Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Garis Meridian di Greenwich dan Ajaran Wali Songo

10 Januari 2018   19:40 Diperbarui: 11 Januari 2018   10:57 1814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ada hal penting bagi ilmu pengetahuan dan kehidupan modern yang disumbangkan Inggris bagi dunia, salah satu yang layak disebut adalah Prime Meridian, alias garis bujur 0 derajat, yang membagi dunia menjadi  dua bagian, belahan bumi Barat dan belahan bumi Timur.

Dan, garis prime meridian ini dibuat melewati satu kota kecil di tenggara London, bernama Greenwich. Penetapan garis meridian utama ini sediri bersamaan dengan pembangunan Royal Observatory, alias Lembaga Observatorium Kerajaan Inggris, oleh Sir George Airy pada tahun 1851. 

Kemudian, pada Oktober 1884, dalam International Meridian Conference di Amerika Serikat, 41 delegasi dari 25 negara di dunia menyepakati penggunaannya secara internasional sebagai prime meridian.

Prime meridian banyak fungsinya, khususnya untuk dunia pelayaran, penerbangan maupun ilmu pengetahuan lain terkait dengan penentuan jam, lokasi, koordinat, arah dan jarak. 

Tentunya kita semua paham--setidaknya mungkin pernah merasakan manfaatnya--saat ditanya jam berapa sekarang di kota Anda. Indonesia, khususnya Jakarta berdasarkan posisinya teradap Greenwich, adalah 7 jam lebih awal, atau kita menyebutnya GMT +7. 

Artinya jika di Jakarta sudah jam 7 pagi, dan Anda sibuk berkendara di tengah jalan atau terjebak kemacetan, kami di Inggris sini masih terlelap tidur karena baru saja tengah malam.

Greenwich Prime Meridian (Dokumentasi Pribadi)
Greenwich Prime Meridian (Dokumentasi Pribadi)
Semua itu mungkin tak terlalu penting  bagi sebagian kita. Apa pentingnya jam, apa pentingnya perbedaan antar dua negara atau wilayah dengan diri kita. Namun, jika kita mau melongok lebih dalam lagi, ada layer lebih utama yang amat penting untuk direnungkan, yaitu waktu.

Betapa waktu, meskipun abstrak, namun amat memengaruhi hidup kita. Segala sisi kehidupan, sadar tak sadar, tersentuh olehnya dan ditentukan karenanya. Bahkan, dari semua hal yang tak pasti di dunia ini, satu hal bisa selalu kita pastikan, yaitu waktu. Ia akan terus berjalan, ia akan terus mengalir, ia pasti akan berlalu.

Dan kita, setiap anak manusia, diberi Yang Kuasa selarik waktu di dunia, yang kita sebut sebagai hidup. Kita mau menghabiskan jatah waktu itu untuk apa, semua balik ke masing-masing individu. 

Ada yang  menghabiskannya untuk bekerja keras membanting tulang, ada yang menghabiskannya untuk mengejar mimpi, ada yang menyia-nyiakannya untuk bermain-main, tak sedikit pula yang bahkan tak sadar kalau hidupnya ada  batas waktunya.

Saya kemudian teringat wejangan klasik para Wali Songo, saat mencoba menyampaikan pentingnya memaknai waktu dalam kerangka pemanfaatannya untuk kehidupan kepada masyarakat Jawa masa itu.  

Sunan Ampel dan Sunan Bonang mengajarkannya lewat rangkaian tembang-tembang Macapat, yang masing-masingnya merepresentasikan fase kehidupan manusia dan apa tujuan hidup seseorang di masing-masing fase  tersebut.

Dari Maskumambang yang bicara tentang janin manusia dalam kandungan, Mijil tentang kelahiran jabang bayi, Kinanthi tentang anak bayi yang dinanti orag tua, Sinom perihal masa kanak-kanak penuh keceriaan, Asmaradana bicara soal hasrat cinta anak muda nan meluap-luap, Gambuh mengenai penyatuan dua insan dalam pernikahan, Dhandanggula bicara tentang suka duka perkawinan, Durma bicara tentang pengabdian manusia bagi masyarakat dan bangsa, Pangkur bicara soal mundur dari persoalan duniawi dan mulai fokus ke spiritualitas, Megatruh mengingatkan akan masa di mana maut mendekat dan ajal hampir terpisah dari raga dan ditutup dengan tembang Pucung di mana ruh terpisah dari raga, meninggalkan dunia dan kembali ke alam keabadian.

Semua itu  adalah pembelajaraan soal waktu dan tentunya soal kehidupan. Hal macam ini, yang kadang terlewatkan, atau bahkan tak disadari dalam kehidupan modern kita yang penuh hingar-bingar keduniaan. Di mana fisik adalah utama, dan pencapaian material jadi prioritas utama. Maka wajar kalau  kita saksikan banyak hal yang tidak semestinya, banyak fungsi terbolak-balik, banyak kekacauan di mana-mana. 

Waktu adalah anugerah luar biasa, namun juga tetenger alias penanda yang tak kalah mengagumkannya. Ia ada dan akan selalu ada. Namun kita, tak selalu awas dengan keberadaannya. 

Hingga saat kita sadar, ia sudah di ujung masa dan kita belum melakukan apa-apa. Jadi, kepada siapa kita akan menyalahkan, jika bukan diri sendiri sebabnya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun