Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Uniknya Masjid-masjid Kuno di Jawa

16 Februari 2018   22:52 Diperbarui: 16 Februari 2018   22:58 2221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Agung Demak. Sumber: Solopos

Mumpung hari Jum'at, saya ingin bicara tentang masjid. Bukan masjid di Inggris, namun masjid di Jawa. Karena bagi saya, masjid-masjid di Jawa, khususnya yang dibangun di masa lalu, senantiasa menarik untuk dikunjungi dan dikaji.

Ada kajian menarik yang ditulis Dr.Eng. Bambang Setiabudi, dosen arsitektur di ITB. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya atas 127 masjid kuno di pulau Jawa yang dibangun antara abad 15 - 19, terdapat beberapa point penting yang bisa kita gunakan untuk memaknai dan memahami masjid-masjid di Jawa. Tak hanya dalam perkara bentuk arsitektural, struktur dan fungsi ruang, namun juga filosofi di baliknya.

Secara umum, terdapat 3 bagian utama dalam struktur masjid di tanah Jawa; ruang peribadatan utama, mihrab (tempat pengimaman) dan atap beserta struktur pendukungnya. Kita akan bahas satu per satu.

Ruang peribadatan adalah bagian utama dan pertama dalam rancang bangun masjid di Jawa. Secara bentuk, sebagian besar masjid kuno di Jawa (81 masjid) mempunyai bentuk ruang berupa bujursangkar. Sisanya berbentuk persegi panjang (14 masjid) dan lain sebagainya. 

Terdapat beberapa interpretasi mengenai alasan bentuk ruang ibadah ini. Dua pandangan besar adalah, bentuk bujursangkar merupakan akulturasi bentuk rumah ibadah pra Islam (Hindu Buddha) di Jawa atau bentuk ini mengacu pada bentuk bangunan masjid di luar Nusantara, khususnya masjid Nabawi di masa awal dan bangunan masjid di Gujarat India.

Mihrab dalam rancang bangun masjid Jawa umumnya berada di sisi barat ruang peribadatan berupa ceruk tempat pemimpin shalat berada. Bentuknya yang menjorok 'merusak' simetri bentuk bujursangkar, namun fungsinya penting sebagai penunjuk arah shalat (kiblat).

Atap masjid di Jawa nampaknya bagian yang paling menarik. Berbeda dengan bentuk atap masjid di belahan dunia muslim lain, yang umumnya berupa kubah, masjid di tanah jawa berupa atap berbentuk piramid bertingkat--antara 2 hingga 5. Beberapa masjid mempunyai hiasan (mustaka) di puncak atapnya, namun sebagian besar tidak.

Atap masjid Jawa nan unik macam ini bisa dikaitkan dengan tradisi bangunan ibadah pra Islam pula. Di mana atap piramid bertingkat umum digunakan dalam bangunan pura, sebagaimana masih bisa dilihat di pulau Bali. Atap piramid bertingkat mempunyai filosofi representasi mahameru, gunung imajiner tempat bertahta penguasa jagad raya.

Di luar soal bentuk atap, yang tak kalah menarik adalah penggunaan tiang penyangga atap itu sendiri. Dalam masjid Jawa, terdapat tiang-tiang penyangga utama, yang disebut soko guru, umumnya terbuat dari batang kayu besar, untuk menahan beban atap di atas ruang peribadatan utama. 

Berdasar penelitian Doktor lulusan Toyohashi University of Technology Jepang ini, 74 masjid kuno di Jawa mempunyai 4 soko guru utama, 4 masjid lainnya menggunakan satu soko guru (soko tunggal), sementara 6 lainnya tanpa soko guru. Beberapa masjid tidak bisa diidentifikasikan jumlah soko gurunya karena sudah mengalami renovasi total.

Bicara soko guru, mungkin banyak dari kita yang ingat kisah soko tatal di Masjid Agung Demak yang dibangun tahun 1479. Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo, alih-alih menggunakan batang kayu utuh, mengumpulkan potongan kayu (tatal), mengikatnya menjadi satu dan menggunakannya sebagai soko guru. Kita masih bisa melihat soko tatal ini tegak menjulang menopang Masjid Agung Demak.

Adalah menarik menyimak bagaimana masjid-masjid kuno di Jawa dibangun oleh para penyebar Islam macam Wali Songo sesuai dengan kondisi alam dan kultur lokal Nusantara. Tak semata-mata menjiplak apa yang ada di tanah Arab, namun mengadopsi kearifan lokal.

Sayangnya, belakangan bangunan-bangunan masjid di sekitar kita, semakin condong mengikuti desain Islam mainstream kontemporer, dengan kubah besar dan menara tinggi. Ada ketercerabutan akar budaya di sana, kalau saya boleh berkata. Meski indah dipandang, namun bagi saya, ikatan emosional antara bangunan tersebut dan manusia di sekitarnya semakin renggang.

Anyway, next time Anda mengunjungi masjid-masjid kuno di sepanjang tanah Jawa, cobalah untuk memperhatikan sejenak bentuknya. Cobalah menyelami soko guru, atap piramida berjenjangnya, atau serambi dan area pemakaman di sekitarnya. Insya Allah, Anda akan temukan rasa berbeda saat beribadah di dalamnya. Karena Anda tahu, masjid-masjid ini dibangun tak hanya dengan landasan religius semata, namun juga budaya dan penghargaan atas manusia-manusia penggunanya.

Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun