Menyimak Indonesia Lawyer Club (ILC) TV One, Selasa (19/12/2017) kemarin, ada satu tokoh yang menyita perhatian saya. Adalah Profesor Mahfud MD yang tak lain seorang mantan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Tema yang diusung "Benarkah MK Melegalkan Zina dan LGBT?". Masing-masing panelis menanggapi, baik pro maupun kontra terkait putusan MK yang menolak uji materi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP dalam perkara nomor 46/PUU-XIV/2016 diajukan oleh Guru Besar IPB Euis Sunarti.
Saya tidak akan membahas mendalam soal perdebatan di dalam acara yang dipandu Karni Ilyas tersebut. Namun, saya lebih tertarik membahas satu poin penjelasan Prof Mahfud MD tentang 2 arus pemaknaan yang mewarnai diskursus Hak Asasi Manusia di Indonesia. Tentunya ini terkait dengan perdebatan HAM sebagai dasar patut tidaknya Zina dan LGBT dilegalkan di tanah air.
Hak Asasi Manusia, khususnya yang didasarkan pada Universal Declaration of Human Rights yang dideklarasikan oleh Sidang Umum PBB pada 10 Desember 1948, mendorong negara-negara yang meratifikasinya untuk mempromosikan dan mengimplementasikan perlakuan serata bagi setiap orang tanpa memandang bahasa, ras, agama dan atau orientasi seksualnya.Â
Di sisi orientasi seksualitas inilah perdebatan Zina dan LGBT di ILC tadi menemukan poinnya. Di mana mereka yang mendukung implementasi Deklarasi HAM PBB menemukan argumennya, sementara penentangnya mendasarkan pada norma, etika dan aturan agama maupun kaidah sosial di Indonesia untuk menolaknya.
Prof Mahfud MD dengan bijak menjelaskan polemik ini dengan bahasa yang bisa dicerna bahkan oleh kaum awam sekali pun. Pertama bahwa ada 2 macam interpretasi HAM yang diterapkan di dunia. yaitu konsep universalisme dan relativisme kultural.
Pendekatan pertama mengandaikan konsep HAM PBB tadi berlaku serupa dan setara di seluruh bagian dunia, tanpa mengacuhkan nilai-nilai agama, moral atau budaya lokal di mana HAM tadi akan diterapkan. Contohnya, ketika ada kasus hukuman mati terhadap gembong narkotika macam Bali 9 beberapa waktu lalu, para pendukung HAM arus universalisme ini akan menyebut hukuman mati melanggar HAM dan tidak sepatutnya dijatuhkan, bahkan pada pelaku kriminal kelas berat macam Bali 9.
Sementara, di sisi lain, Prof Mahfud menjelaskan, HAM bisa didekati dengan pemaknaan relativisme kultural, di mana budaya, nilai, norma dan agama yang dianut masyarakat lokal di suatu negara menjadi pertimbangan utama dan pertama dalam implementasi HAM itu sendiri. Hal ini dicontohkah oleh Prof. Mahfud terkait soal Zina dan LGBT di Indonesia, di mana agama, norma dan nilai sosial yang umum dianut masyarakat kita menentang perilaku zinah dan orientasi seksual LGBT. Bahkan meski secara internasional, di banyak negara, seks luar nikah (zina) dan LGBT semakin banyak diakui sebagai hak asasi setiap individu.
Prof. Mahfud menjelaskan lebih lanjut, bagaimana Indonesia turut dalam blok negara-negara yang menganut penafsiran HAM aras relativisme kultural. Hal ini ditunjukkan dengan keikutsertaan Indonesia dalam konferensi HAM di Cairo Mesir.
Menurut saya, penjelasan Prof Mahfud MD perihal dua arus pendekatan HAM ini sangat menarik, dan membuka mata--khususnya bagi saya--tentang pemaknaan HAM dalam konteks Indonesia. Dan saya pikir, ini patut dijadikan titik tolak lebih lanjut untuk kita bersama merumuskan seperti apa konsep dan aturan HAM yang paling tepat untuk diimplementaskan di Indonesia.
Tabik!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H