan pilihan bukan dengan akal sehat. Namun dengan kebiasaan, kesepakatan kelompok atau terkadang ikut-ikutan lingkungan sekitar.

Kenapa banyak dari kita buang sampah sembarangan? Banyak akan bilang karena orang lain melakukan. Kenapa kita menikah, banyak yang bilang karena kerabat, kawan dan kenalan melakukan. Kenapa dan kenapa yang lain, taruhan jawabnya banyak karena semua pembenaran di luar diri sendiri.

Jika Anda menemukan hal ini dalam keseharian, jangan kaget. Anda tak sendirian. 

Dalam kajian sosiologi, ada dua pandangan yang membentuk perilaku manusia. Struktur dan agency. Pandangan pertama percaya struktur sosial menentukan perilaku manusia di dalamnya. Struktur bisa berupa pola aturan dan kesepahaman material,  maupun kultural (i.e. norma, kebiasaan, tradisi atau ideologi).

Di sisi lain, pandangan kedua menyebut agency--alias manusia--mempunyai kapasitas individual untuk memilih bebas dan menentukan hidupnya sendiri. Free will adalah kata kuncinya.

Di masyarakat seperti Indonesia, nampaknya pandangan pertama lebih banyak kita temui. Meminjam istilah Ferdinand Tonnies, sebagian besar kita hidup dalam ikatan sosial Gemeinschaft, di mana perasaan subyektif dan tradisi jadi elemen utama interaksi kita dengan yang lain. 

Karenanya wajar kalau kita cenderung lebih mudah menyandarkan diri atau menimpakan kesalahan dan tanggungjawab pada sesuatu di luar diri kita--bisa orang lain, aturan, kebiasaan atau bahkan norma agama.

Tengok contoh kasus-kasus sosial yang menghebohkan publik belakangan. Perselingkuhan terjadi, alih-alih merefleksi diri dan hubungan dengan pasangan, timpakan kesalahan pada pihak ketiga dengan label pelakor.

Anak raja dangdut ketauan memakai narkoba, keluarganya serempak menyebut pelaku khilaf. Penyanyi sekaligus host TV dilaporkan melakukan pelecehan seksual sesama jenis mengaku khilaf. 

Jakarta banjir, alih-alih mengatasi dengan kajian infrastruktur, perbaikan kinerja badan pengelola dan kerjasama lintas daerah penyangga, timpakan saja pada curah hujan dan perilaku warga.

Satu hal yang saya temui dan pelajari dari masyarakat di Inggris, sejak kecil mereka diajari menjadi individu aktif. Menjadi agent dengan pilihan, tindakan yang diambil secara logis dan sadar. Serta berani menerima dan menanggung konsekuensinya.

Memang, di permukaan mereka terlihat individualistik, tak peduli orang lain, kurang simpatik, namun di sisi lain, mereka patuh aturan, menjunjung etika dan pastinya, tidak gampang menimpakan kesalahan pada hal di luar dirinya. Setidaknya sebagian besar mereka seperti itu.

Tidak, tidak, saya tidak sedang glorifying masyarakat Barat dan merendahkan masyarakat kita. Saya hanya memperbandingkan implikasi struktur terhadap agency. Tentunya banyak sisi positif dari kuatnya struktur di masyarakat kita, sebagaimana banyaknya sisi negatif dari penuhanan free will dan nilai-nilai individu di masyarakat Barat.

Namun secara personal, saya merasa, banyak yang bisa kita pelajari dari sisi positif agency dengan free will dan nilai individual ini. Khususnya di sisi kemampuan menentukan pilihan secara logis dan merdeka dan kemauan untuk bertanggungjawab atas konsekuensi dari pilihan dan tindakan yang dipilih.

Sehingga, tidak kita dengar lagi politisi tertangkap korupsi dan mengatakan 'saya khilaf', atau perselingkuhan menimpakan kesalahan semata ke pelakor, atau banjir ke curah hujan dan masih banyak lagi.

Selamat berakhir pekan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun