Jakarta banjir, tampaknya bukan kabar heboh bagi sebagian besar kita. Khususnya yang pernah dan tengah tinggal di Ibu Kota. Kota Megapolitan satu ini tampaknya tak terpisahkan dengan banjir, dan kita pun dipaksa mahfum dibuatnya.
Banyak penjelasan sebab Jakarta (masih) banjir. Mulai dari posisinya di tepi laut, infrastruktur dan tata kota yang tidak memperhatikan ekologi, curah hujan dan kiriman air dari kawasan penyangga sekitar, hilangnya kawasan hijau hingga keberadaan permukiman kumuh di sepanjang sungai plus kebiasaan buang sampah sembarangan di sungai dan saluran air.
Saya ingin fokus ke poin terakhir, tentang kebiasaan buang sampah di sungai. Namun, alih-alih menunjuk hal itu sebagai penyebab banjir semata, saya ingin mendiskusikan akar penyebab kebiasaan buruk tersebut.
Adalah Roedyanto Soesilo, dosen arsitektur Unika Soegijapranata yang menganalisis kebiasaan buang sampah di sungai ini terkait erat dengan ontologi dan worldview sebagian besar masyarakat urban kita.Â
Dalam kajiannya, Local Wisdom As The Ontological Foundation To Postmodern Urban-Design In A Developing Country, Doktor Filsafat Arsitektur ini menyebut ada kontradiksi antara Jakarta sebagai sebuah kota modern dengan nilai-nilai modernitas yang diusungnya, dengan sebagian besar penghuninya yang masih memegang pandangan dunia berkebalikan dengan nilai modernitas tersebut.
Di satu layer, Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia berlomba membangun bangunan dan infrastruktur modern kelas dunia, menawarkan ceruk-ceruk kehidupan kosmopolitan, namun di layer sekelilingnya, banyak warga kita membangun kawasan tinggal dengan nilai serupa di kampung halamannya. Tentunya, siapa yang hidup dan tinggal di kedua kawasan ini berbeda kelas sosialnya.
Kembali ke perkara buang sampah di sungai, Roedyanto menarik benang merahnya dengan pandangan sebagian masyarakat kita yang secara tradisional mengarahkan fokus ke gunung dan membelakangi sungai atau lautan. Karena, dalam pandangan dunia ini, gunung adalah representasi kekuasaan dan atau Tuhan. Sementara sungai dan laut representasi hal-hal buruk, macam setan.
Pandangan dunia macam ini menjadikan sebagian kita tak menaruh perhatian terhadap sungai. Mengganggapnya remeh dan memposisikannya di belakang, tak hanya secara fisik sebagaimana terlihat dari "aturan" membangun rumah yang membelakangi sungai, hingga kebiasaan membuang sampah dapur bahkan buang air besar di sana.
Sebagaimana terefleksikan dalam lagu anak berikut ini:
"E dayohe teka/Â e gelarno klasa/ e klasane bolong/ e tembela gemblong/ e gemblonge mambu/ e pakakna asu/ e asune mati, e guwako kali ."
Pandangan dunia ini nampaknya terbawa oleh sebagian kita yang hijrah ke kota-kota macam Jakarta. Akibatnya, meski ruang fisik hidup kita di megapolitan, namun perlakuan kita atas sungai masih layaknya di kampung halaman. Salah satu wujudnya, ya buang sampah cukup lempar ke sungai, walau secara logis kita paham akan potensi banjir bandang.
Lalu bagaimana solusinya?
Menurut Roedyanto Soesilo, di luar perkara teknis arsitektur dan tata ruang, butuh adanya pemahaman akan local wisdom macam ini jika ingin mengentaskan perkara banjir Jakarta, khususnya terkait kebiasaan buang sampah di sungai.Â
Tentu penting membuat saluran gorong-gorong, atau kawasan resapan, atau pompa air, namun mengakomodasi pandangan dunia sebagian besar warga urban Jakarta dan mendayagunakannya secara positif untuk meminimalisasi efek kebiasaan buang sampah perlu mendapat perhatian lebih.
Karena sebuah kota yang baik tak hanya kota yang menyediakan ceruk-ceruk modern dengan segala fasilitas untuk warganya yang berpunya, namun juga posibilitas dan layanan publik untuk memberi ruang hidup bagi warga yang tak berada. Ujungnya menciptakan dan menjaga harmoni bagi setiap warga, tak peduli latar belakang sosial dan ekonominya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H