Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sewindu Gus Dur dan Refleksi Kebangsaan

22 Desember 2017   18:43 Diperbarui: 22 Desember 2017   18:50 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sosok KH Abdurrahman Wahid, atau akrab disapa Gus Dur, nampaknya tak akan pernah lekang oleh waktu. Meski sudah hampir 8 tahun sejak kepergiannya, semakin lama, semakin terasa signifikasi pemikiran dan perjuangannya bagi bangsa Indonesia. Apalagi dengan tren belakangan dimana intoleransi dan politik identitas berbasis agama dan isu-isu SARA semakin mengental. Momen haul Gus Dur sewindu ini amat tepat untuk kita bersama berefleksi tentang makna berbangsa Indonesia.

Memaknai Gus Dur bisa jadi kompleks, namun bisa pula sederhana. Gus Dur banyak dipahami sebagai manusia multitalenta sekaligus multitafsir. Memaknai Gus Dur, khususnya dalam konteks kebangsaan mungkin bisa kita mulai dengan memaknai 9 nilai utama Gus Dur. Kesembilannya adalah sebagai berikut:

Ketauhidan

Ketauhidan adalah dasar setiap langkah kehidupan manusia. Pengakuan akan keesaan Tuhan menjadi spirit manusia dalam berpikir, berucap dan bertindak. Tidak hanya berhenti dalam ucapan atau teriakan, namun musti melandasi setiap helaan nafas. 

Belakangan marak kelompok-kelompok masyarakat yang amat fasih meneriakkan nama Tuhan di muka publik, namun nuansa kemarahan, penghakiman dan intoleransi kental terasa. Ketauhidan macam ini tentunya bukan ketauhidan yang diperjuangkan Gus Dur. Ketauhidan yang diperjuangkan Gus Dur mustinya mengejawantah dalam sikap dan tindakan yang penuh cinta kasih, penuh pemahaman, penuh kewelasan terhadap setiap manusia apapun perbedaan yang dimiliknya.

Kemanusiaan

Dari Gus Dur kita bisa belajar memaknai kemanusiaan secara menyeluruh. Memandang bahwa setiap manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang sama. Bahwa semua atribut fisik dan psikis yang melingkupinya yang bisa jadi beda antar kita tak semestinya menjadi penghalang untuk memandang dan memperlakukannya sepatutnya sebagai manusia. Ketika sekarang banyak diskriminasi 'hanya' karena perbedaan, mustinya kita berefleksi bahwa di balik semua perbedaan itu, lebih banyak persamaan yang menyatukan kita. Persamaan sebagai manusia.

Keadilan

Tak akan ada kehidupan yang layak bagi manusia tanpa adanya keadilan. Keadilan bukanlah sesuau yang taken for granted, namun musti diperjuangkan. Dalam konteks bermasyarakat dan berbangsa, memperjuangkan keadilan adalah tantangan terbesar Indonesia. Konflik antar kepentingan, antar kelompok, antara  mayoritas dan minoritas, seringkali melenakan kita untuk memperlakukan yang lain secara tidak adil. Gus Dur memberi contoh dengan keberaniannya untuk menanggung perjuangan menegakkan keadilan, meski dengan konsekuensi menghadapi cacian, hujatan, bahkan ancaman kekerasan fisik. Semua demi memberi contoh bagi anak bangsa bahwa keadilan, sekecil apapun wujudnya, menjadi fondasi kehidupan yang layak dan musti diperjuangkan.

Kesetaraan

Dari Gus Dur kita bisa belajar tentang memaknai kesetaraan. Tak hanya di lisan, namun dalam aksi perbuatan. Memandang dan memperlakukan orang lain, kelompok lain sebagai sesama mahluk ciptaan Tuhan yang mempunyai hak serupa kita. Di sinilah kesetaraan menemukan pembenarannya. bahwa menghormati hak dan memperlakukan yang lain setara adalah ekspresi paling jujur penghargaan kita akan sang Pencipta. Karena bagaimana kita bisa mengaku memuja sang Khalik jika kita menistakan ciptaannya hanya karena ia berbeda?

Pembebasan  

Gus Dur mencontohkan ke kita untuk bisa berjuang menegakkan kebenaran dan kesetaraan, kita terlebih dulu musti mendidik diri menjadi pribadi yang bebas. Bebas dari belenggu tirani manusia lain, belenggu doktrin dan dogma, belenggu ketakukan kita sendiri. Semua ini erat kaitannya dengan pemaknaan akan Ketauhidan. Di mana manusia yang menyandarkan diri hanya kepada Tuhan lah yang bisa bebas merdeka dari manusia dan selain Tuhan. Dengan menjadi manusia merdeka, barulah kita bisa membantu memerdekakan manusia lain.

Kesederhanaan

Sederhana sekali lagi menjadi contoh laku nyata Gus Dur. Melepaskan diri dari belenggu material, kekayaan, gaya hidup, kepemilikan berlebih dan merasa cukup dengan apa yang diberikan Tuhan kepada kita. Nilai dasar macam ini yang semakin silap dalam kehidupan modern kita yang begitu kental dorongan pencapaian duniawi. Di mana menjadi berlebih, di mana gelimang harta dan pencapaian duniawi seperti jadi norma yang kita kejar mati-matian. 

Persaudaraan

Belajar dari Gus Dur tentang persaudaraan adalah belajar memandang manusia sebagai manusia. Menembus kulit lapisan luar manusia yang bisa jadi beda, bisa jadi tidak sama dengan kulit yang melapisi kita. Memandang manusia sebagaimana kita ingin dipandang menumbuhkan simpati yang berujung pada tumbuhnya nilai persaudaraan. Nampaknya bangsa kita butuh kembali menggali rasa ini, jika kita masih ingin bertahan sebagai bangsa yang majemuk dalam satu naungan negara.

Keksatriaan

Menjadi seorang manusia tak lengkap jika tidak bisa dan mau bersikap ksatria. Teguh pada prinsip, memagang komitmen dan berani mempertanggungjawabkan segala apa yang diucapkan dan dijalankan. Dari Gus Dur kita mempelajari bahwa ksatria tak musti bertubuh kekar berwajah tampan atau menyangklong senjata, namun menjadi konsisten antara pikiran, ucapan, perbuatan serta selalu teguh memperjuangkan nilai-nilai kebenaran justru lebih utama.

Kearifan Lokal

Dari Gus Dur, kita belajar untuk menghargai, merawat dan menghidupkan kearifan lokal. Segala nilai, norma, praktek budaya yang dimiliki dan diwarisi dari nenek moyang musti terus dijaga. Semua demi menuju kehidupan yang harmonis. Bahwa memegang klaim kebenaran bukan berarti membabibuta menghancurkan tatanan, etika, praksis lama yang bisa jadi tak kalah luhur secara maknawi. Dalam konteks sekarang, dengan banyaknya klaim sepihak dari berbagai pihak, banyaknya kirik bahkan sampai titik penolakan terhadap segala yang berbau tradisi dan lokalisme, serta adanya tendensi untuk berkehidupan layaknya dalam budaya asing, merupakan hal yang menyedihkan. Karenanya, dari Gus Dur kita bisa belajar bagaimana mengharmonisasikan keduanya. 

Matur nuwun Gus, terima kasih atas semua pikiran, perbuatan dan perjuanganmu untuk bangsa ini. Ijinkan kami meneruskannya demi tetap utuh dan bersatunya bangsa yang engkau sangat cintai ini. Demi Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun